Obat Pilek

929 106 31
                                    

Pilek rasanya benar-benar mengganggu. Hidung tersumbat, pernapasan tidak lancar, ditambah lendir hijau kental menjijikkan yang tidak berhenti meleleh. Hidung Jere rasanya mati rasa dan tidak bisa mencium aroma apapun.

Hampir setengah box tissue Jere habiskan sendirian.

"Ke dokter, sana!" perintah Marvin dengan dahi berkerut dan raut wajah jijik jadi satu. Sudah hampir seminggu, tapi adiknya belum sembuh juga.

Jadi Jere menuruti perintah Marvin dan pergi ke klinik dekat rumah. Dokter meresepkannya satu obat antibiotik untuk ditebus di apotek. Tanpa benar-benar berpikir, Jere menurut saja.

Apotek ada di lantai dua. Antrean yang panjang membuat Jere memilih duduk di salah satu kursi tunggu setelah mendapatkan nomor antrean.

Hidungnya sama sekali tidak berfungsi kalau sedang pilek begini. Bahkan aroma kopi hitam yang Jere beli pun tidak bisa tercium.

Anehnya, Jere bisa mencium aroma inhealer yang dipakai orang di sebelahnya. Aroma peppermint menyegarkan dengan sedikit sentuhan manis di ujung yang membuat pernapasan Jere rasanya lebih lapang.

Jere menoleh pada perempuan yang baru saja duduk di sampingnya itu. "Permisi, boleh tau gak inhealernya merek apa?"

Perempuan itu mengernyitkan dahi. "Inhealer?" tanyanya balik. "Tapi saya nggak pake inhealer."

Jere terpaku di tempatnya. Matanya tidak bisa lepas dari sepasang mata bulat berwarna hitam kecoklatan dengan bulu mata panjang nan lentik. Kepalanya mendadak kosong. Paru-parunya dipenuhi oleh aroma peppermint dan gula batu itu. Ditambah lonjakan jantungnya yang membuat darah berdersir lebih cepat menyalurlan partikel feromon perempuan itu ke seluruh sel tubuhnya.

Ini dia orangnya. Ini matenya!

"Nara!"

Perempuan itu lebih dulu memutus kontak mata. Jere mengikuti arah pandang perempuan itu, pada seorang pria berwajah garang dengan aroma mint dan nipis pedas yang kini menatap Jere galak. Tangannya mengayun, memanggil perempuan beraroma peppermint dan gula batu itu.

Perempuan bernama Nara itu kembali menoleh pada Jere sebelum bangkit berdiri dan menghampiri pria itu.

Entah apa yang mereka bicarakan, tapi lelaki itu menggandeng tangan Nara erat lalu pergi meninggalkan area apotek.

Jiwa alpha Jere tersinggung. Bagaimana bisa ada alpha lain yang menggandeng omeganya dengan sangat posesif seperti itu? Harga dirinya seperti diinjak-injak.

Jere melupakan gelas kopi dan antreannya. Ia berlari menuruni tangga mengikuti aroma peppermint dan gula batu yang samar-samar masih bisa tercium di antara campuran berbagai feromon.

"Nara!" panggil Jere.

Perempuan itu menoleh.

Lelaki di sebelahnya kelihatan tidak suka ketika Jere tanpa ijin meraih tangan kanan Nara.

"Mau apa?" tanya lelaki itu.

"Pa, ini temen aku," Nara lebih dulu menjawab. "Aku ngomong sebentar ya sama dia."

Lelaki itu mengangguk lalu melepaskan pegangannya dari tangan kiri Nara.

Nara mengikuti Jere untuk melipir ke pinggir lobby yang sepi. Senyum cerah mengembang di wajah kecilnya. "Hai?" sapa Nara.

"Hai," balas Jere persis seperti anak SMP yang malu-malu di depan gebetan. Senyum lebar rasanya membuat seluruh otot di pipi Jere tertarik sakit. Tapi masa bodo dengan rasa sakit kalau endorfin yang mengalir dari kepalanya kini membuat dia kebas.

"Itu..."

"Itu Papa aku," jawab Nara sebelum Jere berpikir macam-macam. Nara melirik Papa yang masih memperhatikan mereka bedua dengan tatapan tajamnya. "Aku gak bisa lama-lama soalnya supir aku udah jalan dari parkiran."

Peppermint & Gula BatuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang