Happy reading!
.
.
.~•°•~
Remaja dengan kaos hijau tua yang sudah belel itu adalah Nana. Dia sedari tadi hanya mondar-mandir di teras rumah dengan hati gelisah. Hari sudah mulai gelap bahkan angin malam semakin dingin terasa menerpa tubuh kurusnya namun, Nana sama sekali tidak tergerak untuk masuk ke dalam rumah. Pikirannya masih penuh dengan tugas-tugas yang belum ia selesaikan. Bahkan sama sekali belum dikerjakan. Yang menjadi kendalanya hanya satu, yaitu handphone! Iya! Masih dengan perkara handphone. Bagaimana Nana bisa mengerjakan tugas jika tugasnya saja disebarkan pada grup whatsApp. Nana jadi pusing sendiri. Ditambah tugasnya harus dikumpulkan besok. Jika seperti ini Nana harus bagaimana? Ingin ke rumah Caessa atau Jaiz untuk ikut mengerjakan tapi hari sudah malam. Ditambah jarak rumahnya dengan kedua sahabatnya itu cukup jauh. Jadi tidak mungkin untuk Nana pergi ke sana malam-malam seperti ini.
Mendudukkan bokongnya pada ujung teras dan menopang dagu dengan pandangan kosong ke depan serta helaan nafas nelangsa sesekali terdengar dari mulutnya. Sungguh! Nana sangat bingung. Jika saja salah satu nilai pelajarannya ada yang menurun itu sangat berpengaruh besar untuk Nana. Pihak sekolah mengatakan padanya jika ia bisa mempertahankan nilainya yang bagus selama tiga tahun berturut-turut, maka Nana akan punya kesempatan untuk mendapat beasiswa kuliah ke luar negeri. Tanpa ditanya pun Nana tentu sangat menginginkan beasiswa itu. Karena hanya dengan kesempatan tersebut Nana yakin akan bisa mengubah hidupnya menjadi lebih baik lagi. Ia juga akan membuktikan pada semua orang bahwa ia mampu dan tidak akan membiarkan siapapun memandangnya sebelah mata lagi.
"Na?"
Nana menoleh saat Ilham terdengar memanggilnya. Dilihatnya kakaknya itu sedang menenteng sepiring singkong goreng lalu mengambil posisi duduk di sampingnya.
"Kenapa ngelamun di sini?" Ilham bertanya lalu meletakkan sepiring singkong itu di tengah-tengah antara mereka.
Nana mencomot satu singkong yang masih panas itu. Meniup-niupnya sebentar lalu melahapnya. "Cuma lagi mikirin tugas aja, bang." Katanya sambil mengunyah.
"Tumben? Biasanya jam segini tugas kamu udah selesai semua." Tanya Ilham lalu ia menggigit singkong yang sudah ditiup terlebih dahulu.
Helaan nafas kembali terdengar dari mulut Nana. Remaja itu tampak begitu murung. Ilham yang memang sangat peka terhadap sekitar langsung menyadari keanehan dari adiknya itu.
"Kenapa, Na? Kasih tahu abang sini."
Sebenarnya Nana sangat ingin bilang pada Ilham soal handphone yang sedang dibutuhkannya. Tapi Nana tidak mungkin memintanya begitu saja. Melihat perjuangan Ilham untuk mendapatkan pundi-pundi rupiah setiap harinya sudah membuat Nana meringis. Apalagi ketika dengan kurang ajarnya ia meminta untuk dibelikan handphone. Masih bisa bersekolah saja rasanya Nana sudah sangat bersyukur walau Ilham lagi-lagi harus mengorbannya masa mudanya. Nana memang membutuhkan benda canggih itu, tapi jika keadaannya seperti ini Nana bisa apa?
Tidak kunjung mendapat jawaban dari adiknya, Ilham pun kembali bertanya. "Kamu lagi kepengen apa, Na? Sok bilang ke abang siapa tahu abang bisa bantu." Katanya lagi. Namun, hanya gelengan tanpa jawaban yang pasti diberikan oleh Nana.
Ilham tersenyum tipis melihat tingkah Nana. Sudah hapal betul dengan gelagat Nana yang seperti ini. Mereka hidup bersama-sama sedari kecil sehingga mustahil untuk Ilham tidak menyadari perubahan sikap adiknya. Sedari kecil, Nana memang selalu seperti ini. Jika sedang menginginkan sesuatu anak itu tidak pernah langsung bilang atau meminta. Tapi selalu dipendam nya sendirian membiarkan orang lain menebaknya terlebih dahulu. Seperti sekarang Ilham harus benar-benar menebak isi pikiran Nana yang sebenarnya gampang-gampang susah untuk di tebak.
KAMU SEDANG MEMBACA
99,9% | Haechan-Jaemin
Teen Fiction~•°•~ "99,9% abang sayang banget sama kamu,Na" "Kenapa 99,9%? Kenapa nggak 100%?" "Abang minta 0,1% nya buat sayang ke diri abang sendiri. Boleh?" "Boleh. Kalau begitu Nana juga sayang abang 99,9% karena 0,1% nya buat Nana." ~•°•~ Hanya kisah seder...