.
.
.
.
.
"Cup lu kemana aja sih gua telfon dari tadi gak diangkat"
...
"Kangen palamu, mau minta tolong dong pleasee"
...
"Nah itu tau, warna biru ya satu aja tapi yang gede"
...
"Gak usah, gua udah makan tadi sama Sarah"
...
"Pipi gua gak gede yaa, emang dari sananya begini. Dah ah mau lanjut lagi besok deadline soalnya"
Panggilan pun berakhir. Tapi,
"Bye sayang"
Ucup hanya berani jika Piko tidak mendengarkannya. Pernah sekali Ucup tidak sengaja mengatakan kalimat tersebut saat panggilan telfon mereka belum terputus
"Apaan sih cup bercanda mulu lu ah"
Ucup hanya bisa tersenyum pahit. Tak apa jika cinta ini bertepuk sebelah tangan, karena Piko itu segalanya baginya. Apapun akan ia lakukan untuk kebahagiaan Piko.
Apapun, saat dimana Piko berteriak histeris kepadanya dan mengatakan jika Sarah menerima pernyataan cintanya.
Ucup tidak apa apa selama masih tetap bisa melihat senyum cerah dengan pipi gembul milik Piko setiap hari, rambut panjang Piko, Tangan cantik penuh cat milik Piko, apapun yang Piko punya, apapun yang Piko lakukan Ucup pasti suka.
Piko adalah hidup matinya Ucup.
.
.
.
.
.
"Woy Pik nih, sekalian makan dulu nanti kalau sakit gua gak mau ngurusin lu ya"
"Diem nanggung nih"
"Apa perlu gua suapin?"
Suara bantingan kuas terdengar, Piko menatap Ucup dengan garang. Tapi beda kalau dimata Ucup, Piko terlihat berkali kali lipat menggemaskan.
"Cup, 5 menit deh ya jangan gangguin nanti kalau udah kelar kita makan bareng"
Ucup hanya bisa tersenyum, dieluslah rambut sebahu milik Piko dengan kasih sayang.
"Oke jangan maksain ya, kalau udah cape udahan dulu baru nanti lanjutin lagi"
Piko tersenyum sampai pipi bulatnya mengembang sempurna.
"Iyaa Ucup sahabat terbaikku"
Piko melanjutkan lukisannya dan Ucup dengan senantiasa menunggu sang pujaan hati selesai.