Bab 01 Azkia Chalondra Bina Danti

55 0 0
                                    

Lentera cahaya  cerdas, penuh ketenangan dan kesabaran. Arti nama yang bagus. Dia tahu sekarang mengapa orang tuanya memberi dia nama Azkia Chalondra Bina Danti, gadis kecil dengan segala keunikannya. Anak perempuan pertama yang dilahirkan dari rahim mengagumkan wanita hebat. Anak yang sejak kecil dilatih mandiri dan kuat oleh keadaan.

Lentera yang selalu bersinar walau kadang silaunya menyakitkan orang lain. Dia harus tetap bercahaya meski banyak orang yang tidak menyukainya. Tetap berjalan, meski keadaan kadang membuatnya putus asa.

Ketenangan, dia harus tetap tenang meskipun emosi sudah mulai meronta. Mengendalikannya agar dia menjadi orang yang baik. Tidak menyakiti hati orang, dirasa itu lebih baik, bukan? Dari pada menjadi parasit yang hidupnya hanya mengganggu. Lebih baik dia mengendalikan sikap agar bisa menjadi makhluk sosial seutuhnya.

Namanya bahkan mempunyai arti kesabaran, yang mengharuskan dia tetap sabar dan tegar di segala kondisi. Kondisi yang bahkan terlalu menyakitkan untuk ukuran manusia lemah seperti dirinya. Manusia yang hanya bisa mengeluh, padahal keadaan tidak begitu menyakitkan. Hanya tertimpa sebuah cobaan kecil, tetapi rasanya seperti tertimpa puluhan ton cobaan.

Gadis cilik ini ingin dimanja, diberi pelukan hangat saat pulang sekolah. Dijemput oleh Mama yang tersenyum di gerbang Taman kanak-kanak. Tapi sayang, semua itu hanya angan belakang. Angan yang menjadi bumerang untuk dirinya sendiri. Menahan diri menyebutkan angan, tapi hati tidak pernah memihak. Seenaknya menyuruh jiwa untuk bersikap egois. Sungguh, Ini semua sangat melelahkan.

Bukannya mendapat senyuman terkasih sang Mama, dia malah mendapati orang lain di depan gerbang Taman kanak-kanak. Seseorang yang memakai Helm, jaket bomber dan senyum khasnya. Seseorang yang sudah ikhlas rela menjemputnya dan mengantarkan dia bertemu dengan orang tuanya. Ya, seharusnya dia mensyukuri itu. Bukannya menjadi kufur, dan mencap sang maha kuasa tidak adil.

"Ayo kita ke Rumah Sakit, Lihat papah." ujarnya sembari tersenyum kecil ke arahku. Seolah membatin, 'bagaimana anak sekecil ini harus merasakan kepahitan hidup?' Bahkan pare hutan tidak seberapa pahit dibandingkan hidupnya. Bukannya mengeluh, hanya sedikit menjabarkan.

Jauh dari orang tua sejak kecil bukan perkara yang mudah. Aku harus bisa menahan hal-hal yang aku inginkan. Menelah sendirian, apa-apa di lakukan sendiri, membentengi diri agar selalu kuat. Setidaknya aku sudah mempunyai ilmu hidup mandiri, jika aku ingin merantau ke luar saat dewasa nanti. Aku melihat ke arah seseorang itu, bibir mungilku berkata, "Mamah dan papah di mana, bibi? Apa di tempat mengerikan itu lagi?" tanyaku lugu sambil menatap penuh damba pada bibiku ini. Mengharapkan jawaban yang dapat membuat diriku puas. Bukan jawaban yang membuat batin semakin diderung oleh pertanyaan yang kian membeludak.

Tempat mengerikan yang kusebut adalah rumah sakit. Kematian selalu datang dari sana. Jarum suntik selalu menusuk tubuh para pasien di dalam sana. Pisau-pisau selalu membelah tubuh pasien di dalam sana. Membayangkannya saja aku sudah takut, hih!
     
Termasuk tubuh papahku. Aku beberapa kali melihat para Dokter itu menyuntikkan cairan yang entah apa namanya di lengan Papahku. Kemudian dia menusukkan jarum pada punggung tangannya, dan menggantung kantong cairan berwarna putih yang entah apa namanya, aku tidak tahu! Terlalu mengerikan dan tidak memiliki keberanian besar untuk bertanya langsung.
     
Sangat sedih sebenarnya, ketika anak lain semasa kecilnya bermain bersama orang tua,  aku harus menahan tangis melihat papah yang terbaring di ranjang rumah sakit. Menahan rindu dan rasa gemuruh di dada yang mengkhawatirkannya.
      
Papah yang mengidap sakit Batu ginjal dan Batu Karang, membuatnya beberapa kali operasi. Mamah sudah pasti menemani papah. Aku juga sangat salut dengan mamah, yang setia menemani papah di berbagai kondisi, seperti kondisi saat ini. Tidak pernah sekalipun dia berpaling atau meninggalkan papah. Benar-benar sosok yang setia!
      
"Bukan tempat mengerikan sayang, justru tempat itu menjadi tempat yang membuat papahmu sembuh," tutur kata lembutnya memenuhi gendang telingaku. Dia tersenyum hangat, sambil memasangkan helm di kepalaku.
      
"Oh, ya?" tanyaku penuh binar. Ada rasa bahagia mendengar penuturan itu. "Apa papah akan sembuh?" Aku melontarkan pertanyaan penuh damba kembali. Sembuh adalah kata yang sangat aku dengar hari ini. Papah sembuh dan kembali ke rumah bersama dengan mamah.
     
Oh Tuhan, memikirkannya saja sudah membuatku merilis skenario kecil di pikiranku. Bayangan saat papa sudah sembuh, kemudian mengajakku pergi jalan-jalan bersama mamah, menghabiskan waktu bertiga. Sungguh, kuharap itu bisa terjadi suatu saat nanti.
     
"Pasti, dong! Makannya Az harus doain papah ya sayang." ujar bibiku yang langsung kuangguki semangat. Mana mungkin aku tidak mendoakan papah? Sedangkan beliau adalah orang yang saat ini aku harapkan untuk menjemputku ke sekolah dan pergi bermain. Hanya keinginan kecil, tapi ... apa mungkin bisa didapatkan?
      
Aku dan bibiku pergi mengendarai sepeda motor miliknya untuk menemui papah dan mamah. Papah di rawat di salah satu rumah sakit besar di kota Medan.
      
"Cittt, sudah sampai!" Bibi mengeluarkan suara khas rem sepeda motor yang sudah lama tidak di servis. Sambil turun dari sepeda motor dan membuka helmnya. Dia lanjut berbalik badan untuk membuka helm milikku. Perhatian kecilnya selalu membuatku tersenyum hangat.
      
"Hore! Ketemu mama sama papah!" Riangku pada saat itu hingga senyuman tidak pernah luntur di wajahku. Bibi hanya tersenyum menyedihkan saat melihat tingkahku yang absurd itu.
      
"Ayo sayang!" Bibi menggandeng tanganku untuk masuk ke dalam tempat mengerikan ini. Mengedarkan mataku ke penjuru tempat ini, bau obat-obatan langsung menyeruak ke dalam hidungku. Kulihat seorang perawat sedang mendorong pasien yang wajahnya sudah sangat pucat, bibir membiru, seperti tidak memiliki nyawa lagi!
      
Hatiku bergemuruh hebat, ‘apakah papah juga seperti itu?’ Batinku bertanya-tanya. Aku semakin mengeratkan pegangan tanganku pada bibi. Bibi menyadarinya, dia beralih membungkukkan sedikit badannya kemudian menggendongku.
      
"Gak apa-apa, sayang." ucap bibi menenangkan. Responsku hanya memeluk leher bibiku erat. Saat ketakutan menggerogoti, tubuhku merespons dengan cara yang dapat membuat orang lain menyadarinya.
      
"Itu mamah," serunya yang membuatku mendongakkan kepala. Aku sontak meminta turun dari gendongan bibi.
       
"Mama."
        
Aku berlari mendekati mamah sambil merentangkan tanganku. Sungguh, aku amat merindukan sosok ini. Sosok penuh kasih dan perhatian. Mamah sedikit terkejut mendengar teriakanku. Sebelum sedetik kemudian dia tersenyum dan ikut merentangkan tangannya.
       
Aku masuk ke dalam pelukan mamah. Senang rasanya bisa memeluk raga ini kembali. Raga yang selama ini ku tunggu dalam halusinasiku. Sekarang bisa aku rasakan secara nyata.
       
"Hai sayang, udah makan?" sapa mamah. Aku menggelengkan kepalaku polos. Membeberkan kenyataan yang sejak tadi aku tahan. "Mau makan sama mama papah," pintaku yang dibalas senyuman oleh mamah. Bibiku sendiri sudah duduk di bangku yang di sediakan. Memberi ruang untuk aku dan mamah melepas rindu yang selama ini membelenggu.
        
Mamah mengusap surai rambutku dengan penuh kelembutan. "Papah mana, mah?" tanyaku antusias. Mengedarkan pandanganku ke arah sekitar, Dapat kulihat ruangan di hadapanku bertuliskan ICU. Mamah masih diam, enggan menjawab pertanyaanku, matanya berkaca-kaca menahan tangis. Mamah melihat ke arah bibi, seperti meminta bantuan atas pertanyaanku.
        
Bibi hanya tersenyum menyedihkan. Bahkan air mata di kelopak matanya sudah tidak dapat dibendung lagi.
        
"Emm ... papah ada di ruangan itu, sayang." Mamah menunjuk ruangan tepat di hadapanku. Aku memberontak ingin turun melihat papah. Tapi mamah bersikeras menahan badanku.
        
"Kenapa papah di dalam sana, mah? Apa para dokter itu menyuntik papah lagi?" Aku mulai bertanya kembali sambil menatap pedih ruangan di hadapanku. Air mata mamah mulai luruh, aku juga ikut menangis, meminta untuk melihat papah sebentar. Hanya beberapa detik saja, tapi kenapa mamah sukar mengabulkannya?
          
Mamah tetap tidak memperbolehkanku untuk ke sana. Akhirnya bibiku bertindak mendekati kami, dia mengusap air mataku sebentar, kemudian mengambil alih diriku dalam dekapan hangatnya. Dapat kurasakan juga hati bibi bergemuruh hebat. Agak bergetar, menahan tangis yang tadi sempat terhenti.
          
"Az mau liat papah?" tanya bibi. Aku mengangguk sambil menangis. Menurutinya, Bibi membawaku ke hadapan pintu kaca bening itu. Berkat pintu itu, aku dapat melihat sosok heroku yang sedang terbaring lemah.
          
"Az ingin masuk bibi." Pintaku lagi, bibi menggelengkan kepalanya menolak. Sedangkan mamah masih tetap menangis sambil memperhatikan kami. Meratapi bocah cilik yang bersikeras dengan keinginannya itu.
       
"Tidak boleh sayang, nanti kita dimarahi dokternya."
       
"Kok dokternya jahat bibi, kan Az rindu papah, Az anak papah, masa anaknya gak diboleh in buat liat papah, bibi." Aku mengeluarkan unek-unekku yang sejak tadi menggebu ingin dilepaskan. Setelahnya,  air mataku kembali luruh dengan bebas di pipi.

Untuk jiwa-jiwa yang diharuskan setegar karang, untuk wajah yang dituntut harus selalu tersenyum.

Anak Perempuan PertamaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang