7 || Bertemu Bibi Elisabeth

92 74 11
                                    

Happy Reading<3

"Apa gue ngomong aja sama Bibi Elisabeth tentang fakta itu?"

Berpikir sejenak, Aisy mulai memutar otak. Sesekali angin lembut memberi belai pelan, seluruh benaknya dipaksa untuk melayang menemukan keputusan-keputusan yang hendak diambilnya. Selang beberapa menit, napas Aisy tertarik panjang sebelum berdiri dengan langkah mantap meninggalkan suasana tenang kolam renang. Di dalam lift, kedua netra menatap bayangan raganya pada pantulan kaca, katrol yang tertarik tinggi membawanya menuju lantai tiga.

Terbuka pintu dari baja estetis, kedua kakinya berayun menuju tepat di depan daun pintu apartemen yang tertutup. Membuka kunci, hal pertama yang Aisy pandang adalah ponselnya menyala di atas sofa ruang tamu. Cahaya layar berkedip-kedip, bertanda sebuah panggilan diterima. Sambungan telepon segera dihubungkan tanpa berpikir dua kali untuk menjawab.

"Halo? Ngapain lo telepon sore-sore?" Aisy menciptakan suara, menyapa seseorang dari balik telepon.

Kekeh dari seberang diterima oleh Aisy, suara milik saudara laki-lakinya telah lama tidak didengar. "Di sini tengah malem!" jawab Sang empu, sontak tak hanya membuat Aisy terbelalak, tetapi juga berdecak.

"Enggak apa sih, gue cuma mau mastiin kalau lo enggak b*nuh d*ri kayak orang-orang karena stress kuliah." Lagi, sosok dari balik telepon terkekeh renyah.

Sangat menyebalkan! Aisy membanting tubuh di atas sofa, suara derut sebagai respons tekanan tiba-tiba, rebah dengan posisi gawai masih berada di samping telinga. "Betah banget di Cambride, enggak inget keluarga lo?"

Suara Sang adik menggema penuh tawa di dalam ponsel, kalimat yang sering Aisy dengar tak pernah lepas kala Si bungsu mengirim telepon. Terdiam, Aisy merasakan bagaimana ujaran sederhana itu membawa seluruh kenangan manis yang dipenuhi oleh rindu meluruh saat itu. Suasana rumah yang ingin segera Aisy temu, membuat tenggelam dalam ingatan perihal keluarga yang mencintainya tanpa syarat.

"Entar gue pulang," jawab Aisy.

"Ya, udah! Pulang!"

"Entaran, bego! Gue tahu, lo kangen gue."

"Mana ada gue kangen sama lo!"

Celoteh menyebalkan masih menguar bersahutan, berdebat dengan Sang adik cukup membuat Aisy terhubung dengan rumah, meski seluruh ungkap terdengar begitu menyebalkan. Aisy tahu, di balik segala goda dan elakan mengingatkannya bahwa Si bungsu selalu menunggu kepulangannya. Andai Keyza hadir, mendengar segala argumen tak penting, mungkin perbincangan akan semakin panjang bahkan tak peduli larut.

"Tadi gue beli sate sama Mama."

Aisy mengertutkan kening, tak paham mengapa konsteks mereka beralih. "Terus?"

"Kasihan, penjualnya kena ledakan gas."

Kedua mata Aisy lantas melotot, posisinya bergegas duduk. "Lo enggak kenapa-kenapa?"

"Enggak. Malah gue kasihan sama lo." Gelak tawa lagi terdengar. "Mana ada tukang sate pake gas."

Kesal. Aisy benar-benar kesal. Tak memerlukan berpikir panjang, satu jemarinya menekan cepat ikon merah pada layar tanpa mengatakan apa-apa lagi. Frustrasinya pada Sang adik ditegaskan pada aksi melempar ponsel ke arah meja. Seluruh cakap yang didengar, menguras emosi bagai adrenalin mengalir kencang dalam hatinya yang berat. Bahkan, tak bertemu dengan saudaranya saja Aisy bisa membayangkan wajah Si bungsu tengah tertawa dalam angannya.

"Ngeselin banget punya adek! Ada enggak sih, penjual sawi yang rela dagangannya gue tuker sama dia?"

Selanjutnya, Aisy bangkit dari sofa. Langkahnya memasuki kamar dan dibiarkan berhenti di depan sebuah benda besi berpintu dilengkapi palang penggantung pakaian. Dibukanya, tatap Aisy mengarah cukup lama, tersorot pada sepotong pakaian yang tak pernah dikenakan lagi tahun-tahun ini. Hoodie hitam kebesaran berisi banyak potongan kenangan yang Aisy dapat ketika tengah duduk berdua dengan sosok laki-laki di balkon apartemen malam itu. Ingatan samar Aisy dipaksa mendobrak memori lama ketika bersama seseorang, Jovarya Zephyreinan Dareen.

[#2] HIRAETH : Turn Back Time || Proses Terbit✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang