2. Niskala & Hujan Tahun Lalu

13 1 0
                                    

Melihat senyummu adalah kebahagiaan. Memastikanmu selalu tersenyum adalah keharusan. Tak apa ada tangis juga, karena tangis tak selalu bermakna kesedihan. 

---

Niskala, di Bulan Desember

-----------------------------------------------------------

        Niskala sudah menunggu terlalu lama, tapi hujan tak kunjung berhenti, malah semakin deras. Jam menunjukkan pukul tiga sore. Sebenarnya tak ada masalah ia pulang terlambat. Hanya saja, menunggu sendirian di kedai foto kopi yang sedang tutup begitu membosankan. Mana ponselnya mati. Akan lebih baik jika ia di rumah, membungkus diri dengan selimut tebal nan hangat miliknya. Namun, saat ini ia tak ingin menerobos hujan dan basah-basahan. 

Duduk di kursi panjang sendirian di saat dingin menusuk membuat kantuk menyerang. Beberapa kali Niskala menguap tanpa menutup mulutnya. Memeluk erat tubuh sambil mengusap-ngusap hangat lengan yang tak tertutupi apa-apa. Niskala tak membawa hoodie yang biasa dikenakan, dan ia cukup menyesal karena rasa dingin yang menggerogoti dirinya. 

Entah dari arah mana, seorang gadis berlari kencang menerobos tirai hujan, menuju kedai foto kopi yang sama. 

Gadis itu melepas kacamata lalu membersihkan air yang menempel di sana dengan ujung seragam yang tak basah karena tertutupi jaket yang dikenakan. Rambut hitam lurus, yang biasa terurai lembut, tampak lepek dan sedikit berantakan akibat terkena air hujan. 

Niskala tahu gadis itu. Cahaya. Hanya satu kata, seperti milik Niskala. Teman sekelas yang tak terlalu akrab. Teman-temannya yang lain biasa memanggilnya dengan sebutan Aya

“Gue boleh duduk di sini?” Gadis itu bertanya usai mengenakan kembali kacamatanya yang sudah dibersihkan.

Niskala mengangguk tanpa suara. 

Aya duduk di ujung sebelah kanan, merapatkan jaket biru tuanya. Sedangkan Niskala sendiri, di ujung kiri, menatap lurus ke depan. 

Selama menunggu, tak ada suara apa-apa selain suara hujan yang berjatuhan. Niskala dan Aya sama-sama diam dan tentu sibuk dengan pikiran masing-masing. 

Hingga 30 menit berlalu sejak Aya berada di sana, hujan mulai mereda, menyisakan gerimis yang cukup kuat dan tetap mampu membuat basah. Tapi tak mengapa, daripada menunggu hujan benar-benar berhenti di waktu yang tak pasti, lebih baik Niskala segera pulang. 

Niskala bangkit dari duduknya. Saat sudah menaiki motor yang sengaja ia letakkan di teras kedai foto kopi itu agar tidak basah, matanya tak sengaja menangkap wajah Aya. Ada rasa tak tega meninggalkan gadis itu sendiri. Apalagi taktahu kapan hujan akan berhenti.

“Lo nggak pulang?” tanya Niskala dari motornya. 

Aya menoleh. “Nanti, tunggu hujannya lebih reda lagi.”

“Kayaknya hujannya bakal awet.” Niskala hanya menebak saja. “Rumah lo jauh? Ikut gue aja. Gue anterin. Daripada di sini sendirian. Mana jalanan sepi, toko-toko juga pada tutup semua.”

Aya berpikir sejenak, sebelum kalimat tanya keluar darinya, “Nggak ngerepotin gue ikut lo?”

“Nggak.”

Setelah mendengar jawaban Niskala, Aya mulai beranjak dari kursi, menghampiri Niskala yang sudah menyalakan motor matic miliknya. 

“Lo nggak pakai jeket?”

“Nggak bawa.”

“Pakai punya gue aja. Lo duduk di depan, pasti nanti seragam lo basah banget.”

“Nggak usah. Buat lo aja, gue aman.”

Niskala mulai mengendarai motornya yang sudah dinaiki Aya. Melawan gempuran gerimis. Wajahnya menjadi basah dalam waktu beberapa saat saja. Begitu pula dengan kedua tangan yang kuat menggenggam stang motor, basah dan dingin. 

Waktu yang ditempuh, hingga tiba di rumah Aya, kurang lebih 15 menit. Niskala menurunkan gadis itu tepat di depan rumahnya. 

Aya menawarkannya untuk mampir. Melihat Niskala, Aya juga menawarkan baju ganti dan jaket yang bisa dikenakan agar Niskala tak begitu kedinginan. Juga secangkir teh hangat. 

Niskala menerima, ia sudah semakin merasakan dingin yang benar-benar menusuk hingga ke tulang. Secangkir teh hangat mungkin akan mengusir rasa dingin itu. 

Di kursi teras rumah Aya, Niskala menunggu, sampai gadis itu datang membawa kaus hitam dan baju hujan lengkap dengan celananya yang berwarna biru cerah. Di susul teh kemudian setelah Niskala mengganti seragam putihnya dengan kaus hitam itu. 

“Maaf, setelah gue liat-liat, kayaknya semua jeket gue kekecilan buat lo. Jadi, lo pakai jas hujan punya Ibu gue ini aja dulu.”

“Nggak pa-pa. Yang penting nggak basah lagi sampai rumah. Besok atau lusa gue balikin.”

“Oke. Makasih banget, ya, udah mau nganterin gue.”

Niskala mengangguk sekilas. Ia habiskan teh yang disediakan. Kemudian, pulang dengan ucapan terima kasih dari Aya yang tiada hentinya. 

***

“Hujannya belum reda?” Suara Aya membuat Niskala menoleh ke belakang. 

Gadis itu maju menyejajarkan dirinya dengan Niskala. Wajahnya menengadah, menatap awan kelabu yang menangis dari atas sana. Tangannya terjulur, menangkap tetesan air yang jatuh. 

“Belum.”

Satu tahun yang lalu, saat Niskala mengembalikan kaus dan jas hujan yang dipinjamkan, Aya lebih sering tersenyum ketika berpapasan dengannya. Sejak hari itu pula tegur sapa selalu mereka lontarkan. 

“Gue jadi laper.”

Beberapa waktu setelah hari itu, basa-basi sering diucapkan. Obrolan-obrolan receh pun terjadi. Perdebatan kecil jadi pelengkap. 

“Mau makan mi ayam?”

Hingga suatu ketika, ada debar-debar yang tak bisa dimengerti setiap kali berjumpa. Pipi jadi memerah dan menghangat. Tatapan mereka tak lagi sama. 

“Lo traktir.”

Hujan mempertemukan mereka. Hujan merangkai kisah tentang mereka. Dan... hujan juga yang membuat mereka kembali menjadi orang asing yang tak pernah bertegur sapa. 

“Tekor gue bayarin makan lo mulu!”

Namun, rinai pada suatu hari membawa mereka kembali bersua. Membuat mereka saling menggenggam erat dengan janji yang tak terucap. 

“Ingat janji lo!”

Niskala bergeming. 

“Eh, Kak Arvin!” Aya melambaikan tangan kepada sosok cowok yang berlari-lari di tengah lapangan, berusaha menghindari hujan. 

Niskala tetap diam di antara suara rintik-rintik hujan yang berjatuhan. 


Bersambung. 

NISKALAWhere stories live. Discover now