Bab 1

66K 6.9K 130
                                    

"Yura! Ayo bangun!"

Anak perempuan yang berada di kasur bukannya bangun, malah mengganti posisi tidurnya dan memeluk gulingnya dengan nyaman.

"Yura!" Kesabaran Aira sudah habis. Ia menarik Yura sampai anak itu duduk di kasur. Dengan kedua mata yang masih terpejam, Aira memberikan botol air hangat untuk Yura. "Ayo minum ini. Habis itu mandi."

Dengan malas-malasan Yura mengambil air yang ada di tangan Aira. Matanya masih sulit untuk terbuka karena banyaknya belek yang menempel.Setelah melihat Yura sudah minum setengah, Aira meletakkan botol pada nakas kemudian mengangkat tubuh Yura ke kamar mandi.

Drama belum usai, di kamar mandi Yura menangis saat air membasahi tubuhnya. Bahkan anak perempuan itu masih saja mengangis saat dipakaikan baju dan disisir rambutnya.

"Mami, sakit." Yura memegang kepalanya.

"Maaf ya," ucap Aira sembari menyisir rambut Aira lebih pelan. "Makanya kamu jangan banyak gerak biar gak sakit."

Selesai semua, Aira menghela napas panjang. Semenjak Yura mulai masuk ke sekolah, setiap hari Aira harus melalui drama pagi. Tahun ini adalah tahun pertama Yura masuk ke Sekolah Dasar. Bukannya semangat karena sekolah baru, anak itu malah menangis kencang saat pertama kali mendaftar. Aira yang dulu tidak suka dengan tangisan anak kecil, beberapa tahun ini sudah mulai terbiasa dengan tangisan Yura.

Tak terasa, sudah lima tahun Aira kehilangan sosok Kakaknya. Sosok yang seharusnya bisa mendampingi tumbuh kembang Yura. Awalnya Aira tidak merasa berat menjaga Yura karena saat itu masih ada Ibu dan Bapaknya. Tapi Tuhan sepertinya memberikan cobaan lain setelah dua tahun kepergian Ika dan Rudi. Tepat tiga bulan setelah Aira lulus kuliah, Bapak terkena serangan jantung dan tidak bisa diselamatkan meski sudah diberi pertolongan pertama oleh petugas medis. Enam bulan kemudian, Ibu menyusul Bapak karena ada pendarahan pada otak yang membuat Ibu meninggal seketika. Dunia Aira hancur seketika saat kehilangan sosok Ibunya. Tapi ia tidak bisa terlalu larut dalam kesedihan, karena ada Yura yang membutuhkannya.

Tiga tahun membesarkan Yura seorang diri, tidak lantas membuatnya mengerti isi hati anak itu. Ada kalanya Yura menangis tanpa sebab membuat Aira kebingungan. Dulu dia paling benci dengan tangisan Yura. Tapi sekarang, dia yang harus menenangkan anak itu di setiap tangisnya. Bahkan tahun pertama mengasuh Yura seorang diri, tidak jarang Aira ikut menangis juga saat Yura menangis. Kadang tiap malam ia sering menangis saat sedang di kamar sendirian karena rindu dengan Kakak dan orang tuanya.

Begitu lulus kuliah, Aira diminta untuk mengurus Wisma Kara. Wisma milik orang tuanya yang saat ini menjadi tanggung jawabnya. Sebuah penginapan yang memiliki empat lantai dan berada di kompleks ruko tidak jauh dari rumah sakit. Biasanya tamu wisma didominasi oleh keluarga pasien dari luar kota. Selain itu, banyak juga pasangan yang menginap di wismanya. Nama Kara diambil dari nama Ika dan Aira. Karena wisma ini, Bapak dan Ibu bisa meyekolahkan Aira dan Kakaknya sampai perguruan tinggi.

"Mami, nanti aku nggak sekolah di tempat yang kemarin lagi?"

Aira berhenti menyuapi Yura. Pasti sekolah kemarin yang dimaksud adalah sekolah TK-nya. "Yura sudah besar, sekolahnya bukan di sana lagi."

"Tapi di sekolah baru nggak ada perosotannya. Nggak ada ayunan, terus nggak ada jungkat-jungkitnya. Aku nggak mau sekolah di situ."

"Hmmm ... tapi di sekolah baru banyak temannya," ucap Aira berusaha membujuk.

"Temannya baik?"

"Kalo Yura baik, pasti temannya juga baik."

Yura mengangguk-anggukan kepalanya membuat dua kepangannya bergerak-gerak.

Become a Great Mom [Completed]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang