Bagian 2
Gulaisha AmiraGadis berambut keriting bernama Gulaisha Amira itu mengemas perlengkapan kesehatannya. Ia baru saja memberikan obat pada penduduk di desa yang tak terlalu jauh dari rumahnya. Gu, ia kerap dipanggil demikian. Gadis itu ramah dan murah senyum dengan lesung pipinya. Tak sedikit pula lelaki yang mudah jatuh cinta padanya. Namun, ia pun termasuk gadis yang pemilih. Tak ingin menerima lamaran, sebab ia sedang melanjutkan jenjang pendidikan kedokterannya yang lebih tinggi.
“Gu, cepat pergi dari sini wilayah perbatasan sedang digempur habis-habisan. Rumah kita pasti jadi sasaran?” Fani sahabat Gu datang tergesa-gesa. Ia baru saja mendapatkan laporan langsung dari saudaranya yang tinggal di dekat ribath.
“Apa?” Oh, tidak keluargaku.” Gegas Gu berlari, kerudung ala kadar terlepas dan rambutnya terurai mengikuti arah angin. Gadis itu bersama Fani memasuki mobil putih fasilitas dari tempat mereka kuliah.
“Apa saja berita yang kau dapat?” tanya Gu ketika mobil berjalan di antara rimbunan pepohonan.
“Tak begitu banyak. Saluran telepon langsung terputus, Gu. Aku juga khawatir. Belum lagi kabar yang kudengar mereka mendatangkan pasukan yang jumlahnya berkali-kali lipat dari wilayah perbatasan.”
Dua sahabat baik itu sama-sama panik. Kediaman mereka tak terlalu berjauhan. Kuliah di tempat yang sama dan mengambil jurusan yang sama pula. Mereka berdua lebih dari sekedar sahabat. Dua gadis muslim itu bahkan tak ambil pusing ketika mobil mereka diberhentikan oleh penjaga. Ada larangan meninggalkan desa dikarenakan serangan yang masih terus berjalan.
“Kami petugas medis. Sudah tugas kami menolong orang-orang yang terluka.” Gu menunjukkan tanda pengenal serta seragamnya pada penjaga desa.
“Tapi, Nona. Ini perintah, semua wanita dan anak-anak tak boleh meninggalkan desa dan diminta mengungsi secepatnya.”
Sopir mobil dipaksa turun, Gu tak menghiraukan larangan dari petugas. Ia gegas mengganti posisi sopir dan mengendarai mobil dengan kecepatan tinggi. Ia tak peduli lagi, bahkan sengaja menabrak kayu pembatas jalan. Hanya satu yang ada di dalam benaknya. Keselamatan keluarganya.
Gu mengendarai mobil dengan hati tak menentu, ia juga kesulitan, sebab kerumunan orang mulai berdatangan dengan membawa beberapa barang-barang penting.
“Gu. Apa kita tidak salah? Orang-orang mengungsi kita malah mencari bahaya.” Fani melihat kerumanan anak-anak kecil yang mulai menangis.
“Kalau kau takut, keluar dari mobil, aku harus menyelamatkan keluargaku.” Gu menghentikan laju kendaraan. Ia mempersilakan Fani turun, tetapi sahabatnya itu hanya diam di tempat. Tak banyak bicara, gadis berambut keriting itu melanjutkan perjalanannya.
Beberapa kali mobilnya dihentikan, tetapi gadis berambut keriting itu mengabaikannya. Pun para petugas jaga lebih sibuk mengurus orang-orang yang akan mengungsi. Santer terdengar kabar, wilayah perbatasan sedikit lagi berhasil dikuasai. Dentuman alat peledak dan desingan peluru masih terus berlangsung. Korban berjatuhan belum sempat ditolong.
***
Gu sampai di dekat rumahnya. Mobilnya mogok sebab telah kehabisan bahan bakar. Fani turun terlebih dahulu untuk memastikan keluarganya baik-baik saja. Namun, pada saat yang bersamaan pula gadis berambut keriting itu melihat beberapa truk dengan pasukan berpakaian hitam mulai memasuki gang tempatnya tinggal.Gadis berusia 25 tahun itu berlari. Ia mengetuk pintu rumah dengan kuat beberapa kali sembari memanggil kedua orang tuanya. Tak Gu hiraukan lagi beberapa orang yang mulai menjerit dan menangis. Pintu rumahnya terbuka dan Gu langsung ditarik ke dalam.
“Kenapa kau kembali lagi, Nak, harusnya kau pergi jauh saja dari sini.” Ibu Gu memeluk anak gadisnya yang datang bercucuran keringat.
“Mana mungkin aku meninggalkan kalian di sini. Mana Hamdan?” tanya gadis itu sembari mencari adiknya.
“Di dalam bersama Ayah. Dia baru saja tertidur.”
Gu mengunci pintu dan mengganjalnya baik dengan meja atau kursi. Gadis berambut keriting itu melihat dari balik tirai. Beberapa tentara berpakaian hitam mulai memasuki rumah demi rumah dan menarik paksa beberapa orang di dalamnya.
Dalam netra biru Gulaisha terlihat bagaimana biadabnya tentara-tentara itu, terutama pada perampuan. Ia lihat sendiri bagaimana pakaian wanita dikoyak dan digiring dalam suatu tempat. Gadis itu tahu apa yang terjadi selanjutnya. Ada sedikit rasa sesal dalam hatinya mengapa ia tak pergi saja. Jika yang lain sudah tertangkap, bukan tak mungkin gilirannya akan segera menyusul.
Tidak! Gu tak mau harga dirinya direnggut. Meski ia bukanlah muslimah yang terlalu alim, ia tetap harus menjaga kehormatannya. Lebih baik ia mati, daripada tubuhnya menjadi bulan-bulanan serigala kelaparan yang mencabiknya hingga ke tulang sum-sum.
“Kita pergi lewat jalan belakang. Cepat, sebelum rumah kita didatangi mereka.” Ayah Gu telah mengemas barang seadaanya, tak banyak hanya satu tas saja, ditambah Hamdan dalam gendongannya.
Tanpa basa-basi lagi, Gu dan keluarganya keluar dari pintu belakang. Mereka berjalan di suasana jerit dan tangisan menggema di sana sini. Harusnya malam itu mereka akan sahur pertama kali, mengingat esok hari telah masuk Ramadhan. Namun, ujian besar menyapa mereka satu wilayah Hazakh.
Sayangnya baru beberapa langkah mereka berjalan, suara letusan pistol telah menggema tak jauh dari mereka berada. Gu merunduk, ia berusaha menghindar dari serangan. Letusan demi letusan di udara terdengar lagi. Hamdan bahkan mulai menangis ketika letusan datang begitu beruntun.
Gu mengambil Hamdan yang masih terus berontak. Sementara itu ayah dan ibunya telah menjadi benteng dari kedua anaknya, sebab lima orang berpakaian hitam serta mengenakan topeng mulai mendekati satu keluarga itu.
Pangkal senapan dihantam di kepala ayah Gu, lelaki paruh baya itu langsung meringkuk di tanah. Ia merasa pusing luar biasa, darah mengalir dari dahinya. Hantaman datang lagi berulang kali. Tak kurang pula ibu Gu turut menjadi tameng agar suaminya tidak disakiti.
Gadis bemata biru itu tak tahu harus berbuat apa, sebab Hamdan mulai menangis histeris dan meronta sembari memeluk dirinya. Dingin di hari menjelang musim salju seakan-akan membuat air mata Gu beku. Ia ingin pasrah saja tetapi tak juga rela menyerah dengan mudah.
Seorang laki-laki dengan berwajah bengis datang menghampiri Gu, ia mengambil Hamdan, tarik menarik pun terjadi. Rambut Gu ditarik dengan sangat kuat, sampai jeritannya terdengar begitu menyayat hati. Ayah Gu beringsut ingin menolong. Namun, satu buah peluru dilesatkan dan bersarang di perutnya. Detik itu juga lelaki yang berusaha menyelamatkan keluarganya itu terjatuh, darah mengucur deras, kemudian matanya menutup dengan perlahan-lahan. Ia titipkan keluarganya pada Rab-nya, sebagai satu-satunya tempat bersandar.
“Bedebah. Bajingan kalian!” Gu berusaha menutup jalan darah ayahnya. Namun, seseorang dengan pangkat tinggi datang dan menarik bajunya, hingga robek dan kulit putihnya terlihat oleh serigala yang masih kelaparan.
“Bawa anak ini. Lakukan seperti biasa,” perintah Ivan pada bawahannya.
“Tidak. Lepaskan aku! Aku bersumpah kalian akan membusuk di neraka!” Gu mengabaikan tawa hina dari para tentara berpakaian hitam.
“Oh, jadi kau yang sok suci ini akan menjadi bidadari surga yang terjaga keperawanannya?” Ivan memandang Gu dari ujung rambut sampai ujung kaki. Ia tertarik dengan gadis itu, mata biru, kulit putih dan rambut keriting membuat nalurinya bangkit. Ia lupakan permintaan Sintia untuk tak mengkhianatinya.
“Aku ambil dia, bawa ke kamar. Anggap ini hadiah ulang tahun pernikahan. Calon bidadari surga bermata jeli. Begitu, kan, yang kalian banggakan dalam ajaran agama kalian yang suci itu.” Ucapan Ivan mengundang gelak tawa para serigala kepalaran itu. Gu diseret ke dalam rumahnya. Ayahnya telah mati, adiknya direbut paksa. Dan kini sembari diseret ia melihat ibunya ditembak ketika hendak menolongnya. Malaikatnya roboh di samping tubuh ayahnya yang telah tak bernyawa.
Bersambung
KAMU SEDANG MEMBACA
DILEMA DUA HATI
RomanceDendam Masa lalu yang tak pernah usai. Menimbulkan amarah dan penyesalan tak berujung juga tetesan air mata yang tak pernah berhenti