(1) Mengeluh

3 1 0
                                    

Hari itu, dunia terasa terbalik. Udara terasa panas, meskipun awan abu terlihat mendung. Matahari bersinar terik, meskipun tidak menyinari apapun. Angin tetap bertiup, meskipun dinginnya tak dirasa kulit. Tenggorokan pun juga terasa kering, meskipun sudah dibasahi berkali-kali.

Bangunan megah yang menjadi pusat dari berbagai kegiatan utama di kota ini pun tampak sibuk seperti biasa. Lebih tepatnya, jauh lebih sibuk dibanding biasanya. Ratusan ribu orang keluar masuk bangunan tersebut untuk menyelesaikan urusannya di hari itu. Padahal, hari itu adalah hari Minggu, hari dimana orang-orang seharusnya berlibur dan menikmati waktu bersama keluarga masing-masing.

Jauh di balik belasan menara yang menjulang tinggi, terdapat sebuah danau yang disembunyikan oleh pepohonan rimbun. Area tersebut merupakan area yang sangat jarang dikunjungi. Hampir tidak ada orang yang berkenan untuk datang ke sana, termasuk para pegawai bangunan megah itu sendiri. Selain karena lokasinya yang jauh dari keramaian, dikisahkan pernah ada yang meninggal secara tragis di danau tersebut.

Meskipun begitu, seorang laki-laki berambut merah sedang berdiri di sana, bersandar di salah satu sisi bangunan yang jarang tersentuh manusia. Seragam hitam yang dikenakannya membuat keberadaannya semakin menyatu dengan bayangan. Apabila tidak dilihat dengan sengaja, maka tidak akan ada yang tahu bahwa ia berada di sana.

Orang di balik bayangan itu adalah aku.

"Tumben sekali kau menyendiri seperti ini," ujar seorang pria yang sedang berjalan mendekat. Melihat ia membawa sebotol air di tangan, aku segera mengambilnya dan memasukkan isinya ke dalam mulutku. Ia tidak marah, pula tidak berujar kesal. "Itu harganya 3 Emp. Kuanggap kau berhutang," ujarnya setengah serius.

Ia melihat punggungku yang bersandar di dinding dengan lemah. "Ada apa?" tanyanya sambil merebut puntung rokok yang baru saja kunyalakan.

"Tidak ada apa-apa," jawabku singkat, dengan tak niat.

Aku menatap daun pepohonan di hadapanku yang sedang menari perlahan, terdorong oleh angin yang sama sekali tak terlihat mata. Sebagian besar dari dedaunan tersebut tetap bertahan di dahannya, namun beberapa dari mereka akhirnya jatuh ke tanah. Mereka yang jatuh pun akan segera menyatu kembali dengan sesamanya, sebagai nutrisi bagi keberlangsungan hidup pohon asalnya.

"Hei, kau dengar aku tidak?"

Narasiku tentang daun pohon yang menari-nari pun menjadi buyar seketika. Ucapannya barusan membuatku kembali fokus padanya seorang. "Eh, maaf. Kau bilang apa tadi? Aku sama sekali tidak dengar," ucapku jujur.

Bukannya dibuang, ternyata ia malah menghisap puntung rokok yang diambilnya dariku itu. Dan ia berkata, "Tidak mungkin kau tidak apa-apa. Biasanya kau sangat bersemangat, terlampau aktif, dan siap untuk beraksi kapan saja bila diperintahkan. Namun, kini? Lihatlah dirimu sendiri," ucapnya.

Aku meneguk tetesan air yang tersisa dari botol minum miliknya, tanpa memperdulikan satu kata pun yang diucapkannya.

"Kau, kan, seperti seekor cacing kepanasan dalam wujud manusia," tambahnya.

Mesin otakku saat ini terlalu lambat untuk mencerna ucapannya. Apapun yang dikatakannya, otakku tidak dapat memprosesnya.

"Tuh, kan. Tidak mungkin kau diam saja saat disindir," ujarnya. Ia menghisap puntung rokok itu sekali lagi. "Kau jadi aneh setelah pertemuan pagi ini," tambahnya.

Perkataannya tidak salah.

Ujung puntung rokok itu berpijar setiap kali diisapnya. Kemudian, ia berujar lagi, "Aku sebenarnya mencarimu karena ingin mengeluh. Tetapi, melihat kau yang seperti ini ...." Aku dapat merasakan tatapan menghakiminya dari kepala hingga ujung kaki. "Tidak jadi, deh," ucapnya.

Untuk Issa: Pesan dari JayTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang