Nara memperhatikan buku Sherlock Holmes yang kini ditangannya. Sesekali ia mengendus-endus aroma wangi buku baru tersebut. Kebiasaan Nara sering begitu, terkadang di perpustakaan ia menciumi semua buku baru yang ada disana. Harumnya itu membuat candu, namun Nara tak sering karna mungkin ada zat atau kandungan yang berbahaya.
Kemudian ia baringkan tubuhnya diatas kasur dan mulai membuka satu persatu halaman pada buku. Nara ingin menangis, buku yang ia idam-idamkan ada didepan matanya. Kemudian derit pintu berbunyi, Nara menoleh mendapati sosok Bang Aji masuk. Ia duduk di sisi tepi ranjang.
"Ra, abang mau pergi. Kamu mau ikut? Mama pergi ke Bogor jenguk bibi, kamu mau dirumah atau ikut nongkrong juga?" Bang Aji mulai mengedarkan pandangannya ke seluruh kamar Nara. Ia melihat foto Nara dan dirinya saat kecil di atas nakas.
"Kok Mama gak bilang pergi ke Bogor? Aku gimana?"
"Tadi Mama telpon kamu gak diangkat, tadinya mau ajak kamu tapi kamunya besok sekolah," Lanjut Bang Aji dan bergegas pergi. Tak lama kemudian Bang Aji muncul diambang pintu lagi. "Mau ikut atau enggak nih?" Nara menimang-nimang, lalu mengiyakan kata Abangnya. Saat selesai mengunci pintu, Nara memandangi Abangnya sudah duduk di sisi kiri kemudi. "Ayo" Ajak Bang Aji, kemudian Nara tersenyum culas membuka pintu mobil.
Nara masuk dan sudah mendapati teman abangnya memenuhi tempat duduk. Didepan ada Razka si tukang supir, disampingnya Bang Aji, di kursi belakang ada Damian dan Lucas duduk di bagasi. Ia mengomel mengapa ia duduk dipaling belakang. Padahal bisa saja di duduk disamping Nara. Damian melarangnya karna bisa saja berdesakan. Jika Nara bisa mengekspresikan muka Lucas, ia bisa saja tertawa terbahak-bahak.
"Kak Lucas kok lucu sih?" Nara tertawa saat muka Lucas cemberut. Sesekali Nara menoleh ke belakang untuk memastikan bahwa Lucas baik-baik saja disana. "Ra, boleh ya kakak duduk disana?" Tunjuk Lucas pada kursi kosong disamping Nara dengan muka melasnya. Nara mengangguk pelan, dengan sigap Lucas bangkit dan beralih tempat duduk. Lucas senang bukan main, ia mencibir pada Damian dan Aji.
"Ra, kalo kakak main sama mereka, kakak selalu berakhir di bagasi kalau kamu tau," Tiba-tiba Lucas menyeletuk, ia memandangi Razka di kaca spion dan melihatnya sedikit menahan tawa. Nara membulatkan mulutnya lalu tersenyum sungging. "Wah jahat ya teman kakak. Terus gimana? Kenapa kakak mau ikut sama mereka?"
"Aku kan sumber uang mereka," Dengan gaya ala-ala banci. Nara tertawa melihat mimik wajah Lucas yang dibuat-buat olehnya. Semua yang ada di mobil berusaha menahan tawa. "Malah lo yang sering minta bagong!" Aji mulai mencairkan suasana.
"Ni bocah minta dilempar keluar nih, Ji" Sahut Razka. "Yan, gue itung sampe tiga lempar Lucas keluar," Damian hanya melirik Lucas, ia mulai ketakutan. Nara hanya tertawa. "Udah, udah. Kak Razka hidupin musik kenapa sih? Bosen tau gak," Nara memelas. Razka tertawa lalu memencet tombol play. Lagu dari Rizky Febrian menggema didalam mobil. Seketika suasana hati Nara berubah drastis.
"Ni lagu kek orang mau mati aja, tukar kek yang seger-seger gitu," Celetuk Aji didepan.
Perlahan Nara paham, duduk diantara orang-orang itu ternyata juga menyenangkan. Terkadang ia telah lama mengurung diri tanpa melihat banyak orang yang ingin membahagiakannya. Namun satu hal yang tak pernah Nara mengerti. Kenapa perasaannya sesak dan selalu tak beraturan saat berada di tempat seperti ini? Perasaannya tiba-tiba sedih, bahagia, carut-marut, dan terkadang amburadul. Ia sendiri tidak paham.
Mata Nara menatap ke depan. Bang Aji, Razka, dan Damian berbincang pasal tugas di kampus sedangkan Lucas sibuk pada game di ponsel. Nara selalu melirik jam di ponselnya, kemana tujuan mobil ini akan membawanya pergi. Tepat saat Nara memikirkan tempat apa yang akan di kunjungi, mobil Razka perlahan berhenti disalah satu kafe yang terbilang unik. Dari luar gaya tampilannya sangat minimalis ditambah tanaman rambat yang menggantung di pinggir pintu masuk.
KAMU SEDANG MEMBACA
Akshara | Huang Renjun
Novela Juvenil[SELESAI BACA TINGGALIN JEJAK] Setiap luka punya tempat untuk sembuh dan setiap ketakutan punya tempat untuk berlindung. Hari ini, luka yang begitu dalam aku sembunyikan terkuak hingga akarnya. Aku ingin menangis, tetapi ditahan oleh sebuah tangan h...