18 | undangan

642 75 8
                                        

"Aku sayang banget sama kamu. Selamanya bakal terus gitu."

"Jangan minta putus ya, aku gak bisa hidup tanpa kamu."

"Aku pasti bakal nikahin kamu kok. Tunggu ya."

"Aku nggak akan ninggalin kamu."

Halah. Bullshit.

Jisoo udah kebal sama janji-janji manis yang dilontarkan sama pacar—eh ralat, mantan pacarnya.

Ya, pokoknya jangan percaya sama apa yang dibilang sama cowok yang udah pinter sama hal begituan. Mulut manis dan semua perlakuan yang diberikan itu ibarat racun bagi hidup perempuan. Selama si cowok belum memberi kepastian yang benar-benar pasti dan omongannya bisa dipegang, jangan percaya dulu.

Jisoo udah dewasa, dia sadar kalo di dunia ini gak semua hal tentang cinta. Tapi kadang, disaat keadaan bikin capek dan pengen nyerah. Kalau ada orang yang bisa dijadikan sandaran, itu pasti bakal berguna banget.

Tapi ya gimana, yang dijadikan sandaran itu gak selalu ada. Dia pasti bakal pergi kapanpun.

Dulu, Jisoo masih mengingat perkataan —mantan— pacarnya itu. Semua perkataan dan perlakuan manis yang selalu Taeyong berikan padanya dulu. Jisoo masih mengingatnya dengan jelas.

Dan sekarang, Jisoo dipaksa menghapus semua kenangan mereka. Hanya dengan selembar kertas undangan pernikahan bertuliskan Taeyong dan Sena yang kini ada ditangannya.

Bohong jika Jisoo mengatakan dia gak sedih. Mereka baru putus bahkan belum ada satu bulan. Gimana ceritanya Jisoo bisa melupakan Taeyong begitu saja, apalagi masa pacaran mereka yang bisa dibilang gak sebentar.

Jisoo sedih, dia sakit hati saat Taeyong mengatakan dia akan menikah. Bukan bersama dirinya, tapi perempuan lain pilihan orang tuanya.

Jisoo gak masalah kalau Taeyong mengatakan itu dari jauh-jauh hari. Bukan tinggal menunggu beberapa persen lagi persiapan pernikahan cowok itu selesai.

Kalau dipikir-pikir, berarti beberapa bulan terakhir ini Taeyong membohonginya. Semua perkataan dan perlakuan cowok itu hanya semata-mata untuk membuat dirinya tak curiga. Cowok itu sudah dikenalkan pada perempuan bernama Sena dari jauh-jauh hari sampai akhirnya orang tua mereka sepakat untuk menikahkan keduanya.

Tunggu dulu, Jisoo baru sadar akan hal ini.

"Wahh, gila banget ya tuh cowok." Jisoo berucap tak habis pikir, melemparkan undangan pernikahan Taeyong ke atas meja. "Tapi lebih gila lagi gue sih, bisa-bisanya gue tetep aja baper sama omongannya."

Lisa, teman satu kostnya itu tertawa terpingkal-pingkal. "Emang lebih mending ngejomblo sih," setelah itu dia tertawa lagi.

Jisoo mendengus malas. "Gue rasanya pengen bakar gedung pernikahannya."

"Itu bakal memperjelas kenyataan kalo lo belum bisa ngelupain dia." Lisa meminum pop ice yang dia beli di warung sebelah, tenggorokannya jadi sakit gara-gara tertawa terlalu keras. "Udah deh, kalo menurut gue sih, Mba. Mending lo dateng aja."

"Ogah banget, kayak gak ada kegiatan lain yang berfaedah aja." Jisoo berdecak, ikut meminum pop ice miliknya sampai tinggal setengah. Masih terbawa emosi, belum bisa menerima kenyataan.

Lisa berdecak. "Taeyong bakal ketawa ngakak kalo tau lo gak dateng. Lo gandeng cowok aja kesananya, Mba Jis."

Jisoo terdiam sebentar, bukan memikirkan perkataan Lisa. Tapi memikirkan rasa pop ice miliknya. "Bentar, ini kok rasanya kayak cabe ya?"

"HAH? HAHAHAHA KOCAK BANGET ANJIR!!"

Lisa kembali tertawa, emang selera humornya serendah itu. "Pop ice lo emang dibuat pertama, mungkin blender-nya bekas buat nganu cabe kali."

[I] Love StoryTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang