Perjalanan Pulang

120 5 5
                                    

Aku sedang mengemudikan mobilku. Mengantar Kao pulang ke kondominium miliknya seperti biasanya setelah kami memiliki acara sebagai "pasangan". Aku dan Kao juga baru selesai makan di restoran dekat tempat acara tadi bersama P'Just dan tim. Alunan lagu terdengar pelan berkumandang...

"𝓬𝓪𝓷 𝓲 𝓱𝓪𝓿𝓮 𝓽𝓱𝓮 𝓭𝓪𝔂 𝔀𝓲𝓽𝓱 𝔂𝓸𝓾

𝓷𝓸𝓽𝓱𝓲𝓷𝓰 𝓶𝓸𝓻𝓮 𝓽𝓱𝓪𝓽 𝓲 𝔀𝓸𝓾𝓵𝓭 𝓬𝓱𝓸𝓸𝓼𝓮

𝓷𝓸𝓽𝓱𝓲𝓷𝓰 𝓶𝓸𝓻𝓮 𝓽𝓱𝓪𝓽 𝓲 𝓬𝓸𝓾𝓵𝓭 𝓾𝓼𝓮

𝓽𝓱𝓪𝓷 𝓪 𝓵𝓲𝓽𝓽𝓵𝓮 𝓪𝓯𝓽𝓮𝓻𝓷𝓸𝓸𝓷

𝓼𝓲𝓽𝓽𝓲𝓷' 𝔀𝓲𝓽𝓱 𝔂𝓸𝓾"

"Sam Ock?" Kao bergumam.

"Ya, kau tahu lagu ini? aku menaruhnya diplaylist spotifyku. Sangat chill dan easy going untuk didengarkan. Duet dengan penyanyi bernama Michelle." Aku membalas dengan sedikit nada terkejut diawal mengetahui Kao tau lagu ini.

.....

Tidak ada jawaban. Terkadang seperti ini. Aku merasa aku mengoceh sendirian dengan canggung seperti itu hanya repertoar yang jelas dan menyakitkan. Tapi aku sudah terbiasa karena toh terkadang Kao bisa menjadi seseorang yang sangat talkactive.

"Kau berkendara sangat pelan ya khun", kata Kao memecah kesunyian.

"Hmmm", jawabku tanpa antusias. Kao sebenarnya tampak agak aneh hari ini. Sudah lama semenjak kami bertemu karena kami disibukkan oleh kerjaan masing-masing. Dia seperti memiliki sesuatu yang ingin ia katakan, seakan dia gugup akan sesuatu.

Menit berlalu. Mobil ini sudah terparkir di depan condo milik Kao. Selama perjalanan terlintas dipikiranku, aku ingin bersama Kao lebih lama. Tapi lebih dari itu, pria disebelahku ini terlihat lelah. Aku melihat jam ditanganku yang menunjukkan pukul 22:09.

"Sampai jumpa PHI Kao!" Aku mengatakannya untuk bercanda.

"Hoo, Phi? biasanya kamu hanya memangilku khun saat hanya berdua", kata Kao sembari menyeringai dan mempersiapkan diri untuk turun dari mobil.

Ah.. aku sangat merindukannya. Aku ingin bersamanya lebih lama. Kurasa aku sudah berkendara lebih lambat dari biasanya karena itu. Ya, memang. Aku mencintainya. Sekitar awal tahun 2022 perasaan itu sudah sangat jelas bagiku. Detak jantung yang lebih cepat setiap saat ia bertingkah seperti ia peduli padaku, sesimple saat ia mengatakan "hati-hati" padaku yang berjalan menaiki tangga. Aku yang berdebar-debar sepanjang saat bersamanya. Aku tidak tau apa yang Kao pikirkan. Ia sangat sulit untuk dibaca dibandingkan aku yang seperti buku yang terbuka. Apakah ia tau perasaanku? Bisakah waktu berhenti saat ini juga? Kao ada disampingku, itu sudah cukup. Ah. Selagi pikiranku terdistract dengan banyak pikiran, Kao sudah turun. 

Aku melepas kacamata transparanku untuk membersihkannya sedikit dengan lap kacamata dalam laci mobil, bersiap untuk memulai perjalananku pulang ke rumah.

"TOK! TOK!", aku menoleh kekanan melihat kaca mobil yang diketuk.

"Ada apa Kao? ada yang ketinggalan?", Jawabku saat aku menurunkan kaca mobilku.

"Ada", kata Kao.

Aku mencoba meilirik kursi penumpang dan sepertinya tidak ada apapun yang tertinggal. Aku kembali menengok kearah Kao dan bertanya, "Apa yang tertinggal? aku tidak melihat apapun".

"Itu kamu. Kamu yang tertinggal.", jawabnya. 

"Hah?"

Dia sudah gila kah? Ini yang ia ingin katakan setelah sepanjang hari? mengatakan hal tersebut dengan wajah tampannya yang dekat dengan wajahku. Kami hanya terhalang kaca mobil yang terbuka setengah. Tolong jangan lihat aku yang memerah. Apa yang harus kukatakan. Aku hanya diam tertegun. 

"Bisakah kau turun? aku ingin bersamamu lebih lama", kata Kao yang sudah mengacaukan detak jantungku saat ini. Aku menutup kaca mobil, menaruh kacamataku di dashboard, mematikan mesin dan keluar dari mobil. "Kamu, apa yang kau pikirkan?! kenapa ingin bersamaku lebih lama? Itu seperti kamu mempunyai rasa saja padaku. Tolong jangan mengatakan hal-hal yang dapat membuat orang salah paham!". Kukatakan itu dengan tegas menatap matanya. Seakan aku marah. Kenapa nada yang keluar begini? pikirku. Aku hanya frustasi karena sangat mencintainya dan hampir gila akan tingkahnya yang selalu membuatku salah paham. Aku tidak ingin dipermainkan.

"Bagaimana kalau itu bukan salah paham? aku tidak akan mengatakan hal seperti ini pada sembarang orang.", Kao meletakkan tangan kanannya dipipiku. Sentuhan tangan itu membuatku marah.

"Berhenti bercanda!", cetusku yang menyingkirkan tangannya. Kao menunjukkan ekspresi yang janggal. Ia kembali mengulurkan tangannya mendekati wajahku, kali ini dengan kedua tangan. Tangannya terasa hangat. Pipiku kembali disentuh olehnya. Ia mendekatkan wajahnya padaku.

"Aku tidak bercanda. Apakah kamu tidak merasakannya? sebenarnya detik ini juga aku ingin mencium bibirmu. Tapi tentu, aku meminta izin darimu.", Kao mengatakan hal tersebut tanpa melepaskan pandangannya dariku. Kedua tangannya menggenggam wajahku, mengusapnya pelan.

Aku berpikir, dia sudah gila. Izin? persetan izin. Aku menarik wajahnya dengan kedua tanganku dan mendekatkan bibirnya pada bibirku. Itu bersentuhan. Seakan moral kami hilang, kami berciuman di depan condo Kao seperti tidak ada hari esok. Aku menginginkan lelaki ini sejak lama. Aku menjilat bibir Kao sekali. Akankah ia terkejut? aku ini sudah gila. Kau yang memulainya Kao. Kemudian ia dengan berani mengeluarkan lidahnya membalasku. Rasa yang masih segar dari kopi S*bucks yang kuminum sebelumnya dalam mobil menari diantara lidah kami.

"Hahh...", Kao menghentikan ciumannya dan menarikku ke dalam condonya. Sesaat aku menginjakkan kaki dalam condo Kao, kenyataan menamparku.

Kao menggenggam tanganku. Aku tiba-tiba jatuh sakit, orang yang menggenggam tanganku ini pun terlihat seperti menyadarinya dari raut wajahku. Aku sungguh sakit, sangat panas. Jemarinya yang menggenggam tanganku tiba-tiba menarik jemariku dengan erat, menyeret badanku kesuatu tempat yang lebih sejuk, kamarnya. Sakit itu terhenti. Ternyata bukan sakit panas yang kurasakan, melainkan sakit memikirkan betapa sulitnya jalan yang sudah kami pilih dan akan kami jalani. Aku orang yang overthinking akan segala hal. Kao tau itu. Ia menyuruhku duduk di atas kasurnya dan aku hanya terus mengernyitkan dahiku.

"Aku senang kamu menerimaku. Tolong jangan buat raut wajah seperti itu. Maafkan aku yang tidak berani membalas rasa yang kau miliki lebih awal. Akupun memikirkan banyak hal karena ini pertama kalinya bagiku merasakan hal ini pada lelaki", kata Kao yang duduk disebelahku dan masih menggenggam tanganku. Ternyata dia tahu perasaanku. Aku memang membuatnya cukup jelas tapi ini cukup memalukan mendengar kalimat seperti itu keluar dari mulutnya. 

"Rasa yang kumiliki? kau pede sekali khun Kao Noppakao. Tentu ini juga yang pertama untukku! kau dan aku... laki-laki. Aku bukannya memasang wajah seperti ini karena kecewa atas balasanmu yang lama. Untukku, ini bukan perkara aku takut akan pandangan sosial mengenai hubungan antar lelaki. Aku hanya khawatir kau akan terluka kedepannya. Maka aku tidak berani mengungkapkannya", aku hampir saja menangis mengucapkannya. Aku melanjutkan, "Tapi jika kamu mendorongku seperti tadi, aku tidak bisa menahan perasaanku sendiri". 

Kao hanya tersenyum melihatku. "Terluka? tidak akan. Selama aku memilikimu disampingku, aku tidak akan takut akan apapun. Saat ini hanya ada kau dan aku. Aku juga tidak peduli dengan gender. Ini bukan tentang gender. Ini tentangmu. Kamu seperti malaikat yang datang kehidupku disaat yang tepat".

"Hahahah! malaikat?! tolong berhenti!", Aku tertawa lepas menutupi wajahku yang malu karenanya. Ini seharusnya saat-saat yang serius tetapi lelaki disampingku ini memilih kata-kata yang unik. "Kau tahu? aku ini hampir saja menangis. Sekarang aku tertawa seperti ini".

"Akhirnya kau tertawa", Kao tersenyum. Tangannya kembali memegang wajahku. Kali ini dekat leherku. Meskipun ruangan ini sangat dingin karena Kao menyalakan AC nya disuhu 16 derajat celsius, tangannya tetaplah hangat bagiku. Bagian tubuhku yang bersentuhan dengan Kao terasa panas. Ia kembali menciumku.

"Kau cukup hebat dalam hal ini", kataku memutus bibir kami yang bertemu tanpa henti untuk menarik nafas.

"Tidak perlu menyanjungku. Tarik nafasmu dalam-dalam kali ini karena...


...aku belum selesai denganmu."

Kao menyeringai, lalu mendorong tubuhku jatuh ke bantalnya.

𝐘𝐨𝐮𝐫 𝐇𝐚𝐧𝐝 𝐎𝐧 𝐌𝐲 𝐂𝐡𝐞𝐞𝐤Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang