05. 3-Way Intersection

11.5K 672 53
                                    

Baby, can you hear me?

Sejak malam itu, Tobias dan aku mulai saling bicara lagi. Awalnya, kami cuma tidak sengaja bertemu di lobi saat hendak pergi keluar untuk mencari makan malam, tapi kemudian cowok itu membeberkan sedikit soal turnamen Bayside minggu depan, dan sambil malu-malu bilang kalau dia telah memesankan satu kursi kosong untukku.

Kelihatannya, Tobias sedang berusaha untuk mengikutsertakanku dalam sebanyak mungkin kegiatan yang cowok itu lakukan di By the Beach; termasuk meeting dengan pihak penyelenggara Bayside. Aku setuju datang, tapi cuma untuk menyurvei siapa-siapa saja yang bakal menjadi lawan Tobias, lalu memperkirakan probabilitas kemenangan cowok itu. Tinggi cowok-cowok di ruang rapat memompa ego-ku habis-habisan, sebab jika keahlian main basket diukur dengan tinggi badan, Tobias jelas akan menang telak.

Saat rapat dimulai, aku ditinggalkan sendiri di luar, dan kuputuskan aku haus dan perlu sesuatu untuk diminum. Kali ini, aku harus melupakan soal teh latté panas, sebab ini masih pagi, dan sepertinya masih terlalu awal untuk membuang-buang duit. Aku menemukan mesin minuman otomatis dan membeli sekaleng minuman cokelat, lalu pergi untuk melihat pantai. By the Beach tampak sepi tanpa pemain-pemain basketnya, dan aku berpikir sedih juga jika suatu hari tempat ini kembali ditinggalkan ketika pemain-pemain basket itu menemukan lapangan baru yang lebih bagus.

Tapi, well, lama-lama, aku juga harus meninggalkan kota ini. Aku cuma anak rantau.

Aku menggosok-gosok lenganku. Udara terasa membekukan pagi ini. Setelah sekaleng minuman cokelat, aku merasa perlu menggunakan toilet. Kedinginan membuatku kebelet pipis.

Bagian dalam Rockingdown benar-benar mencekam. Tidak ada apa-apa di dalam kecuali toko-toko tutup dan kios-kios kerajinan tangan. Merinding, aku berlari secepat mungkin. Toilet terdekat dari By the Beach ada di sayap kanan, dan sayap kanan Rockingdown lebih mirip sebuah warehouse tua dengan langit-langit kubah tinggi. Langit-langitnya terbuat dari kaca, jadi seharusnya tempat ini disebut greenhouse, tapi tidak ada satu pun tanaman yang terlihat, jadi kurasa warehouse lebih cocok.

Toilet di By the Beach memiliki daya tarik mistis tersendiri setelah mal ini berada di penghujung kebangkrutannya beberapa tahun lalu. Ada sebuah lukisan anak laki-laki di selasar yang mengarah ke toilet pria, dan lukisan anak perempuan di selasar yang mengarah ke toilet wanita. Sialnya—terkutuklah desainer interior toilet ini—kedua anak itu mirip satu sama lain. Selama sejenak, aku sedikit bingung, tapi kemudian kulihat anak di sebelah kanan memakai pita dan menggenggam setangkai dandelion, sedangkan anak di sebelah kiri memegang mobil-mobilan dan memakai topi jerami.

Bagian dalam toilet itu juga tidak membantu. Setelah melewati lorong gelap yang mirip terowongan penyiksaan, aku langsung berhadapan dengan sebuah cermin persegi panjang dan sebuah wastafel mahabesar. Di kananku, sepuluh bilik toilet berjajar membentuk huruf L; dinding sebelah kiri dibiarkan kosong seolah desainernya tidak diberitahu masih ada spasi yang bisa dioptimalkan. Cuma ada satu pintu baja yang sepertinya adalah ruang janitor.

Kipas di balik kisi-kisi atap berbunyi, dan aku langsung terbirit ke dalam bilik terdekat dari pintu masuk.

Lima menit kemudian, aku keluar dari bilik dengan perasaan lega, lalu menyalakan kran di wastafel yang sekarang tidak kelihatan terlalu mengerikan lagi. Aku menghabiskan bermenit-menit untuk mencuci tangan. Samar-samar, kudengar lagu diputar di luar toilet. Rockingdown sudah mulai beroperasi. Sebentar lagi, bukan aku satu-satunya yang menggunakan toilet ini.

Makanya, aku nyaris pingsan saat pandanganku bertemu dengan seseorang di cermin.

Dia cuma bergeming di sana seperti patung. Tidak meminta maaf di saat dia jelas-jelas salah tempat.

Saints & SinnersTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang