02; Kebenaran

1.2K 155 20
                                    

Siang ini benar-benar membosankan, tidak ada tugas yang berarti dari guru pengajar. Semua murid dibebastugaskan karena para guru sedang ada rapat mingguan, jam-jam kosong seperti ini biasanya dimanfaatkan oleh anak-anak untuk membuat keributan. Seperti bernyanyi ditengah kelas, makan, berakting dan sebagainya.

Sementara Draco, ditengah ramainya suasana kelas yang dibuat oleh teman-temannya. Pemuda itu malah asik dengan dunianya sendiri, menatap seseorang yang tengah bermain basket di lapangan.

Pemuda yang dilihat oleh Draco terlihat sangat menawan, dengan keringat yang membasahi tubuh dan seragam berantakan. Para anak perempuan pasti akan terpesona melihat ketampanan pemuda itu.

"Kau yakin, hanya akan melihat nya dari jauh saja?"

Draco menoleh dan mendapati Pansy tengah berdiri dengan tangan terlipat di depan dadanya.

"Hm," Draco menjawab dengan anggukan.

Pansy menghela napas lelah, "dasar pengecut."

"Aku tahu," Draco kemudian berdiri dan melangkahkan kaki jenjangnya ke luar kelas, terlalu penuh di sana jadi dia ingin mencari udara segar.

"Aku menantang mu!" Pansy berseru saat melihat Draco menjauh.

Sementara, Draco. Pemuda berambut pirang itu berhenti, berbalik menatap teman seperjuangannya dengan alis mengkerut seolah bertanya apa yang diinginkan gadis berambut pendek itu.

"Ajak dia jalan-jalan," Pansy menatap Draco meremehkan, "motorku taruhannya," lanjut gadis itu dengan senyuman yang jujur saja sulit untuk diartikan.

Draco Malfoy menatap Pansy Parkinson dengan tajam, mendekati kearah gadis itu kemudian berkata, "aku mendekati seseorang, bukan untuk sebuah taruhan." Lalu Draco benar-benar pergi, meninggalkan Pansy yang kini tersenyum penuh kemenangan.










"Hai Dray..."

Draco menarik napasnya kasar, dia benci dengan suara perempuan ini.

Madeline, seorang gadis berambut cokelat panjang yang kelasnya bersebelahan dengan kelas Draco. Draco membenci Madeline karena gadis itu menyukainya, selalu mengganggunya dan selalu mengikutinya kemanapun. Draco benci dengan pengganggu.

"Kau ingin ke mana?" Madeline bertanya tanpa memperdulikan Draco yang secara terang-terangan menolaknya.

"Bukan urusanmu," Draco kemudian melangkah pergi, meninggalkan Madeline yang ternyata tidak menyerah dan senantiasa mengekor padanya.

Dengan ekspresi wajah yang dibuat sedemikian rupa agar terlihat menggemaskan, gadis itu berkata, "mengapa kau sangat kejam padaku, dray?" Tanpa memperdulikan apapun Madeline langsung memeluk lengan Draco.

Draco tentu saja berusaha melepaskan diri dengan lembut, meskipun Madeline menyebalkan. Anak itu tetap seorang gadis, seorang perempuan yang tidak bisa Draco sakiti.

"Madeline, jangan mengganggu. Aku mohon padamu." Dengan begitu Draco berhasil melepaskan pelukan Madeline, kemudian pergi begitu saja. Tapi Draco tidak menyadari jika ada seseorang yang sedari tadi memperhatikan semua interaksinya dengan Madeline di lorong sepi itu, dengan pandangan yang berbeda.










"Aku tidak tahu jika kau adalah seorang penghisap nikotin." Kalimat itulah yang pertama kali Draco ungkapkan kala melihat seorang pemuda yang dia sayangi tengah menghisap sebatang nikotin yang terselip diantara dua jari pemuda itu. Harry Potter hanya diam, menatap Draco Malfoy yang mematikan mesin motor kemudian berjalan kearahnya.

Hari sudah gelap, matahari sudah tenggelam seluruhnya. Berniat ingin membelikan sebuah hadiah perpisahan untuk adiknya yang akan tinggal bersama nenek mereka di sebuah desa. Draco malah mendapati Harry Potter di sebuah jembatan penghubung atar kota A dengan kota B. Pemuda itu terlihat kacau dengan segulung nikotin di tangannya.

Sudah empat hari mereka tidak bertegur sapa, dikarenakan kesibukan masing-masing. Draco yang menggunakan waktunya untuk belajar karena akan menjalani ujian untuk masuk ke perguruan tinggi diluar negeri dan Harry yang aktif di beberapa organisasi. Waktu, seakan tidak ada untuk keduanya. Tapi bukan itu intinya, yang Draco rasakan itu berbeda. Akhir-akhir ini Harry seakan menjauhinya, pemuda itu seperti tidak melihatnya saat mereka berpapasan di manapun. Dan, Draco sudah mencoba membuat interaksi melalui media sosial dengan Harry tapi pemuda itu tidak merespon banyak seperti biasanya. Harry Potter-nya berubah.

Harry menatapnya, menghembuskan napas ke atas disertai asap yang keluar dari mulutnya.  "Kau mau?" Pemuda berkacamata tersenyum pada Draco dengan menawarkan beberapa batang nikotin pada pemuda pirang.

Draco menggeleng perlahan, guna menolak tawaran, "benda itu terlalu menyeramkan untukku."

Harry hanya diam menatap Draco seolah membiarkan si pirang melanjutkan kalimatnya.

"Dulu, Ayahku adalah seorang perokok aktif. Dia sangat parah saat menghisap benda itu, bahkan dua bungkus rokok bisa dia habiskan dalam sehari. Aku bahkan ibuku sudah melarangnya. Tapi, ayah bilang, dia menyukainya. Sayangnya, dia juga terbunuh oleh benda kesayangannya itu, kematiannya sangat mengerikan. Sampai sekarang, aku masih mengingat bagaimana dia mati." Draco sempat menghentikan ceritanya, menarik napas sebentar kemudian kembali melanjutkan, "juga, karena kebiasaan merokoknya yang buruk itu ak- adikku juga menjadi korban, dia menjadi penderita asma yang cukup parah. Beberapa kali adikku harus dirawat inap di rumah sakit." Sebuah senyum terukir diwajahnya, senyuman yang Draco gunakan untuk menyembunyikan rasa sakit. Draco melirik kearah Harry, menatap mata yang berada dibalik kacamata itu, "tolong jangan mati karena benda itu."

"Kau mencoba melarang ku?"

Draco kembali menggeleng tidak setuju, "bukannya melarang, aku hanya tidak ingin kau mati sia-sia hanya karena benda terkutuk itu." Ini pertama kalinya Draco terbuka terhadap seseorang, biasanya dia akan memendam semuanya sendirian. Draco merasa itu bukanlah tanggung jawabnya, tapi kali ini dia tidak bisa. Harry Potter berharga untuknya, dia tidak ingin pemuda itu mati seperti ayahnya.

Harry yang mendengar kalimat terakhir Draco itu mendengus, "kau tidak perlu mengkhawatirkan aku." Seraya membuang dan menginjak puntung rokoknya yang telah habis.

"Mengapa tidak?"

"Kau tidak perlu melakukan itu," Harry menjawab pertanyaan yang dia anggap bodoh itu dengan kesal.

"Mengapa? aku hanya peduli padamu."

"Maka jangan pedulikan aku!"

Draco semakin frustasi, dia tidak mengerti dengan situasi seperti ini, "apa yang terjadi?" Suara Draco naik satu oktaf, "mengapa aku tidak boleh peduli padamu?"

Harry yang juga merasa emosi mendekat kearah Draco, menggenggam kerah baju si pemuda pirang, "karena hal itu menyakiti ku," Harry menyerah, persetan dengan perasaannya yang tidak karuan dan akan membuat hubungannya dengan Draco merenggang, dia hanya ingin mengutarakan semuanya, sekarang. "Aku tidak mau terjatuh lebih dalam lagi padamu."

Keheningan melanda mereka.

Tatapan terkejut Draco layangkan pada Harry, genggaman pada bajunya oleh pemuda berkacamata itu masih belum terlepas. "Harry?"

"Aku menjijikkan, aku tahu itu."






Tbc...





One Day  Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang