11. Between Two Hearts

17 5 0
                                    

Jihyo tak pernah mengharapkan hari minggu yang menyenangkan sebab ia tahu jika dirinya hanya duduk dirumah, mentalnya akan semakin tidak aman.

Seperti saat ini, duduk di ruang tengah bersama Sera dan Taehyung, menonton acara televisi yang menurutnya biasa saja. Beberapa kali Jihyo melirik Sera yang senang mengusap perutnya yang sudah mulai terlihat. Sakit, jujur saja, ingin rasanya Jihyo menangis disini juga. Mengutarakan bertapa ia cemburu melihat kakaknya yang hamil sekaligus rasa sakit yang masih mengaga luas di hatinya.

Jihyo mengusap ujung matanya yang sedikit mengeluarkan air mata, tak menyadari Taehyung yang menatapnya sendu. Yah, Taehyung tahu bagaimana sakitnya Jihyo saat ini.

"Ji, menurutmu, apakah panggilan mommy dan daddy cocok untukku dan Taehyung?" Jihyo menoleh saat Sera bertanya dengan nada senang. Ia memiringkan kepala ke kiri-kanan, berpikir apakah maksud dari pertanyaan Sera.

"Maksud kakak?"

"Aku dan Taehyung sudah membicarakan hal ini. Janin ini akan memanggil kami dengan sebutan mommy, daddy setelah ia lahir nanti lalu dia akan memanggilmu mama. Menurutmu, apakah itu cocok?"

Oh, jadi itu maksud Sera? Jihyo tersenyum miris, ia jadi ingat dua tahun lalu saat Taehyung mengatakan aku sangat ingin anak kita memanggil dengan sebutan mommy, daddy. Waktu itu Jihyo bisa melihat bertapa senangnya pria itu saat mengatakannya seolah itu semua akan langsung terjadi di hari besok.

Lamunan Jihyo buyar saat Sera kembali memanggilnya. Ia kembali menoleh lalu tersenyum teduh. "Hum, sangat cocok. Ngomong-ngomong, aku tidak mahu dipanggil mama. Itu lebih terlihat seperti aku adalah orang asing yang tiba-tiba masuk ke dalam rumah orang. Ah, aku harap kau mengerti maksudku. Dia bisa memanggilku bibi saja, pasti akan sangat bagus kalau ia menganggapku sebagai bibinya."

Sera tersenyum lalu mengangguk, ia kembali melempar tatap pada layar televisi, tak memperdulikan Jihyo yang tiba-tiba beranjak menuju ke kamar.

Sementara Taehyung hanya bisa menatap dan terus menatap setiap pergerakan Jihyo sampai pundak sang istri hilang dari pandangannya. Lagi-lagi ia melihat gurat kecewa yang terpancar jelas di mata Jihyo. Melihat pundak bergetar Jihyo saja mampu membuat hatinya seperti di tancap dengan benda tajam.

Bohong saja jika ia tidak ingat tentang percakapan mereka dua tahun lalu di sebuah bangku taman. Taehyung tak pernah mengharapkan ini, ia sangat ingin punya anak tapi bukan dari Sera melainkan dari Jihyo. Membayangkan bertapa mereka bisa hidup bahagia bersama saja sudah mampu membuat Taehyung menangis haru, namun semuanya sirna kerana kebodohannya sendiri.

Taehyung menutup pintu kamar tanpa menghasilkan bunyi saat menatap Jihyo yang terbaring membelakanginya. Ia ikut naik ke atas ranjang, langit diluar sudah berubah jingga dan sebentar lagi pasti akan bertukar gelap.

Taehyung baru saja kembali dari ruang kerjanya setelah selesai menemani Sera menonton televisi. Dan sekarang ia memutuskan untuk masuk ke kamar, mengecek kondisi Jihyo yang terlihat sedikit berantakan sehabis menangis di kamar mandi sehari suntuk.

"Kau menangis, hum?" Taehyung berucap selembut mungkin dengan nada beratnya, ia memeluk Jihyo dari belakang lalu mengecup pundak istrinya yang terekspos. "Maafkan aku kerana telah menyakitimu. Tak bermaksud untuk menghancurkanmu, aku sungguh-sungguh mencintaimu, sayang."

Taehyung mengusap perut rata Jihyo setelah berhasil menelusup masuk ke dalam kaos tipis yang gadis itu kenakan. "Aku mencintaimu lebih dari aku mencintai diriku sendiri."

Jihyo mendengarnya tapi tak mahu repot-repot menanggapi hal itu. Ia berpikir sejenak sebelum akhirnya berucap sehingga membuat atmosfir antara mereka mendadak berubah lebih emosional.

BETWEEN TWO HEARTS Where stories live. Discover now