Happy Reading ❤️
Jangan lupa senyum☺️Aruna tak pernah membayangkan bahwa akan kembali bertemu dengan sang anak dalam keadaan seperti ini. Dimana anak semata wayangnya terbaring lemah tak berdaya di ranjang pesakitan.
Dadanya terasa sesak, udara seolah menjauh darinya. Kini ia dirundung penyesalan teramat dalam. Ia hanya bisa menangis.
Ia memang tak suka dengan kehadiran Juan, tapi ia juga tak suka melihat sang anak terluka. Ia memang selalu memperlakukan Juan dengan buruk, tapi tak pernah berharap Juan dalam keadaan seperti ini.
"Ju.. bangun, Nak. Ini Ibu," bisiknya.
Tangannya menggenggam tangan dingin sang anak. Jemari kurus itu kembali menamparnya telak, membuktikan bahwa selama ini ia tak pernah merawat Juan layaknya seorang ibu merawat anaknya.
"Juan, anaknya Ibu, bangun, ya? Jangan tidur terus, Ibu takut, Ju."
Lagi-lagi hanya bunyi mesin EKG yang terdengar.
Keadaan wanita itu saat ini cukup berantakan. Wajahnya sembab dan terlihat gurat lelah di sana. Semalaman suntuk ia menemani Juan yang kini sudah dipindahkan ke rumah rawat. Tak pernah ia beranjak dari sana, bahkan acara fitting pun gagal terlaksana.
Pernikahannya ditunda sampai Juan kembali sehat, meski sekarang remaja itu belum membuka matanya. Baik Aruna maupun Wira, keduanya sudah sepakat dan tidak ada yang masalah. Pihak keluarga Wira pun memaklumi, beda hal dengan keluarga Aruna yang awalnya keberatan, tapi pada akhirnya setuju.
"Anak gantengnya Ibu mimpi apa, sih, sampai nggak mau bangun? Bangun, ya, Ju. Ibu rindu."
Aruna mengelus sayang surai sang anak. Mengutarakan semua isi hatinya, berharap sang anak akan bangun. Ia berjanji, setelah Juan sadar nanti, ia akan memperlakukan Juan dengan baik—layaknya seorang ibu. Ia tidak akan menyia-nyiakan anaknya lagi. Aruna benar-benar akan menyayangi sang anak.
"Aruna, lebih baik kamu pulang dulu, ya? Kamu butuh istirahat. Jangan sampai saat Juan sadar nanti, malah kamu yang sakit," bujuk Wira yang juga berada di ruang rawat Juan.
Aruna menggeleng, untuk kesekian kalinya ia kembali menolak. Ia ingin tetap berada di sisi sang anak. Ia tidak ingin meninggalkan Juan barang sejenak.
"Kamu butuh istirahat, Na. Istirahat sebentar di rumah. Aku janji akan mengabari jika Juan sudah sadar."
"Tapi, Mas—"
"Jangan keras kepala, Aruna. Aku yakin Juan juga pasti tidak mau kamu sampai sakit."
Dengan berat hati Aruna menurut. Sebelum benar-benar pulang, ia sempatkan mencium kening sang anak, pun dengan kedua punggung tangannya.
"Cepat sadar anaknya, Ibu."
.
.
.Waktu cepat sekali berlalu, sudah tiga hari Juan betah dalam pejamnya. Kondisinya pun pasang surut. Mereka masih setia menunggu remaja itu membuka matanya.
Bahkan Aruna sempat jatuh sakit karena kurang beristirahat.
Juna sendiri selalu meluangkan waktunya. Setiap pulang sekolah, ia akan berkunjung dan selalu menginap.
Dito selaku sahabat sama seperti Juna, tapi kadang ia tak bisa menginap. Malam harinya ia akan pulang ketika jam menunjukkan pukul sepuluh malam.
Wira, pria itu selalu meluangkan waktunya untuk menjenguk Juan. Ia selalu datang bersama Azka yang terus merengek ingin bertemu kakaknya. Tak jarang bocah itu akan menangis karena Juan tak kunjung bangun.
Pagi ini giliran Wira yang menjaga Juan. Pria itu bersama sang anak yang kini memainkan jemari kurus Juan. Azka setia menanti sang kakak bangun dari pejamnya.

KAMU SEDANG MEMBACA
Juan [SELESAI]
Teen FictionIni bukan kisah romansa dimana si pangeran sekolah jatuh cinta dengan primadona sekolah, bukan pula kisah si badboy yang jatuh cinta dengan seorang gadis polos, apalagi kisah si tukang bully yang jatuh cinta dengan korbannya. Sekali lagi ku ingatkan...