Lima belas menit berjalan kaki, melewati supermarket besar, dua cafe, tiga ruko, lampu penyebrangan, sedikit berbelok ke arah kiri. Tak lupa melewati satu kedai bakmie pangsit langganan dan dua gedung apartemen elit. Jalur dan nama-nama toko ini sudah di luar kepala akibat terlalu sering dilewati selama tiga tahun terakhir.
Malam ini, Aku tidak fokus pada lingkungan sekitar. Tidak peduli dengan siapa yang sedang menjaga supermarket atau antrian kedai yang panjangnya sampai ke jalan. Bahkan mengabaikan cuaca yang jika diukur mungkin sampai minus sekian derajat.
Pikiranku sibuk berkelana, teringat pesan yang empat bulan belakangan sering muncul. Pesan berupa gambar seorang pria dan wanita. Sosoknya selalu sama, hanya sudut foto dan suasananya yang berbeda. Pengirimnya juga tidak selalu sama, biasanya dua orang, lalu hari ini bertambah satu.
Biasanya, Aku hanya akan bersikap acuh. Mengabaikan semua pesan itu dan memutuskan untuk percaya dengannya. Apapun kata orang, Aku akan percaya padamu. Selama kamu tidak mengatakan apapun, Aku akan selalu mempercayaimu. Seburuk apapun kamu dimata orang lain, Aku tidak akan berasumsi yang tidak-tidak. Sebesar itu rasa percayaku padamu, sebesar perasaanku untukmu.
Benar, biasanya Aku seperti itu. Aku, sekuat itu.
Tapi, gambar siang tadi membuatku tersentak. Sudut gambar kali ini terlalu sempurna sampai Aku bisa melihat ekspresi wajahmu. Sudut bibirmu terangkat dan wajahmu bersinar. Bahagiamu bahkan terpancar hanya lewat gambar. Detik itu, untuk pertama kalinya, dadaku perih.
Aku ingat jelas bagaimana kakiku melangkah ke lokasi itu. Langkahku berat seperti sedang membawa batu berukuran besar, dadaku sesak seakan merintih kesakitan, kepalaku panas seakan terbakar. Bersama semua beban itu, Aku tetap melangkah ke arahmu, demi melihat ekspresi itu dengan mata dan kepalaku sendiri.
"Sooya" ucapmu begitu melihatku berlari dengan napas tersenggal. Kamu menyambut dengan kening menyerngit, netra membulat dan tangan terbuka. Dari ekspresimu, Aku bisa menangkap rasa cemas.
Dengan langkah teratur kamu mendekat, mengusap peluh dikeningku dan menuturkan pertanyaan-pertanyaan tanpa jeda. Maaf karena Aku mengabaikan pertanyaan itu, pikiran dan netraku sudah terpaku pada gadis cantik yang sebelumnya berdiri di sampingmu bahkan sempat membuatmu tertawa.
Gadis itu tersenyum manis ke arahku, tanpa rasa bersalah, tanpa merasa ada yang salah.
"Kim Jisoo! Kenapa? Ada masalah?" netramu bergetar seakan memberi isyarat bahwa kamu sedang takut. Tapi, pertanyaan itu terlalu sulit.
Lidahku kelu, ribuan kosa kata lenyap. Untuk kesekian kalinya, Aku membisu. Meski begitu, kamu masih menunggu dengan sabar. Menatapku lembut dengan penuh pengertian serta mengenggam tanganku dengan setiap harapanmu.
Netraku beralih padamu, menatapmu seakan sedang menyalurkan pikiran lewat telepati. Seandainya kekuatan itu memang ada, Aku akan berlutut setiap malam pada Tuhan untuk memberikannya padaku.
Mulutku terbuka, tapi tidak ada suara yang bisa di dengar. Seperti sedang berada di dunia lain yang hampa udara.
Jinyoung, mungkinkah sejak awal dunia kita berbeda? Dunia ku hampa udara sampai-sampai tidak bisa merambatkan gelombang suara. Sementara, duniamu adalah dunia yang indah penuh tutur kata dan pujian.
"Tidak.." merasa terlalu lama, Aku menggeleng. "Tidak ada masalah" netra yang semula cemas perlahan-lahan mulai terlihat tenang bersamaan dengan napas yang mulai teratur.
"Ada apa sampai jauh-jauh ke sini?" tangannya bergerak merapihkan tiap-tiap helai rambutku yang berantakan.
Ada apa? Aku ingin bertanya tentang hubunganmu dengannya, Aku ingin mengatakan dengan lantang tepat di depan wajahnya kalau kamu milikku, dan Aku ingin memaki diriku yang pada akhirnya tidak bisa mengatakan apapun.
KAMU SEDANG MEMBACA
One Way Ticket
FanfictionKumpulan cerita pendek/one shot. Fanfiction but mostly Jisoo. Tema: yang ringan-ringan saja Jadwal: sewaktu-waktu kalau ada ide dan ngga mager ngetik Vote, comment, and share. Your support will be appreciated.