Jangan lupa vote sama komennya
Typo : Anugerah
Happy Reading
***
Yuta benci kata kehilangan. Jika bisa ia ingin menghapus kehilangan itu selamanya. Rasanya menyakitkan. Meski Yuta adalah orang yang mana menggugat Winwin. Malam itu juga Yuta menghabiskan banyak botol wine mahalnya untuk mengalihkan kesedihan hatinya yang begitu menyesakkan dada.
"Papa!!" Panggilan Shotaro membuatnya tersadar dari pikirannya. Bibirnya mengulas senyum tipis. "Taro sudah pulang hm? Mau makan apa malam ini? Biar papa pesankan.." Yuta mengangkat si bungsu ke dalam gendongannya.
"Injunie hyung ingin ke Mama.." Ucapan si Sulung membuat Yuta tidak tahu harus bereaksi bagaimana.
"Kita bisa menjenguk Mama besok ya? Hari ini Injunie hyung dan Taro di rumah saja.." Yuta mengelus kepala Renjun lembut.
Renjun menunduk. "Injunie rindu masakan Mama.."
"Oh ya? Mama sering memasak untuk Hyung dan Taro ya?"
Shotaro mengangguk kuat kuat. "Saat Taro bangun, Taro selalu menemukan Bekal Makan siang untuk dibawa ke Sekolah!! Bekal buatan Mama!!" Seru Shotaro bersemangat. Yuta tertegun, ada banyak yang tidak ia tahu.
"Tapi sekarang tidak ada lagi.." sambung Renjun lirih.
Shotaro menunduk. "Mama masih lama tidurnya ya?" Tanya Shotaro pelan.
Renjun tidak menjawab juga Yuta.
"Papa.. Kapan Mama sembuh?" Tanya Shotaro lagi.
Yuta tersenyum. "Sebentar lagi.. Papa yakin sebentar lagi Mama akan bangun dan memasak untuk Taro dan Injunie lagi.. Karena itu Taro dan Injunie juga harus makan agar tidak sakit dan bisa menemani Mama sampai sembuh nanti.."
"Jadi mau makan apa kita malam ini?" Tanya Yuta riang.
"Sushi!! Taro mau Sushi!!"
"Injunie hyung mau apa?"
"Terserah Papa.."
Yuta mengangguk. "Baiklah.. Biar Papa pesan sekarang.. Kalian tunggu sebentar ok.." Yuta menurunkan Shotaro dari gendongannya.
Renjun menggandeng Shotaro untuk menunggu sambil menonton telivisi. Yuta tersenyum kecut.
Ayo cepat bangun, Winwin..
***
Sebulan sudah berlalu. Winwin tidak menunjukkan perkembangan apapun selain penurunan. Dokter bilang memang tidak ada harapan lagi.
"Lakukan apapun agar Winwin tetap hidup.. aku akan membayar berapapun untuk itu.." mohon Yuta.
Dokter menghela nafas. "Tapi ini hanya mengulur waktu saja, bahkan dengan semua peralatan ini tidak membantu sama sekali.. Akan lebih baik untuk merelakannya saja.." jelas Dokter.
Yuta memejamkan matanya. "Aku mohon.. Buat di bertahan, Anak anakku masih membutuhkannya.."
"Kami akan melakukan yang terbaik, kami akan melepaskan peralatan pada pasien.." setelahnya dokter mengatakan itu dunia Yuta terasa kosong.
Shotaro dan Renjun langsung menghampirinya. "Apa kata Dokter? Mama akan segera sembuh?" Tanya Shotaro penasaran.
"Papa.. Mama baik baik saja, kan? Mama sudah bertahan sejauh ini berati Mama baik baik saja, kan?" Tanya Renjun ragu.
Yuta mensejajarkan tubuhnya dengan anak-anaknya. Tersenyum.
"Ayo kita menemui Mama.." ajak Yuta, menggenggam tangan kedua putranya untuk ia bawa berjalan beriringan. Begitu masuk mereka bisa melihat Winwin dengan wajah yang kian tirus dan pucat tanpa peralatan berarti.
"Kalian sayang Mama, kan? Coba sekarang peluk Mama dan bilang pada Mama kalian sangat sayang Mama.." Yuta melepas genggaman tangan mereka.
Shotaro dan Renjun saling bertatapan. Mereka meski bingung tetap menurut. Berusaha untuk naik ke atas kasur dan memeluk Winwin yang masih damai dalam lelapnya.
"Injunie sangat sayang Mama.." bisik Renjun lirih.
"Taro juga sangat sayang Mama.." bisik Shotaro pelan.
"Taro mau bermain bersama Mama lagi.."
"Injunie juga mau bobo bareng Mama.."
"Taro juga mau.."
Yuta mengangkat kepalanya, menahan tangis yang rasanya siap luruh kapan saja. Akhirnya berjalan mendekat.
"Renjunie.. Shotaro.. Izinkan Papa menangis ya? Boleh ya Papa menangis? sebentar saja.." pinta Yuta lembut.
Renjun hanya bisa mengangguk saja, sementara Shotaro menatap sang Ayah bingung. "Kenapa Papa izin untuk menangis? Papa sedang sedih? Mama kan sudah tidak sakit lagi.. Tidak ada alat aneh lagi di tubuh Mama kok.." cetus Shotaro polos.
Renjun hanya bisa menangis dalam diam. Dia paham. Dia sudah cukup besar untuk mengerti.
"Iya, Papa sedih.. Boleh ya Papa menangis?" Izin Yuta lagi.
Akhirnya Shotaro mengangguk. "Jangan lama lama ya Papa.. Nanti Taro dan Mama ikutan sedih.."
Yuta tersenyum akhirnya air matanya luruh.
"Karena Papa, Taro dan Injunie sayang Mama.. Kita biarkan Mama istirahat dari sakitnya ya?" Pinta Yuta dengan suara bergetar.
"Kita biarkan Mama istirahat di Surga.. Nanti kita antarkan Mama sampai tempat istirahatnya.."
"Tidak ajak Taro?"
Yuta menggeleng. "Taro dan Injunie akan menemani Papa di rumah.."
Shotaro menunduk. "Taro ingin bersama Mama.."
Renjun terisak. "Tidak apa apa, Taro.. selama Mama tidak sakit lagi tidak apa apa.."
"Mama.. meninggal? Mama tidak bernafas lagi, Jantung Mama tidak berdetak lagi.." kata Shotaro lirih.
Tubuh Yuta lemas. Winwinnya benar memilih pergi..
"Karena Mama meninggal.. Mama tidak merasa sakit lagi?" Tanya Shotaro dengan suara parau.
Yuta menurunkan Renjun dari kasur, memeluknya erat karena tangisan Renjun yang keras.
Shotaro menatap Mamanya lamat lamat. Bocah berusia lima tahun itu mengelus rambut sang ibu, tersenyum.
"Selamat tidur, Mama.. Selamat Jalan, Selamat beristirahat di Surga.. Selamat karena sudah bebas dari rasa sakit.. Shotaro.. Sangat sayang Mama.." Shotaro mengecup kening Winwin lembut.
Shotaro turun untuk ikut berpelukan bersama Yuta dan Renjun. Para Dokter dan perawat juga telah tiba untuk mengurus Winwin.
Mata Yuta terpejam. Yuta benci kehilangan, hatinya teremas sakit.
Mulai saat ini, Apakah dunianya baik baik saja? Apakah semuanya akan sama indahnya saat ia bersama Winwin?
Yuta tidak tahu, Selama ini.. Yuta tidak pernah membayangkan sama sekali. Tapi, sepertinya.. memang takdir sudah lelah berbaik hati. Ini mungkin hukumannya karena telah menyakiti kekasih hatinya.
***
TbC
Double update, Maaf mungkin gak bisa menyampaikan perasaannya dengan baik. Kayaknya ini terakhir bakalan bikin angst..
Thanks for reading, See you soon!!
KAMU SEDANG MEMBACA
It's Better a Part [Yuwin]
Fanfiction[COMPLETED] Tidak ada orang yang pernah menginginkan sebuah perpisahan. Begitu juga bagi Winwin dan Yuta. Perpisahan menjadi jalan keluar yang katanya menjadi hal yang paling baik bagi mereka dan kedua putra mereka. Tapi, apa benar perpisahan itu...