Kamu Siapa?

5 2 0
                                    

"Kamu nggak ada niatan nikah gitu? Teman-teman kamu udah pada gendong bayi kamu masih betah aja jadi beban keluarga."

"Mohon maaf nih, ya! Aku sih nggak mau buru-buru. Siapa tau jodohku Wichapas Summetikul, kan lumayan buat manas-manasin tetangga."

Huft ...

"Capek juga ngomong sama bakul!"

"Hmm ... Khop khun na khaa ..."

"Siapa tadi? Wichapas Summetikul? Hah! Dia tuh nggak doyan sama manusia bentukan panci! Udah jelek, bar-bar, menolak sadar pula. Aku jadi kasian sama Mak Tiah, pasti syok banget kalau tau anaknya gila."

"Dih ... Idih si najis! Gini-gini yang naksir aku banyak, ya! Nggak kaya kamu!"

"Masa?"

"Ingat bestie, cewek agresif itu lebih menggoda!" tegas Mera mengedipkan matanya.

***

Kalau ditanya kapan nikah, aku sih sudah terbiasa. Diusia hampir genap 23 aku masih gila-gilaan menjadi Fangirl bujang tampan. Dunia percintaanku terlalu rumit diceritakan, selalu kandas ditengah jalan. Kalau bukan terhalang jarak ya terhalang restu. Sebenarnya itu hanya peralihan karena aku masih menunggu seseorang. Entah dia masih ingat janjinya.

Kalau ditanya pasal cinta, aku sendiri nggak tau bagaimana konsepnya. Karena cinta yang kupelajari sekedar give and take. Nggak ada rasa senang berlebih saat bertukar kabar, hanya sesekali merasa kosong saat tidak ada notifikasi darinya. Bukankah itu wajar karena kami terbiasa berkomunikasi walau sekedar bertanya kabar. Namun, darinya aku merasakan hal berbeda. Aku butuh dia sebagai support sistem, tempatku mencurahkan segala hal dan melakukan banyak hal bersama.

"Kak, kamu kenapa sih?"

"Hmm? Aku? Jelas baik dong. Apanya yang kenapa?"

"Baik kepalamu! Dia kurang apa sih? Tampan, iya. Mapan, sudah jelas. Sholeh, nggak usah diragukan. Pokoknya paket lengkap deh! Dan bisa-bisanya kamu membuat ulah lagi. Kamu kira Mama nggak tahu? Ini udah ke delapan kali kamu menghancurkan kencan itu."

"Maa ... Aku tuh nggak suka dijodoh-jodohkan!"

"Apa katamu? Nggak suka dijodohkan? Sekarang Mama tanya, emangnya umur kamu sekarang berapa? Mau jadi perawan tua, iya? Liat teman-teman seusia kamu, rata-rata mereka udah punya buntut. Lah, kamu?"

"Mera juga punya buntut kalau Mama lupa. Nih!" Tunjuk Mera membalikkan badannya.

"Kamu ya!"

"Kalau itu yang Mama pengen, sedari dulu Mera udah punya buntut, Ma. Menurut ilmu biologi tulang ekor itu termasuk buntut loh , Ma."

"Tiap kali dinasehati selalu menjawab! Pokoknya Mama nggak mau tau, kamu harus terima sama pilihan Mama kali ini. Kamu tau kan kalau Mama nggak mungkin menjerumuskan kamu sama laki-laki yang nggak baik? Hmm?"

"Yang baik udah biasa, Ma. Mafia dong, biar kayak di wattpad. Seru kayaknya, hehe."

Pletak!

"Bener kata Abang kamu, kayaknya Mama harus bawa kamu ke psikiater. Sejak kenal aplikasi oren itu bahasan kamu jadi aneh-aneh." Antiah memeriksa kening anaknya sedikit panas.

***

Sudah seminggu kupantau perkembangan mangga-mangga Mak Tiah. Besar-besar buahnya mirip empunya. Namun, nggak ada seorang pun yang berani mendekat. Bagaimana tidak, pemiliknya lebih garang dari ratu lebah. Sebelum mengambil harus kupantau letak strategis lebih dulu supaya nggak ketahuan Mak Tiah.

"Yang ini aman kayanya," gumamku memantau sekitar.

Aku nggak mencuri kok, cuma mengembangkan bakat terpendam aja. Lagipula, hilang satu tumbuh sepuluh ribu, kan? Kata Wali, sih, begitu. Seharusnya ini menjadi suatu kebanggaan, butuh tenaga profesional sepertiku untuk mengembangkan bakat ini.

"Ngapain di sini?"

"Hmm ... Lagi jalan ... Iya, jalan-jalan, Bang. He..he ..."

"Yang bener?"

"Iya, loh!"

"Terus di tangan kamu apa?"

"Apa? Engga ada apa-apa kok!"

"Itu, di belakang kamu!"

"Eh, Abang masih ingat kak Najwa, nggak? Itu loh senior Mera yang pernah ke rumah."

"Yang mana sih? Abang nggak ingat tuh!"

"Itu loh, Bang. Anaknya Bu Murni."

"Terus?"

"Kemaren dia meninggal, Bang. Serem banget tau nggak."

"Iya, kah? Emang meninggal sebab apa?"

"Kepo!" Jawabku memasang wajah jenaka.

"Tadi kamu yang ngomong, sekarang malah bilang Abang kepo," rungut Rizal.

"Mera jawabnya benar, loh, Bang. Gimana, sih!" Rizal mencerna ucapan adiknya.

"Jangan bilang kamu lagi ngatain Abang?"

"Sayangnya iya, he..he ..." jawab Mera sebelum lari menghindari amukan Rizal yang mengejar dengan sendal swallow.

***

Braakkk ...

"Maaakkk ... Tolong ... Abang ..." ujar Mera ngos-ngosan.

"Berhenti di sana!"

"Nggak mau! Makanya jangan dikejar lagi!" Sahut Mera bersembunyi dibalik tubuh Antiah.

"Maaakk ... Eh?"

Kenapa aku nggak peka, ya? Malu banget dilihatin seperti ini. Rasanya ingin menghilang ke Mars.

Dia siapa? Temen Abang? Nggak mungkin banget deh! Secara bang Rizal rada burik-burik akut gitu, mana mungkin punya teman bentukan idol. Ibarat kata nih ya, yang ini idol, bang Rizal odol. Mukanya familiar banget.

"Kalian berdua kenapa sih? Sehari nggak rusuh nggak bisa, ya?"

"Salah Abang, Mak! Abang yang ngejar Mera!" adu Mera.

"Kalau kamu nggak ngatain Abang juga nggak bakal ngejar!" ujar Rizal mengajukan pembelaan.

"Kan, Mera cuma ngasih tau."

"Hmm ..." Akhirnya deheman Yunus membuat mereka terdiam.

***




Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Aug 05, 2022 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Last VegasTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang