Terangmu membuatku terlihat nyata.
Hadirmu membuatku merasa sepenuhnya ada.
Meski suara lengkingmu memekakkan telinga, tapi itu cukup mengusir sepi dalam sunyi ini.
---
Niskala, di Bulan Desember
-------------------------------------------------------------------Dari ujung anak tangga di lantai dasar, matanya menilik kiri dan kanan. Aman, takada guru yang akan lewat.
Kaki jenjangnya melangkah, menuruni anak tangga terakhir itu. Berbelok ke kanan---menuju kantin. Kedua tangan bersembunyi di saku hoodie hitam yang dikenakan.
10 menit sebelum bel istirahat berbunyi. Makan lebih dulu mungkin bukan sebuah masalah. Toh, sekarang kelasnya sedang jam kosong. Daripada suntuk dan tertidur di kelas yang membosankan, lebih baik makan memanjakan perut di musim hujan.
“Niskala!”
Gawat! Suara itu tidak kuat, tapi mampu membuat nyali Niskala sedikit menciut.
“Sini lo!”
Niskala tak berani menoleh ke belakang. Pada hitungan ketiga ia akan lari, kabur dari sang empunya suara.
Satu...
Dua...
Ti...
“Aaa.... ”
Tudung hoodie Niskala tertarik, membuat lehernya sedikit tercekik.
Darimana pula gadis seperti itu punya kekuatan untuk menarik hoodie-nya. Secara fisik, Niskala lebih tinggi dan besar dari gadis itu. Mungkinkah gadis itu punya semacam kekuatan tersembunyi?
Tarikannya sudah dihentikan. Gadis itu memutar tubuh Niskala hingga menghadap penuh kepadanya.
Akibat lehernya yang sedikit tercekik, Niskala merasakan sakit di tenggorokan dan napasnya jadi tidak beraturan.
“Heh, Aya! Kalo sampe kepala gue lepas, gimana?”
Aya menirukan ucapan Niskala, tapi bibirnya sengaja sedikit dimonyong-moyongkan, dan suaranya dibuat-buat.
Niskala mencebik melihat kelakuan gadis itu.
“Malah bagus, tuh, kepala lepas. Jadi, gue nggak perlu lagi liat wajah menyebalkan lo tiap hari.” Aya memperbaiki letak kacamatanya yang sedikit turun.
“Mana bisa gitu. Nanti bakal nimbulin gosip yang nggak benar," katanya. “Anak kelas XI IPS 3 SMA Tunas Cemara angkatan 2021, kepalanya hilang akibat seorang gadis yang menarik penutup kepala hoodi-nya,” jelasnya lagi dengan tangan bergerak-gerak di udara. “Dih, nggak mau gue. Yang ada, hilang harga diri gue.”
Gadis itu menghela napas. Teman sekelasnya itu perlu diruqyah agar cara berpikirnya kembali benar.
“Gue nggak peduli. Balik ke kelas sekarang, atau gue....”
Niskala menarik tangan Aya sambil berlari sekuat yang ia bisa.
Gadis itu kaget ditarik secara tiba-tiba, tapi ia turut berlari, meski sedikit terpaku dan belum menyadari apa yang sedang terjadi. Sampai akhirnya ia sadar, Niskala membawanya lebih jauh dari kelas, menuju kantin yang hanya dihuni ibu dan bapak kantin.
“Heh!” Aya menghentakkan tangannya dari genggaman Niskala hingga terlepas. “Kalo mau bolos nggak usah ngajak-ngajak.”
“Siapa yang ngajakin lo bolos. Ada Bu Dini tadi, kalo ketahuan kita ngobrol di sana, bisa-bisa masuk BK kita.”
Sekarang, Aya taktahu harus apa. Niatnya membawa Niskala kembali ke kelas, malah ia yang ikut-ikut bolos---meski jam kosong. Tapi, guru piket sebelumnya memerintahkan agar mereka tetap di kelas sampai bel istirahat berbunyi. Jadi, tetap saja ia dan Niskala membolos.
Kembali ke kelas di saat bel istirahat akan berbunyi lima menit lagi tidak mungkin. Gadis itu tidak ingin bolak-balik naik turun tangga.
“Hujan-hujan gini enaknya nge-bakso.” Niskala memecah kebisingan yang terjadi di kepala gadis itu.
“Bakso-bakso! Gue mau mi ayam, dan lo yang bayar.”
Aya mencari tempat duduk yang paling dekat dengan pedagang mi ayam. Niskala mengekor dari belakang, sambil memeriksa dompetnya, apakah cukup aman untuk memberi makan anak orang.
Belum sempat Niskala menduduki tempat duduknya. Tiba-tiba saja Aya berdiri dengan wajah yang pasi. Meletakkan telunjuknya di bibir yang terkatup, seolah menyuruh Niskala untuk diam, tak bersuara.
Tangannya bergerak-gerak memanggil Niskala untuk mengikuti gadis itu yang secara mendadak berjalan dengan mengendap.
Niskala bingung, tapi tetap mengikuti.
Aya membawanya masuk ke warung pedagang mi ayam. Entah apa yang yang dibisikkan gadis itu, ibu pemilik warung menggangguk dan bergegas menyuruh mereka masuk.
“Ngapain kita di sini? Makan di depan lebih enak.”
Gadis itu kembali meletakkan telunjuk di bibirnya, suara desisan terdengar. “Ada Bu Dini di pintu kantin, ngobrol sama Pak Jaka,” katanya dengan suara berbisik.
Tak ada kata yang terucap di mulut Niskala. Ia takut jika ia berbicara, Bu Dini akan mendengar suaranya, dan Aya akan mengeluarkan kekuatan tersembunyinya lagi. Ia akan berterima kasih dengan traktiran mi ayam saja kepada Aya.
Meskipun Niskala senang membolos, tapi ia tetap tidak ingin berurusan dengan yang namanya BK. BK baginya adalah neraka di sekolah. Apalagi kalau-kalau sampai kedua orang tuanya dipanggil, bisa kiamat dunianya. Jadi, sebisa mungkin ia akan tetap membolos---meski tidak sering---- dan memastikan selalu lolos dari semua hal tentang BK.
Bel istirahat berbunyi, tapi rasa aman belum terjamin. Bu Dini masih berdiri di dekat pintu. Jika mereka keluar sekarang, bisa-bisa ketahuan. Maka, mereka akan menunggu sampai kantin agak ramai dengan murid-murid lain.
Saat menunggu takada pembicaraan. Aya diam, pun Niskala demikian.
Pelan tapi pasti, kantin mulai terisi murid-murid lain. Aya keluar lebih dulu, menuju meja yang semula ia tempati. Niskala menyusul setelah memastikan Aya benar-benar keluar.
“Bu, mi ayam buat cewek tadi banyakin dikit, ya. Belum sarapan dia.”
Bersambung.
Hai, salam kenal. Gimana bagian pertama ini?
Oh, ya, cerita ini bakal update tanpa jadwal. Tapi kuharap bakal ada yang betah mampir ke sini. Semoga, ya.
Terima kasih buat yang sudah meluangkan waktunya untuk membaca cerita ini. 🖤🖤🖤
YOU ARE READING
NISKALA
Teen FictionSuara detak jam menjadi simfoni di tengah-tengah rinai gerimis yang membasahi kelopak-kelopak mawar putih di bawah sana. Wajahnya menengadah, matanya menatap hamparan langit biru yang sebagian tertutupi awan kelabu, dari jendela lantai dua, kamarny...