Babagan 2.

54 4 0
                                    

Tuban, Surabaya, 2012.

Tahun ini adik ku menginjak usia satu tahun. Hari berjalan dengan normal, tapi hari ini Dia sedang demam, Nenek ku yang dari Ibu sengaja datang menginap. Dia menggendong adik ku saat sore hari menjelang maghrib.

"Ngawasi opo toh, putu lanang?" Yang lain ikut tersenyum gemas melihat adik ku yang mengarahkan tangannya kearah tembok, kecuali, aku. Aku merasa ada yang aneh, tangan kecil itu merenggang seolah meminta seseorang untuk menggendongnya. Tepat setelah itu, dia menangis keras, tangannya masih terus mengarah ke tembok- buat seluruh orang di ruangan itu kebingungan. Nenek berinisiatif membawanya masuk ke kamar, dan tangisannya pun reda.

Aku tak tahu menahu tentang apa yang sedang terjadi, yang aku tahu, ada sesuatu yang membuat aku merinding. Tapi hal itu tak cukup menganggu ku yang baru berusia 9 tahun.

Baru sebentar tenang, dari dalam kamar terdengar suara heboh Nenek, kami berlari untuk menghampiri, semua orang terkejut melihat apa yang terjadi, adik ku tiba-tiba saja kejang, orang bilang, ini adalah penyakit step.

Setelah kejadian sore itu, adik ku semakin sering kejang, anehnya, dia akan kejang jika tidur diatas kasur, hal itu membuat ku dan sekeluarga memilih tidur di lantai ruang tamu.

"Buk, adek kenapa, sih?" Tanyaku yang masih sangat penasaran.

"Gakpapa, anak bayi kalau sakit memang gini." Aku mengangguk setelah mendengar jawaban Ibu.

"Mbak mau tidur di samping adek atau Bapak?" Saat itu aku berpikir, kalau aku akan tertular demam, jadi aku pilih tidur diantara Bapak dan Ibu, sedangkan adik ku di sebelah Ibu, tepat di samping tembok.

Kami mulai tertidur, aku yang memang sulit tidur karna lantai yang keras hanya bisa diam dan menghitung detik demi detik dari jam dinding. Semua masih tenang sampai sebuah ledakan terdengar dari belakang rumah kami. Bapak yang mendengarnya langsung berlari dan mengecek.

"Apa, Pak?" Tanya Ibu pelan, karna adik ku masih terlelap.

"Gak ada apa-apa, buah sukun jatuh paling." Ibu mengangguk, aku tidak yakin dengan jawaban itu, sungguh. Ledakannya bahkan lebih nyari ketimbang petasan yang biasa aku beli.

Kami kembali tenang, orang tua ku juga sudah tertidur. Aku mencoba memejamkan mataku, tapi sekelebat bayangan Bapak lewat. Aku sangat yakin itu Bapak, hanya saja, porsi tubuh yang lebih besar dari Bapak membuat ku sedikit ragu. Aku menurunkan selimut ku dari wajah dan memeriksa sampingku, dan benar saja, Bapak masih tidur lelap di sampingku. Aku dengan segera menutup mataku dan membungkus diri ku dalam selimut dan memaksakan diri untuk tidur, dengan segala rasa takut dan cemas.

*Note, yang bercetak miring.
1. Ngawasi opo toh, putu lanang: Ngeliat apa sih, cucu laki-laki.

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
KEJAWENTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang