3

415 66 7
                                    

Elvagso terduduk, seraya menatap kosong pemandangan langit malam ini di Seoul.

Entah sudah berapa lama ia duduk di sana, sejak matahari terbenam sampai kini ruangan turut gelap gulita sebab langit hari ini terlalu mendung.

Mendung seperti hati Elvagso.

Pria itu duduk melantai di apartemen kosongnya, ia sama sekali belum makan dan mandi. Padahal lelah sekali menempuh perjalanan jauh dari Italia sampai ke Seoul. Lucunya, ia lupa kalau merasa lapar dan lelah. Di kepalanya hanya berisikan tentang Raeun, dan uang tabungan yang sudah disiapkan untuk menikah.

Kekasih tercintanya itu pergi entah ke mana, tanpa meninggalkan pesan atau apa petunjuk. Hal yang ia ketahui, bahwa wanita itu sudah membawa lari uangnya. Ini salah Elvagso. Pria itu terlalu percaya, dan mencintai manusia sebesar seratus persen. Kini ia merugi tanpa terkira.

Rekening tabungan itu di atas namakan Lee Raeun, dengan harapan sebagai tanda keseriusan dalam meratukan pasangannya. Namun sial, kini uang itu dipindahkan, dan Elvagso tak bisa menuntut. Soal apartemen juga. Raeun membeli dengan atas nama Elvagso, namun pembayaran baru setengah dilakukan. Gara-gara gadis kasar yang mengaku adik tiri Raeun itu, Elvagso membayar lunas apartemennya. Besar harga dirinya.

Kini, Elvagso benar-benar tak tahu harus berbuat apa. Pria itu bisa saja kembali ke Portofino. Namun, ia terlalu malu menampakan wajah di hadapan orang tua angkatnya. Pria bodoh, dan lugu. Seharusnya ia tak perlu mencintai dan percaya Raeun sepenuhnya.

Elvagso menghela napasnya. Mencoba menenangkan pikirannya, namun tak semudah dibayangkan.

"Jika aku berhasil menemukanmu, aku akan membawamu ke tempat semestinya," ucap Elvagso.

Cinta yang kini di dadanya perlahan terbakar oleh api amarah. Raeun harus mendapat balasan. Elvagso enggan pulang ke Portofino, sebelum Raeun membusuk di penjara.

***

Elvagso membuka matanya. Cahaya yang masuk lewat jendela sangat menyilaukan, dan terasa hangat di wajah. Sepertinya ia tertidur setelah semalaman melamun. Kini ia baru bisa merasakan perutnya kosong, dan terasa sedikit nyeri.

Sembari tidur terlentang di lantai, Elvagso melihat sekeliling ruang apartemen kosong itu.

"Apartemen ini terlalu besar untukku seorang diri," ucap Elvagso.

Pria itu mendudukkan dirinya, mencoba mengumpulkan niat untuk bangun, dan membersihkan diri.

Lee Raeun, kau sungguh tega. Bahkan tidak memberikanku ranjang tidur.

Elvagso masih memikirkan, apa salahnya sampai kekasihnya itu dengan sangat tidak berperasaan menipu habis-habisan.

Elvagso merapikan rambutnya. "Apakah Seoul memang seperti ini? Sangat membenciku, sehingga aku selalu terlantar di negara ini?" ucap Elvagso, dengan nada putus asa.

***

Ranna menyandarkan kepalanya di kursi halte. Ia menatap mobil yang berlalu lalang dari ekor matanya.

"Kenapa orang-orang di sini sangat terburu-buru?"

Ranna menghela napas, tangannya memeluk erat ransel yang saat ini di pangkunya. "Sebentar lagi semester baru akan dimulai ya?"

Gadis itu memejamkan matanya, ia benar-benar lelah sampai tak peduli jika harus beristirahat di halte sembari munggu bus datang. Hidupnya seperti lari marathon, bekerja, membayar kamar sewa, membayar kuliah, lalu begitulah seterusnya. Jika sebentar lagi kuliah dimulai, maka Ranna akan kesulitan membagi waktu untuk bekerja, padahal ia sangat butuh uang.

Apa aku jual diri saja?

Ranna menghela napasnya berat. "Siapa juga yang tertarik dengan perempuan yang tak sempat merawat diri? Jika ada, dengan harga paling rendah," ucah Ranna, lirih.

"Argh! Lee Raeun keparat. Apartemenku ... aish!" Ranna memeremat tasnya. Berkat suaranya, beberapa orang di halte pun menoleh ke arahnya.

Apa kabar pria yang ditipu Raeun itu? Bukankah, ia juga kehilangan uang yang tak sedikit?

YoursTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang