18.

3.9K 321 3
                                    

Tak kunjung mendapatkan jawaban dari Arletta, Alaric kemudian bangkit. Tubuh jakungnya menjulang tinggi, membuat Arletta semakin merasa ciut. Nyalinya semakin hancur ketika tangannya ditarik paksa oleh Alaric hingga membuatnya terangkat dan berdiri. Cairan bening mulai membendung di pelupuk mata, menatap nanar penuh ketakutan berhadapan dengan Alaric yang sangat berbeda dari biasanya.

Ah, bukankah seharusnya Arletta selalu berhati-hati dalam bertingkah laku? Apalagi posisinya juga bukan apa-apa dibandingkan dengan Duke Alaric Wilton. Mengapa hari ini Arletta bisa berbuat selancang ini. Dirinya sendiri digelayuti beribu tanya, dari mana nyali besarnya hingga membuat kakinya mampu melangkah sampai tempat ini dan berdiri di depan Alaric di mana pria itu sedang murka.

Alaric yang dingin dan kejam, seharusnya menjadi pandangan familiar bagi semua orang. Seharusnya, Arletta juga terbiasa dengan rumor buruk mengenai bengisnya sifat sang Duke ini. Namun, jauh dalam lubuk hatinya, Arletta sendiri menyangkal bahwa sosok Alaric sama dengan yang digambarkan oleh orang-orang.

Baginya, definisi mengenai Alaric terlalu dilebih-lebihkan. Selain memiliki sifat pendiam dan wajah datar, sepertinya Alaric tidak seburuk itu. Hal ini Arletta katakan karena belakangan ini wanita itu selalu berada di sekitar Alaric. Ia juga mulai terbiasa dengan kehadiran pria itu.

“Jangan karena belakangan hari ini aku bersikap lunak padamu, kau jadi melunjak dan menjadi orang yang tidak tahu diri, Arletta!”

Tanpa mengucapkan sepatah kata, tetapi Arletta bisa menangkap dengan jelas jika pria itu benar-benar marah padanya. Pria itu membalikkan badan Arletta hingga membuatnya memunggungi Alaric dalam jarak yang sangat dekat. Tidak, bahkan mereka tidak memiliki jarak saat ini. Punggungnya membentur dada bidang Alaric, membuat Arletta semakin ketakutan.

Terlebih, ketika tangan besar Alaric melingkar di pinggangnya dengan erat, mengunci pergerakan Arletta sepenuhnya. Sementara itu, tangan kanannya digunakan untuk mencengkram rahang Arletta. Tidak sakit, tetapi cukup membuat Arletta diserang rasa ketakutan teramat sangat.

Bulu kuduk Arletta meremang ketika ia merasakan embusan napas hangat menyapu kulitnya. Dari ekor matanya, wanita itu bisa melihat wajah Alaric yang mendekat, lalu menumpukan dagunya di pundak Arletta.

"Buka matamu, Lady Davies. Lihat ke depan!" perintah Alaric dengan bisikan deep voice yang khas.

Mau tidak mau, Arletta membuka matanya. Menatap ke seberang, tepatnya pada empat orang tersisa dari pria yang dipakaikan penutup kepala berwarna hitam itu.

"Bukankah ini yang kau ingin ketahui, hm?"

Air mata yang sudah ditahan kuat-kuat akhirnya luruh. Cairan bening nan hangat merembes membasahi pipi Arletta. Wanita itu menggeleng kuat, tetapi gerakannya terhambat karena rahangnya yang semakin dicengkeram oleh Alaric. Pria itu memaksa Arletta untuk tetap menghadap ke depan, ke arah empat orang yang kepalanya ditutupi kain hitam, sementara beberapa penjaga sudah bersiap dengan pedang mereka yang mengkilat.

“Tidak!” batin Arletta menjerit sekeras mungkin. Tangisnya semakin tersenggal-senggal.

Tubuh Arletta dibuat merinding parah. Kedua mata Arletta dibuat menatap nanar ketika ia melihat beberapa penjaga langsung memenggal kepala empat orang itu secara membabi-buta. Melihat kejadian yang sangat cepat itu, tubuh Archelia dibuat menegang, ia nyaris memekik, tetapi tertahan entah oleh apa sehingga membuatnya malah membisu.

Lemas, sungguh ia tak mampu lagi menopang berat tubuhnya. Yang jelas, pandangannya memburam sebelum akhirnya semua berubah gelap. Ia tak sadarkan diri.

Tangan kekar Alaric dengan mudahnya menangkap tubuh Arletta, lalu membawa wanita itu ke dalam gendongannya. Rahang Alaric mengeras, ia menundukkan wajah, menatap dalam wanita yang telah menutup mata tak sadarkan diri. Melihat wajah lugu Arletta, terbesit rasa iba yang langsung ditepis Alaric seketika.

I Choose The Villain DukeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang