III

573 90 21
                                    

Jendra melangkahkan kakinya ringan dengan Juno di belakangnya kala ia mencapai halaman belakang kediaman kerajaan. Ada 4 saudaranya yang lain kini tengah bersantai di sana. Ada Mario dengan Refan yang tengah berlatih pedang di sudut halaman belakang, pula ada pula kedua bungsu, Ceilo dan Jillian, yang tengah bersantai lengkap dengan camilan sore itu.

"Tumben banget baru balik jam segini, Bang?" Tanya Jillian dengan mulut yang masih sibuk mengunyah disusul tatapan bertanya dari Ceilo.

"Coba aja tanya sama Juno. Udah tau gue ga bawa motor hari ini, hp gue sama dia mati, itu manusia satu juga ga ada inisiatif ke gedung fakultas gue." Jendra berucap janpa jeda. Jemarinya kini menyambar sekaleng minuman yang telah terbuka, entah milik siapa, menenggaknya hingga tandas.

"Eh tapi bentar, lu tadi ke gedung sipil jalan?" Juno kini yang bertanya. Jarak antar kedua gedung teknik sipil milik Juno dan Arsitektur milik Jendra bukan lah jarak yang dekat bila ditempuh dengan jalan kaki.

"Peduli juga lu tanya gitu." Jendra bersungut kesal sebelum melanjutkan, "tadi gue minta tolong sama anak manajemen. Ga tau siapa namanya, tapi itu anak kaya aneh?"

Ceilo yang sedari tadi menyimak mengernyitkan dahinya kebingungan. "Aneh gimana, Bang? Anaknya ga yang terus histeris kan? Itu hal biasa kalau Cuma histeris." Bukan bermaksud sombong, tapi itu kenyataannya. Mereka ini pangeran, dan tentu saja akan menjadi hal biasa jika mereka berinteraksi langsung dengan warga biasa, heboh.

"Bukan." Gelengan pelan berasal dari Jendra. "Dia biasa aja? Maksudnya dia kaya ga tahu kalau gue pangeran. Kalian tau kan walau terkadang respon mereka biasa saja, tidak histeris, mereka pasti akan sangat menghormati yang kalian tahu berlebihan."

"Kalian membicarakan siapa?" sebuah pertanyaan berasal dari si sulung pangeran. Kedua sulung ini sepertinya menyudahi sesi latihan sore ini mengingat mereka sudah lelah, dan sepertinya perbincangan adik-adiknya ini terdengan seru sekali.

"Oh ini, orang yang boncengin Bang Jendra ke gedung arsi. Anak manajemen katanya," ucap Jillian pada Mario lalu kembali focus lagi pada Juno.

"Ada yang aneh emang? Ya paling Cuma histeris heboh kaya yang biasanya kan?" kini Refan menimpali. Itu bukan hal yang aneh menurutnya, hal biasa bahkan.

"Masalahnya dia biasa aja, Fan. Bahkan ga ada sikap hormat berlebihan, dia seperti memperlakukan gue kaya manusia normal pada umumnya." Mendengar penjelasan Jendra kini dahi Mario dan Refan yang berkerut. Itu manusia langka yang mungkin pernah mereka temui.

"Tapi kalau dia anak manajemen, Ceilo tahu kan?" kini pertanyaan terlempar pada Ceilo.

"Bang tolong lah, gue juga ga mungkin hafal semua anak manajemen.tapi emang gimana ciri orangnya?" Sekarang yang menjadi penasaran bukan hanya Juno seorang, tapi keenam pangeran.

"Dia laki-laki. Tingginya seperti Refan mungkin, rambutnya berwarna coklat, dan sepertinya dia bukan dari angkatan Ceilo. Semester 4 kayanya," ucap Jendra sedikit meragu diakhir kalimatnya.

"Semester 4 dengan ciri seperti itu ga Cuma satu, Bang." Ceilo mendesah kesal mendengar penuturan kakaknya itu. Otaknya masih berusaha mengingat kiranya ada seseorang yang dia kenal dengan ciri seperti itu.

"Tanda pergelangan! Tanda soulmate, Bang!" Jillian berseru tiba-tiba diantara hening keenamnya. Mendengar itu kini kembali fokus pada Jendra.

"Oh gue baru sadar, dia ga punya tanda soulmate." Kembali kernyitan heran terpatri pada dahi mereka.

"Lu yakin dia ga punya tanda soulmate. Kalau dia udah semester 4 harusnya udah punya soulmark walaupun masih tipis," ucap Juno terheran. Itu sebuah kasus langka menurutnya.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: May 05 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

ElinorTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang