Libur dua minggu. hal yang mustahil terjadi, terutama bukan di akhir semester pula. terlalu bagus untuk menjadi nyata, hal itu yang aku mendeskripsikan kata itu. melekat dan menyatu menjadi bagian hidupku, itulah sekolah.
Semua tampak mustahil, setidaknya sebelum kejadian itu. Setelah penyakit itu menyebar, hal mustahil itu pun terjadi, libur dua minggu menjadi nyata. Tetapi, libur dua minggu tak lagi menjadi dua minggu. Libur dua minggu itu, mencakup ratusan hari, diiringi tumbuhnya aku, hingga masa seharusnya aku menjadi dewasa. Dua kelas telah aku habiskan semua masa di dua minggu itu.
Terbuka mulai mataku, menatap buram ke arah gulita langit-langit dinding, tak tau subuh atau malam waktu ini. Kesunyian berada di sekitarku, diiringi dengan suara mesin pendingin. Cahaya lampu dari lorong luar menusuk melalui jendela boven kamar diatas pintu, meski hanya menyinari sisi dimana ia berada. Suhu dingin, bertaburan di seluruh sudut kamar.
keluar lalu aku dari bungkusan selimut, dan lalu duduk. Telapak kakiku mulai menyentuh keramik lantai, seketika ia tertusuk oleh dinginya. kumulai menekan saklar lampu yang ada di kananku. Lalu segala sisi dinding kamar terlihat seketika.
Buram masih pandanganku, langit luar pun tampak gulita dari jendela kamarku. Kering kurasa mulutku, dan haus terasa di tenggorokanku, dari saat aku bangun. Tanganku mulai mengusap kedua mataku, seketika pandangan buram ku hilang.
Haus kurasakan di tenggorokanku, kering pun terasa di mulutku. Aku mulai berdiri, lalu berjalan, diatas keramik lantai, diatas tusukan dinginnya, meninggalkan kasur dan keluar kamar.
Ku duduk di kursi meja makan, dan memulai meneguk air, dikelilingi oleh peralatan dapur, dan sinar pendar lampu dapur. Sunyi mengiringi sesaat aku minum.
Segala perabotan rumah, segala sisi tembok rumah, dan tak satupun teman berada di sampingku, membuatku merasa menyatu dengan mereka. Teman bukanlah menjadi bagian dari hidupku.
Cahaya jingga matahari, bermunculan dari arah timur. Para sinar mentari berada di antara awan-awan abu dilangit. genangan-genangan kecil, tersebar di pinggir jalan. Udara dingin mulai bercampur dengan hangatnya matahari. Ku berlari di pinggiran jalan aspal, menghindari genangan-genangan, menghindari hampir tak ada kendaraan sama sekali.
Ku buka pintu kamar. abu mulai menjadi putih sekarang. Rambut panjang basah menghiasi kepalaku. Seragam putih dan celana pendek yang kukenakan sekarang. Ku buka lalu tirai serta kaca jendela, seketika, udara hangat mulai menyerbu kamarku. Lampu masih kubiarkan hidup,
karena aku akan bersekolah, bersekolah tetapi bukan yang biasanya aku lakukan sebelum kejadian itu.
Ku buka laptop dan meghidupkanya. Dan kusuka aplikasi zoom dan sekolah pun dimulai. Sangatlah mudah, tanpa melihat dunia luar, dan hanya dengan kecepatan internet, aku sudah sampai di sekolah.
Lima pelajaran aku telah lewati. Jam 12 siang sekarang ini, dimana sekolah berakhir. Setiap hari seperti ini, dikelilingi dinding rumah berhadapan dengan dan mendengarkan orang di dalam laptop.
Esoknya aku begitu juga, Ku berlari di pinggir jalan, lalu bersekolah setelahnya. Ku terperangkap, bukan di suatu tempat, tetapi hal yang ku jalani ini. Tak melihat dunia luar, tak memiliki teman. aku bagaikan berjalan di kehampaan. Tak tau harus ke mana, ku tetap jalani hariku, diiringi kesendirian, tanpa teman, tanpa seseorang yang mengerti apa yang aku hadapi sekarang.
Pada suatu hari, ku buka pintu kamar, keringat membasahi kulitku, detak jantung terasa sangat cepat. Ku berjalan menuju lalu terbaring di kasur. "Apa yang terjadi padaku" sontak pikiranku berkata, berubah telah hidupku, setelah 2 Maret 2020. kesendirian, segala tembok disisi kamarku, laptop, cahaya layar, dan kehampaan tidak memiliki teman, ku terperangkap di dalamnya. Tanggal itu, adalah tanggal terakhir, aku melihat sekolah, tanggal yang mempertemukan aku dengan nasib ini. Sontak pikiranku berwisata ke masa lalu, dan aku mengingat hari itu.