Ada alat tulis yang harus dibeli oleh Yisabelle, jadi Mina mau tidak mau harus pergi ke kelas sendiri.
Mina melangkahkan kakinya masuk ke dalam kelas. Dia berharap hari ini dan seterusnya Marvin tidak datang mencarinya dan memaksanya untuk menjadi tutor pria itu.
"Mina."
"Ada apa?" Mina bertanya tanpa menoleh, karena dia sedang mengeluarkan Buku paket dari tasnya.
"Marvin. Katanya dia pindah kelas."
Mina diam.
"Pindah kelas?" Mina kali ini menoleh ke sahabatnya yang baru saja duduk tepat di sebelahnya. "Lo tahu dari mana kalau dia pindah kelas?"
"Rumornya sudah menyebar."
"Baru rumor, tetapi lo percaya?"
"Bagaimana kalau dia emang pindah kelas?" tanya Yisabelle.
Mina mendengkus pelan, "ya, itu hak dia pindah kelas. Gue berharap, Marvin bukan pindah ke kelas ini."
"Kayanya, harapan lo nggak dikabulkan."
"Hah?"
"Lihat siapa yang masuk ke kelas kita sambil menggendong tasnya?"
Mina mengikuti arah pandang sahabatnya, ternyata benar saja pria itu pindah ke kelasnya. Mata dia dengan Marvin saling menatap satu sama lain, dia mendengkus pelan sebelum akhirnya memutuskan kontak mata tersebut lebih dulu.
"Sialan." Mina mengumpat pelan, tetapi dia tahu Yisabelle masih bisa mendengar umpatannya.
"Sabar,"
"Berisik." Mina menggertakkan giginya, memperhatikan gerak-gerin Marvin yang duduk tepat dibelakang kursinya.
"Hai, kita bertemu lagi."
"Hai, terima kasih martabaknya, ya, hehe." Yisabelle tersenyum lebar diakhir kalimat yang diucapkan olehnya.
Mina berdecak.
"Boleh tanya nggak?"
"Lo mau nanya ke gue atau Mina?" tanya Yisabelle.
"Kalau gue bertanya ke Mina, gue nggak yakin dia bakalan menjawab pertanyaan gue."
"Apa yang ingin lo tanyakan?" Yisabelle kembali bertanya, diam-diam dia setuju dengan yang dikatakan oleh Marvin mengenai sahabatnya.
Mina hanya mendengarkan saja tanpa ingin bergabung di dalam pembicaraan Yisabelle dan Marvin.
"Kalian memang sedekat ini, ya?"
"Ya. Kenapa?"
"Kalau begitu, lo saja yang jadi tutor gue. Bagaimana?"
"Hah?!" Yisabelle melotot, meskipun dia masuk ke sekolah elite ini karena beasiswa. Tetapi, otaknya tidak sepintar Mina.
"Bagaimana mau, ya, Yisabelle?"
"Maaf, bukannya gue menolak. Tetapi, gue nggak pandai menjelaskan dan gue nggak sepintar Mina."
Mina memilih diam saja. Dia ingin hidup dengan damai, itu saja keinginannya. Semoga Marvin tidak lagi memaksanya untuk menjadi tutor pria itu.
"Mina."
"Kenapa?"
"Lihat, siapa yang sedang berdiri di depan pintu kelas kita?" bisik Yisabelle.
Mina mengernyitkan dahinya, kemudian mengikuti arah pandangan sahabatnya ke pintu kelasnya.
Kak Bryan?!
Mina membulatkan matanya, apa yang sedang Kakaknya lakukan di depan kelasnya dan bersikap seperti sedang mencari seseorang.
"Di sini ada yang namanya Alyssa?"
DEG! Mina bagaikan di sambar petir disiang hari, ketika tahu Kakaknya datang untuk mencari Alyssa bukan dirinya. Untuk apa Bryan mencari Alyssa?
