03. Hidangan

47 11 115
                                    

"Hei… aku didepanmu, kenapa fokus ke ponsel terus, hm?" Suara manly seorang lelaki membuyarkan lamunan perempuan berambut pendek itu. 

Malika tersenyum canggung, merasa tidak enak sudah membiarkan Bara begitu saja. Tapi bukannya marah, lelaki berusia 30 an itu malah tersenyum manis. Menggenggam tangan perempuan yang sudah dipacarinya selama 2 tahun itu. Seolah memberi ketenangan dan kekuatan.

"Muti belum memberi kabar?" Tanya Bara yang memang tau kekalutan di hati kekasihnya. Malika mengangguk. Sejak tadi dia bolak balik membuka kunci ponselnya, melihat jam digital yang tertera di sana. Menunggu pesan atau panggilan masuk dari adiknya. Tapi semuanya nihil.

Bahkan saat dia mencoba menghubungi Muti dan teman-teman adiknya yang lain, perempuan berkulit putih itu juga tidak mendapat balasan sesuai harapannya. Ponsel keempatnya tidak dapat dihubungi. 

"Aku khawatir, sudah hampir jam 9 malam, tapi Muti atau teman-temannya yang lain belum juga memberi kabar." 

Bara yang tadinya duduk berhadapan dengan Malika, kini memilih pindah ke samping kekasihnya. Mengelus pundak itu dengan lembut.

"Mungkin mereka kelelahan. Sampai lupa memberimu kabar." Ucap Bara lagi mencoba berpikir positif.

"Mudah-mudahan besok pagi ada kabar dari mereka." Lanjutnya. Walau tidak sepenuhnya membuat hati Malika tenang, setidaknya saat dia gundah gulana seperti ini, ada sosok Bara sebagai tempatnya mengadu dan bersandar. 

"Terima kasih, Mas." Ucapnya dengan nada lembut dan senyuman tulus. Dibalas Bara juga dengan senyumannya yang menenangkan.

Kemudian sebuah suara microphone mengalihkan atensi mereka. Pintu teater tempat mereka menonton bioskop sudah dibuka. 

Bara buru-buru menggenggam tangan Malika dan membawa kekasihnya itu ke tempat yang mereka tuju.

🌴🌴🌴

Setelah kepergian Jean dan Sun, keenam orang yang masih bingung dengan keadaan itu mulai saling tatap. 

"Sekarang kita harus bagaimana?" Diana membuka suara, duduk di sofa ruang tamu yang cukup luas itu. 

"Sebaiknya sekarang kita tidur. Besok kita bahas bersama." Usul Vando kemudian. Dan diangguki setuju oleh Bila. 

"Benar, aku cukup lelah." Katanya dengan nada lemas. 

Ale dan Nina menatap malas ke arah si perempuan berparas bule itu. Sedangkan Muti sedikit mencerna sebelum akhirnya buka suara. 

"Bila, ikutlah bersama kami, Mas Vando kalau bisa kamarnya harus di sebelah kamar kami." 

Bila mengangguk patuh saja. Lagian ucapan Sun tadi sudah jelas ditujukan untuknya dan kekasihnya. 

"Maksudmu dia sekamar dengan kita?" Bisik Nina lirih di samping Muti. 

"Sekarang kita jalankan saja pesan Sun. Menunggu besok, aku harap tidak ada siapapun yang berbuat aneh." Lanjut Muti tegas. 

"Benar kita harus mengikuti pesan kak Malika." Kata Diana kembali mengingatkan. 

"Ngomong-ngomong, ponsel kalian ada sinyal?" Tanya Ale pada Vando dan Bila. Gelengan kepala pun mereka beri sebagai jawaban. 

"Kak Malika pasti khawatir sekarang. Aku belum memberinya kabar apapun." Lirih Muti sendu. 

"Besok kita tanya pada Jean atau Sun cara menghubungi keluarga kita. Semuanya juga pasti khawatir." Vando berdiri dari duduknya. 

"Aku akan pergi tidur sekarang. Jika butuh sesuatu ketuk saja ya. Selamat malam." 

THE SECRET ISLAND (IDOL x OC)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang