𝒮𝒶𝓉𝓊

6 1 0
                                    

"Abang!"

Langit memanggil Si Abang dari arah ruang tengah. Memang kebiasaan Genta kalau maskeran pasti di kamar si Langit.

Alasannya sih, dingin.

Tapi Langit tahu kalau si Abang cuman iri karena Langit dapat kamar yang lebih besar.

"Abaang! Cepat keluar dong. Aish!" Langit mendecak sebal. Dia masuk ke kamar dan benar saja.

Genta Angkasa Purba lagi rebahan di kasur Langit. Mukanya tertutup masker hijau, serta timun di matanya.

Langit mulai geram.

Dia mendekati Genta, lalu menendang kaki Si Abang.

"ADUH! Apaan sih elu? Pergi main sana sama si Tama kek. Retak kan masker gue jadinya. Ganggu beauty sleep gua aje!" Genta ngeluh.

Langit melotot.

"beauty sleep. Apaan? Muka jerawatan gitu pake byuti byutian segala. Makanya, cari kerja. Nggak usah rebahan mulu, jadi beban Orang tua. Nggak malu apa, abis kuliah masih magang" Usul Langit.

Genta mendecak sebal.

"Lo ngurusin hidup orang aja. Urusin hidup sendiri aja sana! Cari cewek. Jan Cowok melulu" Si Abang menaruh kembali sepasang timun ke matanya.

Langit lagi-lagi nendang kaki Genta.

"Nikah sana. Ini, udah kerja nggak mau. Mendingan cari jodoh yang kaya raya. Nggak perlu susah nyari uang. Kayak Sugar Daddy di pengkolan itu loh" Celetuk Langit.

Genta melotot. Timunnya lagi-lagi jatuh.

"Kagak ya! Gua mau jadi laki-laki indipenden seumur hidup!"

Langit memutar bola matanya. Tak lama, masuklah salah satu adik kembar mereka. Yang waras. Sina masuk sambil memegang Novel di tangannya.

"Nyenyenye. Banyak omong lu bang. Indipenden ya indipenden. Gapapa kalau abang Bill Gerbang atau Om Elon. Duit ngalir terus. Ini, udah misqueen, perawatan wajah abisin duit. Gak perlu repot-repot Skincare-an. Malahan makin narik perhatian"

Langit mengajak Sina ber-tos. Yang langsung di balas oleh Si Adik Perempuan.

Gentah melenguh lelah.

"Ah, lo mah! Tau gue, mentang kulit kalian selembut pantat bayi. Sehalus pipi Jaehyun En-Si-Ti-AW!"

Langit dan Sina sama-sama menendang kaki Genta. Mata mereka melirik tajam.

"Keluar!" Titah mereka berdua.

Genta lagi-lagi mendecak sebal. Dia berdiri memungut timun, lalu pergi ke ruang tengah.

"Ampun gue punya adik-adik Laknat kayak lo pada" Katanya sambil jalan.

Langit menghela nafas. Dia melihat ke kasur dan mendapati Sina selonjoran di sana. Lanjut membaca Novel.

Kenapa Langit nggak protes?

Karena Sina satu-satunya orang lain yang waras di keluarga ini selain Langit. Makanya mereka dekat.

Sampai pada waktu di mana Langit menyadari kalau Novel yang dibaca Sina itu Novel BL.

"Lo ngapain baca yang gituan?" Tanya Langit Heran.

Sina mengerut. Seakan heran dengan pertanyaan random Abangnya.

"Lah? Mas kan Homo. Emang, aku nggak boleh baca gitu?" Tanya Sina kembali.

Langit menggeleng pelan.

"Nggak gitu sih, konsepnya"

Sina hanya mengangguk.

Langit memang Homoseksual kok.

Keluarganya udah pada tahu. Mereka support pilihan dia. Definisi Keluarga Cemara yang Gila.

Awalnya, si Emak nggak setuju sama orientasi seksual Langit. Dia masih pengin punya cucu. Terus teringat kalau anaknya masih banyak yang masih mau nanam bibit.

Yaudah, nama Langit dicoret gitu aja dari daftar anak penghasil cucu.

Alhasil, si Emak datangi teman dekatnya yang kebetulan Fujo. Dia konsultasi setiap harinya. Sampai hari-hari di mana Emaknya jadi Fujo juga.

Kadang, Bunda Lastri-nama si Emak-nanyain hal-hal nggak jelas kayak;

"Kamu ada suka sama laki nggak, di sekolah? Kalau kaya, pacarin aja sana!"

"Kamu mau nggak, Bunda jodohin sama anak kawan Bunda? Ganteng loh!"

"Kamu suka Kang Daniel ya? Soalnya cocok"

Yah, walau memang menurut Langit Kang Daniel memang menggoda...

Lanjut.

Langit beringsut rebahan di samping Sina. Ikut membaca, tapi hanya menangkap beberapa kata.

Lalu, satu kepala usil melongo dari pintu kamar.

"Mas Ngiiit" Panggil si Kembar laki.

Yang Nggak waras.

Langit melotot ke Sinar.

"Ngit, ngit. Lo kira gue Walang Sangit?" Ceplosnya.

Sinar meringis mendengar kata-kata pedas masnya.

"Iku loh Mas. Bunda manggilin"

Sina tiba-tiba melonjak dari tempatnya selonjoran. Dia menatap Sinar sambil senyum.

"Udah waktunya ya Nar?"

Sinar senyum-senyum sendiri, terus ngangguk.

Langit menatap bolak-balik kedua adiknya.

"Napa lo pada?"

Sina tampak terkejut.

"Loh? Bunda belum bilang ke Mas ya? Mas mau dijodohin"

Langit tampak lega. Lalu kembali natap SIna.

"Itu sih, udah tahu dari dulu. Mas nggak tahu sama siapa tapi. Intinya, cowok deh" Jawab Langit Jujur.

Sinar nampak berpikir. Ini adalah sebuah fenomena, dikarenakan Sinar Angkasa Purba adalah satu dari sekian manusia yang kecapekan hanya dengan memakai satu sel otak.

"Kayaknya, namanya Adrian, Adrian gitu deh Mas. Ada Bumi, buminya juga"

Langit langsung melotot sempurna.

"Adrian Varuna Putrabumi?" Terkanya.

Sina dan Sinar mengangguk.

"Iya deh. Itu namanya kalau nggak salah. Katanya, dia satu sekolah sama Mas" Ujar Sina malas.

Langit hanya mengangguk tenang.

Padahal dia sama sekali tidak tenang.

Adrian Varuna Putrabumi.

Nama itu seakan melayang-layang di kepala Langit.

Mereka satu sekolah memang. Langit tidak begitu tahu tentang Adrian. Sekarang. Tapi, yang penting adalah status Adrian di sekolah.

Dikenal karena perawakan, kecerdasan, kekuatan, serta kesempurnaannya. Bisa dibilang, kembaran dewa. Tapi minus power-nya.

Populer di kalangan cewek, disambut di kalangan cowok. Pria dingin itu tidak menoleransi siapapun kecuali orang-orang yang benar-benar dikenalnya.

Dan gawatnya lagi, Langit punya rasa terhadap remaja tersebut. Dari awal.

Dan dia tidak tahu apakah Adrian bisa membalas rasanya.

Bahkan Langit tak yakin kalau Adrian masih mengingatnya.

Setinggi Langit[BxB]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang