6

2K 179 2
                                        

Dipandang latar depan rumah di mana ada beberapa ayam tengah mematuk beras jagung yang tadi disebar Wendy. Merangkul kedua lutut, memandang kosong ke arah hewan-hewan itu sambil memikirkan permintaan kedua orang tuanya yang dirasa mencekik Wendy perlahan-lahan. Dia menitikkan air mata, menangis dalam diam kenapa harus dipaksa seperti ini. Di sisi lain, dia tidak ingin bertengkar lagi dengan mereka untuk memperdebatkan hal yang sama terus-menerus. Dia bosan.

Semilir angin di siang hari menggoyangkan dedaunan yang enggan gugur dari ranting-ranting pohon mangga. Namun di sebelahnya, daun pohon jati tampak meranggas menyisakan cabang-cabang kayu kering bagai merontokkan harapan manusia yang sudah digantungkan setinggi angkasa. Wendy menengadah menatap jejak-jejak matahari begitu terik seakan tak mengenal yang namanya kesedihan, memaksa menerobos ke sela-sela daun pohon mangga yang mulai berbuah juga menjatuhkan daun kekuningan dari pohon jati yang mengotori latar rumah. 

Dia bersandar ke tembok bercat kuning pudar, menggeser pantat yang mulai panas duduk di atas bangku teras berbahan kayu jati yang menandakan kalau sudah lama dia berada di sana. Wendy menghela napas yang entah sudah berapa kali dilakukan. Pikirannya berputar-putar, menimbulkan sensasi pening juga rasa dilema. Antara menerjang ide yang datang tiba-tiba saat bangun subuh tadi atau menolak seperti yang sudah diucapkan kepada kedua orang tuanya.  

Wendy paham usianya tak lagi muda tapi juga tak merasa tua. Jauh di lubuk hati yang paling dalam sekali pun, sebagai wanita tentu ada keinginan menikah dan melahirkan anak. Hanya saja bukan sekarang. Tapi nanti ketika mental dan batinnya benar-benar siap menjalin komitmen dan sudah meraih mimpi sebagai executive pastry chef. Dia tidak ingin keputusan sebesar ini diambil secara tergesa-gesa mengingat akan ada banyak dampak yang ditimbulkan. Menikah bukanlah hal sepele tentang dua manusia yang diikat dalam ikatan suci berlandas saling suka saja, namun lebih dari itu. Mudah mengatakan ijab kabul, tapi tak mudah mempertahankan bahtera rumah tangga sampai akhir hayat. Terlebih di jaman sekarang, makin banyak orang memilih bercerai tanpa memedulikan mental anak mereka. 

Sementara itu, dia menimbang hal lain. Bimo. Lelaki yang sudah dikenalnya beberapa tahun silam dan selalu berperilaku baik serta sudah mengenal anggota keluarga masing-masing. Hanya saja Wendy tidak yakin kalau Bimo bakal mau begitu saja saat diajak menikah. Bimo seorang yang penuh komitmen, sedangkan Wendy sebaliknya. Bukannya tidak bisa diajak berkomitmen tapi Wendy penyuka kebebasan dan paling tak suka ada seseorang mengatur semua hal yang dilakukannya nanti.

Kepala Wendy serasa ingin pecah tapi hari ini hari terakhir berada di Yogyakarta sebelum kembali ke Bali nanti malam. Dia tidak ingin berlama-lama absen dari pekerjaan jikalau tidak ingin mendapat surat peringatan dari atasan. Kemudian, ucapan Suwarni menggema di telinganya saat perempuan paruh baya itu menitikkan air mata seraya berkata, 

"Ibu enggak ingin meninggal sebelum melihatmu bahagia bersama suamimu, Wen."

Siapa yang tidak nelangsa jika mendapat perkataan seperti itu? Sudah ratusan kali Wendy menjelaskan kepada ibunya bahwa kebahagiaan setiap orang berbeda-beda dan tidak melulu tentang pernikahan. Prestasi tertinggi perempuan masa kini juga tidak selalu menjadi istri seorang lelaki dan mengesampingkan karier. Tapi, sekali lagi ibunya hanya bisa memohon kepada Wendy sebagai permintaan terakhir jikalau suatu hari nanti dirinya dipanggil Yang Maha Kuasa. 

"Lama-lama aku bisa gila," gumam Wendy mengacak rambutnya.

###

Seraya bercermin dan memakai apron hitam berlabel hotel D'amore, Wendy berusaha melatih otot pipinya untuk bisa menyunggingkan senyum demi tamu yang sudah bersusah payah datang ke sini menikmati hidangan terbaik hotel. Tapi, kantung mata di wajah oval itu tak bisa disembunyikan sekalipun memulas concelear untuk menyamarkan betapa tidak teraturnya jam tidur Wendy akhir-akhir ini. Dia memejamkan mata, menarik napas panjang lalu mengembuskannya sebanyak mungkin berharap kerikil-kerikil yang mengganjal relung dadanya lenyap berganti kobaran semangat untuk membuat berbagai macam hidangan penutup. 

Unwanted Vows (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang