Happy reading...
.o0o.
Sebelumnya, Draco tidak pernah tahu bagaimana cara mendekati seseorang -secara romantis. Karena dia tidak pernah punya pengalaman seperti itu. Delapan belas tahun hidupnya hanya dia gunakan untuk belajar, tugas, game dan keluarga. Tidak pernah sekalipun terbesit dipikirannya tentang menyukai seseorang, atau bagaimana rasanya menyukai seseorang. Entah apa alasannya, Draco hanya merasa bahwa perasaannya telah mati, meskipun dia tidak pernah disakiti ataupun menyakiti orang lain.
Tapi, saat itu berbeda, saat dimana dirinya bertemu dengan seorang pemuda berkacamata yang mampu menarik perhatiannya, Harry Potter. Tepatnya dua bulan yang lalu, Draco merasa ada debaran aneh yang dia rasakan disisi kiri dadanya.
Jantungnya memompa darah jauh lebih cepat dari biasanya, saking cepatnya Draco merasa sedikit sesak di daerah sana dan merasa pusing disaat yang bersamaan, sekelebat bayangan muncul dibenaknya namun dia tidak dapat memproses apapun.
Terkadang Draco bertanya, bertanya pada dirinya sendiri, apa yang sebenarnya ingin dikatakan oleh tubuh atau perasaannya. Namun, dia tak kunjung mendapatkan jawaban atas apa yang dirinya rasakan. Draco juga bertanya pada orang lain, teman-teman bahkan ibunya, tapi tidak ada satupun jawaban yang bisa membuatnya merasa lega.
"Apa yang sebenarnya kau pikirkan?" Akhirnya, satu-satunya sahabat perempuan yang Draco miliki bernama Pansy Parkinson bertanya, gadis itu terlihat sangat muak melihat temannya yang seperti orang sakit.
Memang, akhir-akhir ini pemuda berambut pirang itu terlihat tidak fokus dalam setiap hal.
"Entahlah, hanya ada sesuatu yang mengganjal," jawab Draco. Matanya terpejam mencoba meredakan rasa sakit yang akhir-akhir ini sering membuatnya tidak fokus.
Pansy menghela napasnya kemudian bertanya, "tentang pemuda itu?"
Draco diam sejenak, mencoba berpikir apakah akan baik-baik saja jika dirinya jujur, "mungkin." Dan akhirnya dia berbicara.
Pandangan Draco difokuskan pada seekor burung kecil yang hinggap disalah satu cabang pohon yang ada di depannya. Dia jadi teringat tentang Peter, burung peliharaan adiknya, sayang sekali burung itu kini telah terkubur di dalam tanah.
"Lalu, apa masalahnya?"
Draco kemudian menatap lekat mata gadis dihadapannya dan menghela napas pendek, "menurutmu, apa aku harus mendekatinya?"
Pansy tidak memberikan respon yang berlebihan, gadis itu mengangkat bahunya tak acuh, "tanyakan itu pada dirimu sendiri Draco, hanya kau yang tahu mana yang benar dan mana yang salah untuk dirimu sendiri. Juga katakan sebelum semuanya terlambat atau kau akan menyesalinya."
"Tapi, sepertinya dia normal."
Pansy menautkan alisnya, "kau bisa berjalan, bernapas, makan, minum, berbicara dan apapun, apa kau pikir itu tidak normal?" Ungkapnya jengah.
"Bukan..." Draco berusaha memberikan sanggahan pada pernyataan yang diucapkan Pansy, namun segera diinterupsi oleh gadis itu.
"Jika kau terlalu banyak berpikir, Draco. Maka kau akan menyesal suatu saat." Merasa lelah, gadis berambut pendek itu pun menepuk pundak Draco dua kali kemudian pergi meninggalkan pemuda itu sendirian, menuju kelasnya.
Draco hanya menatap kepergian temannya itu, mencoba mencerna matang-matang tentang apa yang dijelaskan oleh Pansy. Gadis berambut pendek itu benar, jika dirinya takut ditolak bukankah lebih baik hanya menjadi teman, Draco akan merasa senang walaupun dia hanya menjadi teman Harry, yang terpenting adalah pemuda itu selalu berada disisinya itu sudah cukup.
Harry yang dalam perjalanan pulangnya melewati lorong kelas yang mulai sepi, mendapati Draco Malfoy berdiri diam di ujung lorong, terlihat seperti orang yang tengah menunggu sesuatu.
Dengan inisiatifnya, Harry mencoba untuk menjadi adik kelas yang humble, dia menyapa sang kakak kelas dengan suara riang.
"Hai Draco, sedang menunggu seseorang?"
Draco yang mendengar suara seseorang yang tidak asing segera menoleh, sedikit tidak menyangka bisa melihat wajah familier seseorang saat tersadar dari lamunan.
"Tidak juga." Draco menjawab dengan jujur, dia juga tidak tahu mengapa dirinya bisa berdiam diri di lorong sepi dekat kelas Harry Potter yang jauh dari keberadaan kelasnya.
"Jangan bilang kalau kau kerasukan?"
"Mungkin?" Jawab Draco dengan nada bertanya.
Mendengar jawaban konyol itu Harry tertawa. Menurutnya itu adalah jawaban yang tidak masuk akal tapi juga sedikit lucu, Harry memang memiliki selera humor yang buruk.
Melihat Harry yang tertawa lepas seperti itu membuat Draco kembali pada angan-angan nya. Sekarang dia menyadari mengapa dirinya bisa jatuh pada pesona pemuda bernama Harry Potter. Itu juga yang membuat Draco kembali melamun dan tidak menanggapi pertanyaan yang dilontarkan oleh Harry selanjutnya.
Melihat Draco yang terdiam ditempatnya, Harry kemudian bertanya lagi seraya menyentuh bahu Draco, guna menyadarkan pemuda berambut pirang itu dari lamunannya. "Kau baik-baik saja, Draco?"
Draco yang terkejut dengan sentuhan tiba-tiba itu, segera menjauhkan tangan Harry dari bahunya, gerakan cepat yang penuh ketergesaan itu cukup menyakitkan bila ditelaah.
"Ada apa, kau tidak nyaman?" Meskipun terkejut dengan penolakan tiba-tiba dari Draco, Harry tetap bertanya dengan nada khawatir.
Draco juga tidak tahu, lidahnya seakan kelu untuk mengeluarkan sepatah kata, suaranya tidak mau keluar meskipun dia mencoba. Jadi, Draco hanya terdiam, mengutuk perbuatannya yang tidak sopan.
"Kau sakit, Draco?"
Harry tidak menyerah, meskipun Draco berperilaku aneh dia tetap mencoba untuk menenangkan pemuda itu.
"Maaf."
Setelah mengatakan itu Draco segera pergi, meninggalkan Harry yang diselimuti begitu banyak pertanyaan dan kekhawatiran pada si rambut pirang.
.o0o.
Tbc..
KAMU SEDANG MEMBACA
One Day
Fanfiction[Draco Malfoy x Harry Potter] Terjebak pada perasaan membingungkan dengan seseorang yang Draco Malfoy kenal dalam kurun waktu singkat membuatnya merasa cukup tersiksa. Pilihan antara bertahan dan berhenti menjadi pertimbangan yang tidak mampu menja...