Bab 1.

18 3 0
                                    

"Kau yakin dengan keputusanmu ini, Vina?"

Desiran angin malam menemani keheningan yang terjadi. Pertanyaan dengan nada sendu itu tidak segera mendapatkan jawaban, seakan jawaban itu merupakan hal yang sangat berat bagi sang penanya atau si penjawab. Helaian rambut hitam yang berkibar turut menjadi lambang segala duka yang menyertai pertanyaan sederhana dengan enam kata itu.

Embusan napas di dinginnya malam terdengar berat. Mata hitam yang serupa jurang kegelapan bertatapan dengan manik abu-abu si penanya yang seketika melebar. Gambaran segala keputusasaan di sana membuat iris kelabu bergetar. Tanpa kata dan tanpa penjelasan lebih, si penanya mengetahui jawabannya. Tubuh tegap dan atletis itu bergetar seraya kepala menunduk dalam, hanyut dalam keputusasaan yang dibagikan tanpa kata.

Mata hitam Vina yang tanpa kilau melihat kembali ke ujung cakrawala yang menggelap. Selaras dengan hatinya dan jiwanya yang telah lama tenggelam dalam kegelapan. Hitam dan gelap adalah hal yang cocok dengan dirinya, sesuai dengan julukannya. Black Pearl. Si malaikat maut dari Ouroboros.

"Aku tak pernah menyesali segala keputusan yang kubuat, Vian." Sebuah senyuman terkembang di bibir berpoleskan lipstik sewarna sakura. Mata hitamnya kembali melirik ke arah Vian dengan kelembutan yang membuat hati Vian sakit. "Aku siap menanggung risiko yang ada dengan segenap jiwaku yang tak lagi utuh."

Vian tercekat.

"Kakak," ujarnya lirih.

Sebuah tawa parau mengudara, penuh dengan kegembiraan palsu. Mata hitam Vina melukiskan segala perasaan yang ia miliki. Kesedihan, penderitaan, keputusasaan, dan yang membuat hati Vian kian patah adalah rasa lelah. Rasa lelah yang teramat sangat. Jiwa kakaknya sudah benar-benar rusak.

Vina berbalik. Kemeja dan celana kain hitam formalnya mempresentasikan sosoknya dengan apik. Hitam, hitam, dan hitam. Kenapa Vina begitu cemerlang di warna yang menenggelamkannya begitu dalam? Kenapa bukan Vian saja dan malah Vina? Kenapa selalu Vina?

Hati Vian sakit.

Kenapa harus dia, bukan aku saja?

Setetes air mata jatuh membasahi pipi Vian. Rasa sesak meluap di dadanya. Di sisi tubuh, kedua tangan terkepal erat. Vian memang lemah, karena itu ia tak terpilih.

"Vian, kenapa kau menangis?"

Jari telunjuk menghapus air matanya dengan lembut. Ekspresi Vina yang tegar dengan senyuman tipis meretakkan dinding hati Vian. Isakan pertama lolos dan berikutnya bertambah keras. Tak mampu menahan perasaannya, Vian memeluk tubuh Vina yang sebatas bahunya dengan erat. Tangisan pemuda bermata kelabu itu mengeras ketika sang kakak membubuhkan kecupan lama di keningnya.

Sebuah senyuman terbit di wajah ayu Vina. Tangannya balas memeluk tubuh tegap Vian dan yang lain memberikan elusan yang menenangkan di rambut si pemuda.

Aku tak apa hancur, asalkan aku bisa membuatmu merasakan kehidupan normal dan kembali tertawa, Vian. Vina tersenyum di antara pelukan erat mereka. Adikku, kau adalah alasanku bertahan di kehidupan neraka ini.

***

"Jangan hanya tersenyum seperti itu, Vina!"

Bukannya membalas, Vina hanya tersenyum dengan mata menyipit. Ia melambaikan binder berisi materi kuliah ke arah gadis yang meneriakinya. Rambut hitamnya yang dikucir pony tail dengan pita hitam panjang yang menjuntai hingga punggung ikut bergoyang. Tawa lembut Vina membuat beberapa laki-laki teman kuliahnya merona.

"Itu salahmu sendiri karena tertidur di jam pelajaran Pak Wibowo. Kau tahu kalau beliau sangat membenci mahasiswa yang tidak memperhatikan penjelasannya," balas Vina tak acuh. "Bersiap-siaplah untuk mendapat C di matakuliah Statistika, Risa."

OuroborosTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang