26. Vivi dan Daisy

13 8 0
                                    

Annyeong Pheuander
Yang terkasihhhhhhh
Balik lagi dengan Sun dan Alvin. Makin gaje bih cerita. Tetapi part ini aku buat sambil mewek...

Enjoy the show
Happy Reading na khab 💜

...

Alvin dengan lemah baring di atas kasur. Saat masuk apartemen, ia tidak menemukan tanda-tanda sang abang pulang, berarti Gala masih terus ke rumah sakit.

Alvin memejamkan matanya, ia masih mengenakan pakaian habis tampil, tidak punya tenaga untuk melepaskan semuanya. Ia dikejutkan oleh sentuhan seseorang, ia membuka mata ternyata Sam yang sedang membuka kemejanya lalu beralih ke sepatunya.

"Jadi bagaimana? Lu masih mau lanjut?" tanya Vivi yang baru saja keluar dari kamar mandi sambil mengeringkan rambutnya yang basah.

Sam yang sudah melepaskan kemeja, celana dan sepatu milik Alvin ikut menunggu jawaban. Alvin melihat sahabatnya itu secara bergantian.

"Boleh enggak aku terusin?" tanya balik Alvin yang membuat kedua sahabatnya mengehela kasar.

"Yah, sudah kalau keputusan kamu gitu," kata Sam lemas, sebenarnya ia ingin mengatakan tidak untuk pertanyaan Alvin. Tetapi hidup Alvin itu milik Alvin. Setelah mengatakan itu, Sam berjalan menuju kamar mandi, tetapi langkahnya terhenti ketika mendengar ucapan Vivi.

"Gua enggak mau lu lanjut," kata Vivi dengan nada yang sama sekali tidak bercanda. Sam membalik badan, ia menjauh dari kamar mandi duduk di tepi kasur.

"Cinta enggak akan buat lu bahagia, cinta yang enggak ngeliat lu itu bikin lu makin cinta, dan bakal bikin bunga dalam paru-paru lu makin merajalela. Yang lu dapat cuma kematian!" Nada suara Vivi sangat tegas, sedikit ada getaran sedih, bukan hanya membayangkan akan kehilangan sahabat, tetapi seperti luka lama yang tiba-tiba naik kepermukaan.

"Cerita, dari kemarin sikap kamu tuh mencurigakan." Akhirnya Sam meluapkan apa yang ia rasakan, Alvin pun mengangguk. Alvin merasa kalau Vivi seperti sangat paham apa yang ia rasakan.

Flashback kisah Vivi

Vilas Virendra, ia anak tunggal dari keluarga kaya raya. Semua fasilitas dengan muda ia dapat. Ia berada di keluarga yang menjadikan pendidikan adalah patokan akan kesuksesan. Nilai pun harus sempurna. Dididik dengan sangat keras.

"Kenapa bahasa Indonesia saja bisa dapat segini!" teriak papinya.

"Sayang kamu bagaimana, sih. Papi kamu itu enggak suka nilai begini," ucap maminya, tidak sekasar papinya tapi sama-sama menyakitkan.

Vivi menjalani hidup sejak kecil seperti itu. Tekanan, kekayaan, tanpa kasih sayang. Hidupnya sepi. Ia sendiri.

Suatu hari ketika Vivi berada di kelas dua SMA, ia menemukan sesuatu yang pertama kalinya bisa membuat hatinya bergetar. Sesuatu yang berkelopak putih, putik berwana kuning. Awalnya ia tertarik dengan bunga indah itu. Tetapi hatinya makin bergetar, jantungnya berdebar kencang ketika ada tangan indah memetik bunga tersebut. Senyuman saat menghidu bunga itu membuat Vivi ikut tersenyum.

"Oh, namanya Daisy," kata Vivi pada dirinya saat sudah menemukan nama bunga di ponselnya.

"Eh, jam tiga!" pekiknya, dengan cepat Vivi berlari menuju rumah. Ia ada les bahasa Indonesia. Begitu setiap nilainya turun tidak sesuai dengan harapan, Vivi akan diberi les. Tidak boleh bermain dan sebagainya fokus belajar.

Sampai di rumah dengan napas terengah, di meja makannya sudah ada maminya dan mungkin guru les yang akan mengajari Vivi.

"Eh sayang, kamu telat loh. Ini Miss Daisy, guru les kamu." ucap mami, memperkenalkan guru les Vivi. Miss Daisy yang namanya disebut pun berdiri menyapa Vivi. Kembali jantung Vivi meronta makin ganas.

Falling Petals (On Going)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang