Extra Chapter I

5.6K 356 18
                                        


Happy Reading 😊

Mengikhlaskan kepergian seseorang bukanlah perkara mudah. Banyak kenangan yang terukir sulit untuk dilupakan. Banyak hal menyenangkan yang dilalui bersama.

Ketika senyum indah itu tak lagi terbit, ketika mata penuh harapan itu telah terpejam, disanalah luka yang sebenarnya. Ketika tak lagi dapat mendengar suaranya, ketika tak lagi dapat melihat raganya yang kembali ke asalnya, hati menjerit penuh penyesalan.

Banyak perandaian yang terucap, banyak maaf yang mengiringi doa kala jiwa itu telah damai dalam lelapnya.

Sepekan telah berlalu, namun luka kepergiannya masih begitu nyata. Tak mampu hati rapuh itu mengikhlaskan, membuat jiwa tersiksa.

Juna, sosok kakak yang begitu kehilangan. Jiwanya diporak-porandakan saat adiknya dinyatakan telah tiada hari itu.

Mungkin ia terlihat baik-baik saja saat siang hari, namun malamnya Juna begitu hancur. Ia terus teringat akan sang adik. Juna benar-benar belum bisa mengikhlaskan Juan.

Malam ini masih sama seperti malam sebelumnya. Juna mengurung diri di kamarnya yang gelap gulita. Menolak setiap ada orang yang ingin masuk. Meneriaki mereka ketika mereka berniat membuka pintu kamarnya.

Tubuh jangkungnya bergetar pelan, menahan isakan yang ingin lolos.

Juna masih berharap semoga ini hanya mimpi. Juna berharap adiknya tidak benar-benar pergi.

"Ju..."

Pada akhirnya Juna tak mampu menahan air matanya. Ia tak mampu menahan sesak yang semakin menghimpit dadanya.

"Kenapa lo pergi? Lo udah janji untuk bertahan, Ju. Juan! Kembali, gue mohon!"

Juna memekik histeris, sungguh tak sanggup menerima fakta bahwa kini ia tak bisa lagi menatap adiknya secara langsung. Tak bisa lagi merengkuh tubuh kurus itu.

"Juan! Pulang.. pulang, Ju..."

Juna terus meracau, hingga tanpa sadar kini ia menyakiti dirinya sendiri.

"Anak Bunda jangan begini, Bunda mohon."

Suara lembut itu mengalun memasuki runggu Juna bersama dengan pelukan hangat yang ia dapat dari sang bunda.

Jina berhasil masuk setelah mendapatkan kunci cadangan kamar sang anak. Sungguh ia tak tega melihat Juna yang benar-benar kacau, mata sembab dan tubuh yang semakin kurus, pun dengan wajah yang telah kehilangan ronanya.

Ia tak pernah menyangka, kepergian seseorang yang kehadirannya bahkan tak pernah dinanti memberi pengaruh yang besar kepada sang anak.

Jina tak menyangka bahwa Juna benar-benar begitu menyayangi sosok Juan.

Kini Jina menyesal, menyesal pernah ikut andil menghancurkan kehidupan seseorang yang tak pernah mengenal bahagia dalam hidupnya. Jina menyesal atas keegoisannya selama ini.

Kepergian Juan membuatnya terpukul, belum sempat ia berucap maaf pada remaja itu.

Jina tahu Tuhan sedang menghukumnya atas semua perbuatan buruknya. Namun, bolehkah ia meminta pada Tuhan jangan menghukumnya melalui sang anak? Ia tak sanggup melihat anaknya yang menderita seperti sekarang. Rasanya jiwanya dicabik-cabik.

"Pergi!"

Juna mencoba melepas rengkuhan sang bunda.

"Pergi, Bunda! Juna nggak mau ngeliat Bunda. Bunda jahat."

Jina mempererat pelukannya. Tak mengelak, karena memang ia adalah sosok ibu yang jahat. Ia pantas mendapat benci.

"Adek Juna pergi... Juan pergi. Bunda pasti seneng, kan?" lirih Juna. Ia tak lagi memberontak. Tenaganya telah habis. Juna lelah.

Juan [SELESAI]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang