Minggu-minggu terakhir sebelum ujian nasional terasa padat. Para siswa-siswi sibuk belajar dari pagi hingga malam, mengerjakan latihan soal-soal, tak lupa mengikuti les tambahan. Hana yang notabene baru masukpun cukup kelabakan. Di samping harus mempelajari begitu banyak materi, ia juga harus bekerja paruh waktu.
Uang saku dari sang ibu tak pernah ia pakai. Selama ini uang tersebut menumpuk di pot bunga bekas yang di taruh di dekat kamarnya. Uang tersebut hanya ia ambil untuk membayar uang sekolah, tagihan listrik, air, dan pajak rumah. Selebihnya, seperti makan, membeli peralatan sekolah, mengikuti les maupun hal-hal pribadi lainnya, Hana selalu menggunakan uang tabungan hasil kerja paruh waktunya.
Sang ibu tak mengetahui hal tersebut. Dikarenakan jarangnya frekuensi mereka bertemu. Kalaupun sang ibu sedang dirumah, mereka hanya bertemu sebentar sekali. Berbincangpun jarang mereka lakukan.
Tak kalah sibuk, Jaemin pun juga sama. Dengan berbagai jadwalnya sebagai penyiar radio sekolah, pengisi narasi KBM, anggota OSIS, belum lagi ia harus mempertahankan nilainya agar tidak turun. Benar-benar hal yang tidak mudah jika harus dilakukan bersamaan.
Siang itu Hana sedang menyantap sepotong roti yang ia bawa dari kantin sekolah sembari membaca rangkuman materi yang sudah ia tulis rapi di catatan kecilnya. Taman belakang sekolah selalu menjadi tempat favoritnya untuk menyendiri seperti saat ini.
Rencananya untuk sekolah dengan tenang berjalan cukup lancar. Toh tidak banyak juga yang mau mengajaknya ngobrol. Kalaupun ada, ia lebih banyak menolak ajakan teman-temannya untuk bergabung bersama. Entah dalam kelompok belajar, makan siang bersama, ataupun bermain sepulang sekolah.
Teman-temannya melihatnya sebagai sosok yang terlalu tertutup dan dingin. Ya, memang karena itu yang ia inginkan sejak awal. Luka masa lalu dan trauma yang ia rangkul masih terlalu erat melekat, membuatnya belum berani untuk membuka diri pada orang lain.
Kecuali dengan satu orang ini.
"sendirian aja?"
Kepala Hana mendongak. Matanya melebar melihat seseorang yang kini sedang berdiri di hadapannya. Orang itu menyodorkan sekaleng minuman karbonasi rasa lemon pada Hana, lalu duduk di sebelahnya.
"wih, catetan lo lengkap juga ya. Keren." puji orang tersebut, yang tak lain adalah Gaeul.
Hana hanya tersenyum canggung menanggapinya. Gaeul membuka minuman karbonasi miliknya, meneguk isinya perlahan, menikmati tiap tetes minuman favoritnya itu.
"liat lo tu ngingetin gue sama diri gue yang dulu." Ujar Gaeul, sambil menatap kedepan
"maksudnya?"
Gaeul beralih menatap Hana, lalu tersenyum. "penyendiri, takut sama orang lain. Takut kalau orang itu bakal nyakitin kita. Karena udah terlalu banyak luka yang kita dapetin."
Hana terkaget mendengar ucapan Gaeul. Seumur-umur belum pernah ada yang memahaminya seperti ini. Bahkan ibunya sendiri tidak pernah bertanya mengenai bagaimana Hana menjalani kehidupannya.
"gue ga minta lo buat percaya sama gue kok. Gue tau, pasti berat. Tapi inget, kalo lo butuh temen cerita, gue ada buat lo."
"kenapa...lo sebaik ini sama gue?"
Gaeul tertawa. "baik gimana? Gue ga ngelakuin apa-apa buat lo."
"nah itu tadi. Lo nawarin jadi pendengar buat gue. Buat gue, itu... baik."
Gaeul meraih tangan Hana, lalu mengelusnya pelan. "gue cuma ga mau masa terakhir SMA lo berakhir datar-datar aja. Gue cuma pengen lo bisa ngerasain juga gimana rasanya punya temen pas sekolah."
KAMU SEDANG MEMBACA
SOLITARIA
Fanfiction"lo ga akan pernah tau gimana rasanya sendirian di dunia ini! Ga akan bisa paham gimana rasanya ketika semua orang benci dan jijik sama lo!" -Choi Hana "lo kira gampang jadi gue? Pura-pura selalu baik-baik aja padahal jiwa gue hancur lebur!" -Na Jae...