Sore itu, aku melihat punggungnya berjalan di koridor lantai atas, di bangunan tempat peristirahatan yang nyaman. Tempat ini sangat nyaman dan asri. Tanaman anyelir berwarna violet dan merah jambu menghiasi sebagian balkon ruang atas. Aku masih melihat semangatnya seperti dulu. Langkahnya tetap bersemangat. Pria itu mengenakan jaket hitam tebal untuk menghalau hawa dingin di senja itu yang mulai mengigit tulang. Langit berwarna kemerahan, senja temaram, menantikan dengan setia malam yang beranjak datang.
Aku berada di lantai bawah menegadahkan kepalaku untuk melihatnya lebih jelas. Dia tengah membuka kunci pintu untuk masuk ke kamarnya. Pikiranku langsung bernostalgia dengan kenangan 23 tahun yang silam. Di tempat yang sama aku pertama kali melihatnya. Dia yang memimpin acara Leadership Camp selama empat hari 3 malam. Aku masih berseragam putih biru. Dengan wajah polos aku menatapnya tanpa berkedip saat dia mulai memperkenalkan dirinya. Suaranya agak nyaring namun tetap renyah didengar. Aku masih ingat akan pakaian yang dikenakannya saat itu kemeja merah dengan kotak-kotak hitam dan celana kain hitam. Dia mengenakan kacamata tipis berbingkai hitam serasi dengan kulitnya yang putih. Alis matanya bagaikan semut beriring dengan kumis tipis mempermanis wajahnya. Badannya tinggi menjulang sekitar 175cm.
Nostalgiaku belum terputus, langkahnya terdengar menuruni tangga. Dia melihat ke arahku. Dengan suara perlahan, aku menyapanya,"Masih ingat aku?" senyumku menggembang. Aku tak yakin dia masih mengenalku karena aku sekarang memakai kacamata berbingkai hitam yang menyembunyikan sebagian wajahku secara jelas. Dan kami sudah lama sekali tak berjumpa. Belasan tahun yang lalu terakhir kami bertemu tanpa sengaja. Dia membelalak melihatku. Membulatkan matanya. Mencoba mengingat sejenak. "Oh kamu, ingat dong", senyumnya menggembang. Rafael dan Carl yang duduk bersamaku menyapanya juga. Dia langsung duduk bergabung denganku di meja bundar, kami tengah menikmati snack sore bersama pisang goreng dan bala-bala hangat. Aku menyeruput teh hangat itu secara perlahan-lahan. Hawa hangat terasa menjalari tubuhku yang semula sudah berbalut sweater putih. "Sudah lama aku tak melihatmu, akhirnya kamu memutuskan untuk mengikuti training ini," ujarnya ramah menyapaku. Aku mengangguk malu menanggapi ucapannya.
"Saya sudah membereskan ruangan atas untuk kita pakai selama acara, saya ganti kursinya dengan kursi dan meja yang lebih nyaman dipakai untuk menulis," jelasnya pada Rafael dan Carl. Aku menyimak mendengarkan ucapannya.
Beberapa peserta lain mulai berdatangan. Dari Jakarta dan Surabaya. Acara ini hanya boleh diikuti satu kali seumur hidup. Buat siapa pun yang ingin melatih kemampuannya memimpin. Dapat menjadi trainer berkualitas di masa mendatang. Tapi angkatan kali ini rasanya sangat privat karena sedikit saja peserta yang dapat hadir hanya 10 orang.
KAMU SEDANG MEMBACA
Everlasting Love
RomanceTanpa ada yang menduga, dua puluh delapan tahun kemudian Hope dan Fritz bertemu kembali. Cinta pertamanya pada Fritz di usia 15 tahun dan Fritz berusia 33 tahun. Perasaan yang sudah lama terkubur kini hidup kembali. Fritz bersumpah untuk tidak akan...