Kehadirannya apakah benar-benar tidak dianggap ada oleh mereka? Keluarganya yang tersisa hanyalah Ayah, Kak Bryan, dan Kak Darren.
Mina tertawa hambar dengan airmata yang bersamaan keluar dan membasahi pipinya. Dia dengan segera menghapus airmatanya kasar. "Yisa,"
"Are you okay?"
Mina hanya tersenyum. "Gue mau ke kamar mandi dulu, ya."
"Mau gue antar?"
"Nggak perlu," ujar Mina sambil menggelengkan kepalanya.
Mina melangkahkan kakinya masuk ke dalam salah satu bilik toilet, dia berdiri dan menutup wajahnya dengan tangannya.
Dia kira tidak akan terasa menyakitkan diperlakukan tidak ada bahkan oleh Bryan. Selama ini, dia telah salah menilai Kakak pertamanya itu.
Mina kira Bryan tidak sama seperti Ayah dan Kak Darren. Ternyata, Bryan sama saja.
Dia sudah siap dianggap tidak ada oleh salah satu anggota keluarga kandungnya, tetapi mengapa rasanya masih menyesakkan dadanya?
"Tuhan, kenapa aku harus terlahir di dunia ini?" Mina bermonolog, airmatanya tidak pernah berhenti untuk menetes dan membasahi kedua pipinya.
Mina menggigit bibir bawahnya agar isak tangisnya tidak keluar begitu saja, dia membiarkan airmata turun dan membasahi pipinya.
"Tuhan, untuk kali ini saja bolehkah aku menyerah?"
•••
Suasana hatinya benar-benar buruk sekarang, jadi Mina memilih diam daripada berbicara hanya menyakiti hati seseorang. Dia menyandarkan kepalanya di pundak Yisabelle setelah kembali dari toilet.
"Are you okay, Mina?"
"I'm okay." Mina menjawab pertanyaan sahabatnya dengan suara bergetar, "mood gue sedang buruk, jangan mengajak bicara dulu. Gue nggak mau sampai kelepasan dan menyinggung hati lo."
"Lo mau kemana?"
"Ke kelas."
Mina mengernyitkan dahinya, ketika Marvin akan ke kelas? Bukankah, pria itu sudah pindah ke kelasnya?
"Lo bukannya pindah ke kelas ini, ya?"
Terima kasih, Yisabelle, sudah mewakilkan bertanya. Tentu saja, Mina mengatakannya dalam hati.
"Nggak, gue cuma bercanda."
Usai kepergian Marvin dari kelasnya, tidak dia sangka adalah Alyssa mendekati bangku yang dia duduki bersama Yisabelle.
"Mau apa lo?!" Bukan Mina yang bertanya dengan nada ketus, melainkan Yisabelle. Bahkan, sahabatnya itu menatap Alyssa dengan tatapan sinis.
"Ini undangan untuk lo."
"Untuk gue?" Yisabelle menunjuk dirinya dengan jari telunjuknya.
"Bukan untuk lo, tetapi untuk seseorang yang duduk disebelah lo."
Mina mendengkus pelan, ketika Alyssa menjawab pertanyaan sahabatnya dengan menunjuk dirinya. Dia menatap datar Alyssa, kemudian melirik undangan pernikahan yang sengaja disimpan di meja.
"Gue kasihan sama lo."
Mina terkekeh mendengar kalimat yang diucapkan oleh Alyssa. "Gue lebih kasihan sama lo, Alyssa. Lo selalu menjadikan gue saingan tetapi tidak pernah bisa mengalahkan gue."
"Lo—"
"Selamat pagi anak-anak."
Mina menghembuskan napasnya berat, ketika Alyssa sudah kembali ke bangkunya. Dia juga sadar selama mata pelajaran berlangsung Alyssa terus memperhatikannya.
•••
KAMU SEDANG MEMBACA
Our Mistake
Teen FictionMark ft. Mina "Jika menurut lo pertemuan kita adalah sebuah kesalahan, kalau begitu gue bersedia melanjutkan kesalahan sampai akhir."