Salma Almira

15 1 2
                                    

18 Agustus 2020
Kamu bilang,
"Kita bubar aja. "
Aku suka lupa kalau kamu berhak memilih yang lebih baik. Awalnya, kukira kamu akan tetap dan selau bersamaku meskipun aku berbuat salah. Kamu akan menegurku, aku tidak patuh, kamu marah lalu kita baikan.
Begitupun hari esoknya. Aku salah lagi, kamu menegurku kembali dan aku tidak patuh, lantas kamu marah lagi. Tapi hari itu, kamu benar-benar marah lalu memilih pergi.

Awalnya juga, aku yang marah. Aku tidak terima. Kukira kamu yang salah, tidak bisa menerimaku apa adanya. Tapi nyatanya.. Aku yang keliru. Pada dasarnya wanita selayaknya bersedia dibimbing jika ingin menjalin hubungan serius dengan seorang laki-laki.
Bukan, kami yang salah. Tidak seharusnya kami menjalani hubungan yang belum bernilai ibadah ini.
Kami yang sama-sama salah, menjalin hubungan yang jelas-jelas melahirkan dosa tanpa batas ini.

* * * *

"Assalamu'alaikum. Sal, nanti siang jadi kan kenalan sama sepupu aku? "
Pertanyaan sepontan itu keluar dari mulut Fitri begitu telepon diangkat setelah deringan ke-2.
"Wa'alaikumussalam. Sabar, fit. Sabar, intero dulu.. Tapi, emang harus ya? Ngga bisa kalo ngga usah?? "
Aku bertanya dengan memelas. Sebal juga mendengar dia yang nyerocos tanpa aba-aba.

Dengan telepon genggam yang ku-jepit di antara bahu dan telinga, kakiku membawa langkah menuju ruang tengah. Menduduki kursi yang di atasnya terdapat kertas-kertas print-out hasil meeting kemarin sambil kutumpuk guna merapikan agar tidak berjatuhan.

"Ya kenapa sih? Kalo ngga sekarang kapan lagi?? Kalo ngga jadi,mau gimana lagi??? "
"E buseetttt, kayak iklan apaan gitu... "
"Udahlah, pokoknya nanti sore kamu ke rumah aku ya.. Ilyas bilang, ashar udah di rumah, sekalian sholat ashar di sana. Ok?? Jangan lupa! Jangan ngeles!! Awas aja kalau ngga dateng. " Ujar Fitri dengan meledak-ledak.
"Iya, Fitri sayang..  Woles ae napa sih. Kenalan doang inih kan? Gampanggg.. " Sahutku santai.

Usai meletakan telepon dan merampungkan beres-beres aku menyenderkan punggung pada sandaran sofa beludru berwarna ungu tua itu. Bukan barang mahal memang. Tapi ini menjadi tempat ternyaman untuk keluargaku berkumpul.

Kuhela nafasku dengan berat.
Ternyata semakin dewasa, tuntutan hidup makin kompleks. Bukan hidup yang menuntut sebenarnya. Orang-orang yang hidup di sekitar kita yang menuntut.
Sebagian karena benar-benar perhatian, sebagian hanya karena kurang kerjaan saja makanya sok sibuk sama urusan orang lain.

* * * *

"Assalamu'alaikum. Kulonuwun..  Salma dateng nih. "
Sembari melepas sepatu flat coklat susu di bawah lantai teras rumah Fitri, tanganku membuka pelan pintu kayu itu.
Sebenarnya dadaku cukup ngilu menahan dag dig dug jantung karena gugup. Kencang sekali.

"Wa'alaikumussalam. Masuk, Sal. Itu Fitri, Ayah sama Ilyas di ruang tengah. "
Kepala Bunda melongok dari balik horden yang menghubungkan ruang tengah dan ruang tamu.

Memasuki ruangan yang biasanya terlihat sepi itu kini bertambah ramai karena suara laki-laki yang bergurau dengan ceria namun masih terdengar sopan.
Diujung timur sofa yang paling panjang di ruangan itu, Fitri senyum secerah mentari dengan alis yang dinaik-turunkan.
Aku tahu, dari tatapan matanya saja seolah dia berkata,
'Ganteng-kan, sepupu aku?? '
IYA. ASLI GANTENG PAKE BANGETTTT!!
Astaghfirullah. Tahan,Sal. Tahann... Ngga usah norak deh. Kayak baru pernah liat cowok ganteng aee..
Tapi memang di dunia nyata, ini pertama kalinya aku lihat laki-laki setampan dia sii..

* * * *

Senin, 21 Agustus 2022
Damaalfia

Ya Jamilatu, Salma. Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang