ℰ𝓂𝓅𝒶𝓉

2 0 0
                                    

Adrian menghela nafas berat.

Sedari tadi, dia diabaikan oleh penumpangnya di jok belakang.

Nggak kayak biasa. Selama semingguan setelah perjodohan, Langit itu kerjanya Ngomooooooooong terus sama Adrian. Adrian gedek sendiri karenanya. Padahal, didiemin terus. Masih sempatnya Langit bicara GaJe.

Tapi, hari ini. Dia merasa diabaikan.

Langit Cuma duduk disana, natap jalan sambil dengerin lagu di earphone-nya. Sesekali bersiul.

Merdu memang. Tapi kurang pas kalau yang disiulin itu lagunya Doja Cat, sama Nicki Minaj.

Oh, iya. Nikahnya masih lama kok. Dua bulan lagi. Setelah mereka lulus SMA. Kata Nini dan Lastri sih, nyamanin diri dulu sama calon pasangan.

Tapi mereka nggak nyaman.

Gimana yah?

Mereka sampai di depan pagar. Di dalam, ada Teh Sari nyiramin bunga.

Langit nyelonong masuk gitu aja.

"Teteeeeeeh!" Ujarnya heboh.

The Sari mendongak, mukanya langsung girang saat lihat Langit.

"Langiiiit!" balasnya.

"Teteh hari ini cantik deh, pake daster pink. Kayak Kembang Ndeso" Langit secara polos menggombal.

Teteh malu-malu sambil nyiramin aster.

"Aih. Onok ae arek iki. Masuk sana. Ada makanan di meja"

Sekali mendengar kata makanan, Langit cengar-cengir, terus masuk ke dalam rumah.

Teteh masih setia lihatin punggung Langit sampai anak itu hilang di balik pintu. Dia lihat ke samping dan mendapati Adrian berdiri di sana.

"Suamimu ganteng ya Mas?"

Adrian ngangkat bahu.

"Biasa aja gitu"

Terus, dia ngekorin Langit ke dalam.

Teteh syok.

"OMG. Apakah anak tadi barusan berbicara?" teteh menatap Adrian yang memasuki pintu rumah dengan ekspresi terkejut.

Teteh menghela nafas lalu menggeleng.

"Anak-anak jaman sekarang cepat gede ya?"

Di dalam, Adrian nggak ada melihat keberadaan Langit. Yang ada cuman Mama yang lagi ngerebus kangkung di dapur. Mama sadar akan adanya sosok Adrian.

"Panggilkan Langit ya? Suruh makan. Dia ganti baju di kamar. Kamu juga harus ganti baju" Titah Mama Nini.

Adrian mengangguk, terus menaiki tangga ke lantai dua.

Awalnya, Adrian sering jengkel lihatin Langit hampir setiap hari main ke rumahnya. Nggak jarang juga nginap. Padahal, kenal pun kagak.

Tapi, karena Langit nggak begitu mengganggu eksistensi Adrian. Ya udah, Adrian biarin aja dia.

Adrian hendak manggil Langit dari luar, tapi keburu dibuka membuat Langit menjerit dari dalam.

Adrian yang terkejut memilih untuk lihat keadaan di dalam.

Sontak, wajahnya memanas.

Di dalam, Langit nggak mengenakan apa-apa selain sweatpants.

Tubuhnya agak langsing. Kulitnya sepucat salju. Walau perutnya nggak begitu berbentuk, dadanya menggoda selera Adrian.

Muka Langit memerah. Dia nutupin badannya pakai baju yang masih tanggal.

"KALAU MAU MASUK BILANG DULU LAH, BAMBANG!"

Adrian buru-buru nutup pintu. Nafasnya kasar naik turun.

Dia menggeleng. Mencoba menghilangkan bayangan Langit yang setengah telanjang di kepalanya.

Akhirnya, Adrian turun dan berganti di kamar tamu. Baru setelah itu ke dapur untuk makan.

Mama kebingungan celinggak-celingguk.

"Loh, Langitnya mana?" tanyanya.

Adrian hendak mengangkat bahu, ketika orang yang dicari menuruni tangga.

Seperti biasa, Langit memakai baju hitam gombrang. Di sana ada gambar empat cewek cantik. Menandakan dia fanboy setianya 'Hitam Merah-Muda'. Celana training warna abu-abu menutupi mata kakinya.

Dia menarik satu kursi setelah mengambil nasi. Langit duduk di hadapan Adrian.

Mama menaruh tiga piring berisikan lauk di hadapan mereka. Langit dengan senang hati mengambil rebusan kangkung dan tempe goreng.

"Papa mana Ma?" tanya Langit selagi mengunyah.

Mama tersenyum simpul. "Papa ada bisnis di Bandung. Tadi pagi baru berangkat."

Langit ber-Oh ria. Adrian hanya menatapnya dari tadi.

Mama pamit, karena ada klien tiba-tiba di rumah sakit. Mama beranjak mengambil kunci mobil dan jas putih dokter.

Langit menyadari tatapan Adrian. Dia menatap kembali dengan tajam.

"Apaan lihat-lihat? Ntar naksir lo"

Adrian nggeleng. Dia kembali melirik makanannya.

"gue gamau dijodohin sama lo" ungkapnya tiba-tiba.

Langit sedikit sakit hati mendengarnya. Tapi dia memaklumi Adrian. Karena di dunia ini, nggak ada yang mau dijodohin tiba-tiba secara mendadak. Perlu tekanan batin yang kuat untuk menyokong diri sendiri untuk menerima faktanya.

Langit mengangguk selagi memasukkan nasi ke mulutnya.

"Udah bisa ketebak sih. Gue aja nggak menduga dijodohin sama lo. Sebuah keberuntungan emang. Tapi gue nggak maksa lo untuk coba nerima gue sebagai suami. Kalau kita betulan nikah nanti, lo anggap aja gue saudara sendiri. Nggak usah maksa" jelas Langit kecut. Tapi dia bisa menetralkan nada suaranya berkat latihan akting yang diajari si Kembar.

Adrian sedikit terkejut dengan penuturan Langit.

Dia nggak tau mau bilang apa.

Adrian hanya mengangguk. Lalu Langit menatapnya lekat.

"Janji sama gue. Nggak ada perasaan lebih." Katanya.

Adrian mengangguk kecil. Tap Langit menendangnya dari kolong meja.

"Ish. Janji tuh, ya janji. Nggak usah ngangguk-ngangguk kek orang tahlilan. Gitu pun gue juga bisa"

Adrian terkekeh sebentar, membuat detak jantung Langit nggak karuan.

Gilaaa. Manis banget woi! Pikirnya.

"Janji" katanya datar tiba-tiba.

"Lo itu Langit. Gue Bumi. Dua-duanya nggak akan pernah ketemuan karena dipisah Cakrawala"

Kata-kata itu sedikit nyelekit di hati Langit. Padahal, kata-kata yang dibilang Adrian bukan termasuk rayuan pedas.

Langit menyembunyikan ekspresinya dengan memutar bola matanya kesal.

"Ya deh. Iyain aja kata-kata lo" katanya sambil meneteng piring kotornya juga milik Adrian. Tapi Adrian mencegatnya.

"biar gue aja. Lagi good mood"

Langit meliriknya heran. Ini anak random banget. Pikirnya.

Langit mengangguk. Terus beranjak ke luar. Dia menghadap Adrian sebentar.

"Lagi good mood aja, baru mau nyuci piring. Dasar lo, nggak Suami-Able banget" celetuknya, lalu pergi ke luar.

Adrian menatap cengo punggung Langit dari balik pintu kaca. Air di keran masih hidup.

Tanpa sadar, dia tersenyum kecil.

"Aneh, tapi Lucu"

Setinggi Langit[BxB]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang