The First Monolog

219 21 0
                                    



Dia disana.

Terlihat cantik seperti biasa.

Berdiri dengan anggunnya menyapa siapapun yg balik menyapanya.

Wajahnya sangatlah rupawan, bibir yg dipoles liptint dengan sederhananya, hidung sedikit mancung tapi tetap terlihat bagus diwajahnya, dan jangan lupakan tatapan lembut nan meneduhkan miliknya yg mampu melelehkan siapapun.

Rambut yg beterbangan ditiup angin, dengan lembut membelainya saat ini. Menciptakan suatu kesan yg tak mampu kuucapkan, tapi dapat kupikirkan.

Cantik.

Selalu cantik.

Dia terlalu cantik.

Bahkan ketika dia hanya berdiam diri seperti itu saja dia masih cantik.

Entah kenapa aku bisa begitu tertarik padanya, bahkan harus menjadi secret admirer seorang Adzana Shaliha, atau yg biasa dipanggil Ashel. Seseorang dengan tatapan lembut meneduhkannya.

Ya, aku tau...

Dia terlalu indah untuk menjadi kenyataan.

Karena itu aku takut, bahkan hanya untuk menyapanya saja aku takut. Takut akan mencemarinya akan diriku yg kotor ini.

Lagipula siapa yg ingin mendekatiku ?

Seorang anak beasiswa miskin yg bahkan untuk makan dikantin saja aku tak mampu.

Yah... Apalah daya. Inilah takdir.

Ashel, dia begitu sempurna.

Begitu sempurna sampai ketika dia balik membalas tatapanku.

Tersenyum dengan ramahnya ketika mata kami saling memandang, setelah beberapa saat kemudian pandangannya mulai menjauh, ketika seseorang dari salah satu temannya memanggil.

Oh Gosh ! Hanya sementara tapi berefek luar biasa. Tubuhku masih menegang kala kejadian barusan, tatapan itu. Tatapan yg selalu kurindukan itu, menatapku dengan caranya sendiri. Benar benar membuatku tak mampu mengendalikan diri.

Oh Ashel, seandainya kau tau kalau aku ingin berdiri disana, menjadi alasanmu untuk tersenyum saat ini.

Benar benar ingin, tapi aku tak mampu. Maaf.

Menjadi seorang secret admirer sudah cukup membuatku bahagia, aku ingin meminta lebih. Tapi aku sekali lagi tertampar oleh kenyataan, jikalau itu adalah sesuatu hal yg tak mungkin.

Bukannya aku pengecut, hanya saja aku sadar diri.

Seperti pungguk yg merindukan bulan. Seperti burung perkutut yg ingin menjadi elang.

Seperti itulah diriku.

Engkau tersenyum begitu manisnya, hanya karena sebuah candaan. Mata menyipit, senyuman manis, dan jangan lupakan kekehan lembut yg keluar dari bibirnya. Oh betapa itu semua begitu candu bagiku.

Andaikan... Sekali lagi itulah yg kurasa.

Tapi aku tersadar dan kemudian tersenyum tipis. Seperti ini saja sudah cukup bagiku.

Benar benar cukup.













Ternyata buat monolog itu gampang gampang susah ya.

Buat monolog kayak gini itu butuh pikiran, batin, mental, dan fisik yg cukup nggak sih ?

Tapi apalah daya...

Punya halu yg overload ya gini.

Mau buat harus berpikir keras, tapi kalo gak buat pasti lebih berpikir keras.

" Monolog "Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang