bab 2

5 0 1
                                    



Fahmi yang tahu kalau sejak tadi aku meliriknya, ikut-ikutan menatapku tajam. Tatapannya membuatku merasa kalau pria itu adalah dalang dibalik pembunuhan Alyysa.

"Aku ke toilet dulu," ucapku pada teman-teman yang masih membacakan yasin untuk Allysa.

Bahkan Fahmi masih mengiringiku dengan tatapan tajamnya. Aku bergidik. Ketika selesai menunaikan hajat dan kembali ke ruang tamu di mana jenazah Alyysa diletakkan, Fahmi sudaj tidak ada. Kupandangi sekeliling dan memang benar, kakak kelasku itu sudah menghilang.

*****

"Kenapa sih, De. Dari tadi kok diam aja?" tanya Asih saat kami sudah sampai di kos. Aku melirik Asih dan berkata dengan pelan.

"Kurasa aku tahu siapa dalang dibalik pembunuhan Allysa," bisikku. Wajah Asih pias.

"Ka-kamu tahu? Siapa?" tanyanya dengan terbata-bata. Sepertinya Asih juga akan selalu mendapat paranoid jika mendengar tentang Allysa.

"Orang yang kita kenal ...." desisku. Tubuh Asih bergetar hebat. Diantara kami, Asihlah yang paling penakut tapi paling bisa dipercaya dan paling baik hati.

"Tenang saja, Sih. Dia tidak akan menyakiti kita. Sepertinya Fahmi punya dendam pribadi dengan Allysa," ucapku mencoba menenangkan sahabat tersayangku.

Fiuh! Kulihat Asih menghela nafas lega. Aku tahu betapa penakutnya dia dan aku sedikit menyesal karena telah menakutinya.

"Heh, kalian ngomongin apa nih?" Wiwik tiba-tiba muncul. Dia tadi pergi ke supermarket sebelum masuk ke dalam kos.

"Tidak ada." Asih menjawab pertanyaan Wiwik. Aku merasa kalau Asih benar-benar ketakutan dengan ceritaku padanya tadi.

"Aneh. Lalu berduaan di sini buat apa? Saling memandang aib satu sama lain?" celetuk Wiwik asal. Untung aku dan Asih sudah tahu watak Wiwik sehingga kami tidak merasa tersinggung sama sekali.

Wiwik masuk ke kamarnya karena kami kacangi. Aku dan Asih saling tatap. "Sepertinya aku harus masuk kamar, Sih," ucapku.  Asih mengangguk. "Aku juga."

****
Allysa berdiri di depan pintu kamarnya sembari tersenyum seperti menyambut seorang teman.

"Ada apa?" tanya Allysa. Aku merasa kalau akulah yang sedang bicara dengan Allysa.

Srat!

Darah langsung mengucur dari leher Allysa. Allysa hendak berteriak tapi kulihat tangan membekap mulutnya.

"Kukira kau temanku .... Ternyata kau tidak lebih dari seorang pembunuh!"

Teriakan Allysa membuatku terbangun dengan nafas yang ngos-ngosan. Aku tidak tahu siapa yang dia maksud. Mungkinkah Allysa mengataiku sebagai pembunuh?

Tapi apakah jiwa orang mati masih bergentayangan di dinding kamarnya dan dia merayap melalui langit-langit untuk menakuni sekitarnya dan memberi tahu kalau dia ada.

Membayangkan kalau Allysa masih ada di sini dengan sayatan di lehernya membuatku merinding. Tiba-tiba saja hasrat ingin buang air kecil tak tertahankan. Kamar mandi kos ini harus keluar dulu dan menuju lorong paling  ujung yang berarti harus melewati kamar Allysa lebih dulu.

"Anna!" kubangunkan Anna yang sudah tertidur lelap dan bergelung dalam selimut. Tapi temanku itu malah menggeliat dan memunggungiku. Anna memang tipe orang yang tidur kebo. Artinya dia akan susah dibangunkan meski ada gempa bumo atau tsunami melanda.  Hanya matahari pagi dan alarm alami dalam tubuh yang bisa membangunkannya.

Aku mendesah. Terpaksa kutahan sensasi terbakar sebab menahan dorongan air seni ini.

"Baiklah. Sepertinya memang harus segera ke toilet," ucapku sambil membuka pintu kamar dengan ragu. Terlihat lorong sepi dan remang terpampang di depan mata. Entah mengapa, toilet jaraknya terasa sangat jauh.

Aku melangkah pelan dengan kaki yang rasanya sangat berat seperti di gelayuti sesuatu. Baru lima langkah berjalan, rasanya seperti menghabiskan beribu-ribu langkah.

Kembali. Tidak. Kembali. Tidak.

Aku menimbang-nimbang sekali lagi. Langkah ke tujuh sudah membuat keringat memgucur.  Aku melihat kamar Allysa yang masih di pasang garis polisi. Membayangkan kalau arwah Allysa masih ada di sana. Barangkali dia sudah membusuk dan sayatan itu semakin terbuka lebar. Kemudian Allya membuka pintu dan muncul di depanku dengan wujud yang sangat buruk dan menakutkan.

Imajinasi liar ini membuatku tidak sanggup berdiri. Tiba-tiba bunyi kerasa terdengar di kamar Allysa. Seperti seseorang yang memukul dinding dan meminta pertolongan atau arwah penasaran yang marah.

Dup!

Lampu mati.

"Tolong!" teriakku histeris. Tentu saja teriakan ini membangunkan seisi kos. Parahnya lagi, aku pingsan.

****
"Deandra!" seseorang memanggil namaku. Samar-samar kulihat wajah Allysa dengan seringaian lebarnya dan tatapan mata yang begitu sedih.

"Allysa ...." bisikku lirih. Aku benar-benar ketakutan namun badan ini sanvat sulit digerakkan.

"Woi, sadar, De!" suara Anna terdengar. Kesadaranku kembali sepenuhnya. Ternyata aku sudah berada di kamarku. Teman-teman mengelilingiku dengan wajah khawatir.

"Cuma gara-gara lampu lorong mati kau pingsan, De," sergah Wiwik dengan kesal. Aku menatap Asih yang duduk di dekat kakiku.

"Kami semua terbangun dan memutuskan menjaga kamu di sini, De." Asih berkata datar.

"Ada suara di kamar Allysa. Lalu lampu lorong mati," ucapku. Teman-temanku saling berpandangan.

"De ... kamu itu kelelahan. Allysa sudah meninggal. Dia tidak mungkin ada di sini." Anna mencoba menjelaskan dengan sabar.

"Tapi aku melihat sendiri kalau ...."

"Kalau apa? Sudahlah, De. Orang yang sudah tenang di dalam sana janganlah kau ungkit-ungkit lagi. Kasihan Allysa. Cukup doakan saja dia. Semoga kasusnya cepat selesai. Sudah!" Zaim memotong ucapanku dengan marah.

"Tapi ... Allysa seperti memberiku petunjuk untuk mencari tahu kematiannya." kutatap kosong lantai keramik yang mulai kekuningan.

Melihatku seperti ini, Zaim jengah. "Lalu kalau Allysa memberi petunjuk kau harus apa? Harus membantunya mencari tahu siapa pelaku pembunuhannya? Dengar ya, Deandra yang cantik dan manis. Kau tidak usah ikut campur dalam urusan berbahaya ini. Dia itu pembunuh. Bisa-bisa kau jadi korbannya selanjutnya. Mau kau?"

Aku menggeleng keras.

"Jangan-jangan kamu pelakunya, Zaim!" tudingku. Mata Zaim melotot tidak percaya. Kupikir dia akan marah dan menamparku seperti ciri khas pelaku yang akhirnya ketahuan belangnya.

Nyatanya Zaim tertawa terbahak-bahak. "Teman-teman, lihat teman kita yang satu ini. Apa yang merasuki pikirannya sehingga menuduh temannya sendiri coba?"

Anna menatapku dengan prihatin. "Dari kami semua yang ada di sini, hanya kamu yang paling dekat dengan Allysa, De. Tapi ikhlaskan dia ya."

Belum sempat aku menjawab, suara gedebuk nyaring diikuti teriakan perempuan terdengar. Kami langsung membuka pintu kamar dan memeriksa lorong. Hening. Tidak ada apa-apa di lorong yang remang dan kosong.

Kami berpandangan. Zaim yang tadi menasihatiku panjang lebar langsung memelukku erat. Dia ketakutan setengah mati. Wiwik bahkan mengaku mau kencing di celana saking takutnya. Aku menyeringai. Lihatlah teman-temanku yang tadi meremahkan ternyata juga ikut ketakutan.

Aku melihat kalau Asih keluar lebih dulu untuk memeriksa. Sejak kejadian kematian Allysa malam itu, Asih menjadi sangat pendiam. Dia orang yang sangat penakut. Bahkan berhadapan dengan kecoa saja Asih langsung menangis.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Aug 18, 2022 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

May HongWanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang