"Kau ingin membeli apa, Vina?"
Vina mendongak pada Risa saat mendengar pertanyaan dari sahabatnya itu. Ia yang sebelumnya fokus pada ponselnya tersenyum. Memasukkan kembali ponsel ke dalam saku jaket yang ia kenakan, Vina menjawab, "Soto ayam bisa."
Risa mengangguk. Gadis berambut cokelat sebahu itu berdiri dari duduknya dan hendak memesan ke kantin fakultas sebelum kembali menoleh ke Vina.
"Minumannya?" tanyanya.
"Es teh manis."
"Oke."
Vina mengeluarkan novel dari dalam totebag-nya dan meletakkan buku fiksi itu ke atas meja. Membuka halaman yang sudah ia tandai, Vina kembali melanjutkan membaca novel bergenre misteri dan romansa yang belum sempat ia selesaikan. Membaca menjadi salah satu cara Vina untuk melarikan diri di tengah toxic-nya dunia yang ia tinggali. Miris memang. Sekalipun ia memiliki keluarga, Vina tidak pernah bisa membagi beban yang ia miliki pada mereka. Ia tidak mau menambah beban pada Vian dan untuk ayahnya, Vina tidak mau berharap apapun pada pria itu.
Tak lama kemudian, Risa kembali. Gadis itu duduk di samping Vina dan mengeluarkan ponsel dari tasnya. Keheningan meraja di antara dua gadis itu. Keduanya sedang nyaman dalam dunianya masing-masing dan mereka tak memiliki keinginan untuk merusak hal itu. Beberapa saat kemudian, makanan yang mereka pesan tiba. Vina menutup novelnya dan mengucapkan terima kasih pada pelayan yang mengantarkan pesanan mereka.
Mata hitam bening menatap ke Risa yang masih asyik dengan ponselnya. Raut datar seketika menghiasi wajah Vina. Leroy tertua itu menyenggol bahu Risa hingga sahabatnya itu nyaris menjatuhkan ponselnya karena terkejut. Mata cokelat Risa memicing ke arah Vina, ditambah dengan wajah galak.
"Apa-apaan kau ini, Vin!" protes Risa dengan nada kesal yang tak ditutupi.
Hanya sebuah dengkusan yang menjawab protes Risa. Vina menatapnya dengan wajah paling tabah yang ia miliki. "Makan! Main ponsel bisa nanti," balasnya datar.
"Iya-iya," balas Risa. Tangannya menarik mangkuk mie ayam miliknya dan mengambil kecap di tengah meja. "Setidaknya kau bisa menegurku dengan cara biasa, kan?" tambahnya.
"Cara biasa tidak akan mempan padamu."
"Hah?!"
"Kau orang yang bandel soalnya," jawab Vina tak berperasaan. Gadis itu mengambil tisu dari meja dan mengusap kuah sotonya yang sedikit tumpah di meja. Mengambil gelas es teh, Vina menyeruput minuman manis itu untuk melegakan tenggorokannya.
Risa memutar bola matanya malas. Jika ia terus meladeni mulut penuh garam sahabatnya itu, yang ada ia malah darah tinggi. Sekalipun Vina termasuk anak yang pendiam tetapi keasinan mulut sahabatnya itu sudah terkenal di fakultas mereka. Itulah kenapa Vina bisa selalu memenangkan berbagai lomba debat ekonomi. Argumen Vina selalu diikuti oleh fakta yang meyakinkan hingga banyak lawan debatnya mati kutu tak bisa membalas. Juga, kelebihannya dalam bersilat lidah membantu banyak.
Risa saja yang tak mengetahui bagaimana berbahayanya mulut Vina jika sudah menyangkut Ouroboros.
"Kita tidak ada kelas, kan, setelah ini." Risa mengusap mulutnya dengan tisu setelah menghabiskan mie ayamnya. Gadis itu mengalihkan atensinya pada Vina yang menumpuk mangkuk bekas mereka sebelum diambil oleh pelayan. "Bagaimana kalau kita keluar?" tanyanya.
Vina menoleh.
"Aku ada urusan," jawabnya sembari mengambil ponsel dari saku jaket. Mata hitamnya melebar melihat pesan dari Vian. Vina segera berdiri dan mencangklong totebag-nya, mengejutkan Risa. "Aku sudah dijemput."
Mengernyitkan dahi, Risa menatap Vina. "Secepat ini?" tanyanya heran.
Vina mengangguk sebagai jawaban. Di sebelahnya, Risa juga berdiri. Kedua gadis itu berjalan menuju parkiran fakultas. Melihat sosok Vian yang kini duduk di gazebo samping parkiran fakultas karena menunggunya, sebuah senyum terbit di bibir Vina. Gadis itu berjalan cepat ke arah adik kembarnya.
"Vian!" panggilnya dengan suara yang cukup keras.
Vian menoleh dan senyuman cerah tersungging di bibir pemuda tampan itu. Merentangkan tanga, Vian memeluk sang kakak yang menubruknya. Sebuah tawa renyah mengudara. Pelukan erat mereka berlangsung singkat.
"Tidak biasanya. Kenapa kau menjemputku?" tanya Vina pada adiknya.
Tentu saja Vina heran. Sangat jarang Vian keluar dari rumah terutama dengan banyaknya tugas yang diberikan Enzio padanya. Adiknya ini lebih memilih tidur seharian jika ayah mereka memberikan cuti.
Vian tersenyum.
"Ingin saja," jawabnya enteng. "Aku hanya ingin melihat kampus Kakak berkuliah. Mencari suasana baru juga."
Vina menggelengkan kepalanya sayang. Sorot mata hitamnya melembut. Tangan kanannya terulur dan mencubit pipi kiri Vian main-main.
"Kau ini. Sudah izin Papa?"
"Sudah."
Mengingat bahwa ia melupakan sesuatu, Vina segera menoleh. Pandangannya menangkap Risa yang balas menatapnya dengan pandangan terkejut setengah mati. Dengan kurang ajarnya, telunjuk Risa menunjuk pada Vian. Yang ditunjuk hanya memasang wajah bingung.
"Vina, siapa dia? Kenapa dia memanggilmu kakak?" seru Risa setengah histeris.
Vina memutar bola matanya malas. Sebuah sneyuman geli terbit di bibirnya. Ia tidak terkejut melihat reaksi menghebohkan sahabatnya itu. Bukan Risa namanya jika tidak heboh menyangkut hal-hal baru, terutama tentang dirinya. Namun, itulah alasan mengapa Vina sangat betah berteman dengan Risa. Keterusterangannya dalam sesuatu adalah hal yang sangat langka di dunia yang keji ini. Risa mampu bertindak tanpa harus memasang topengnya untuk mengesankan orang lain.
"Dia adikku. Kenalkan dirimu, Vian."
Vian mengangguk. Ia mengulurkan tangan kanannya pada Risa yang masih cengo mendengar jawaban yang diberikan oleh Vina. Mata cokelat gadis itu berbinar dan dengan semangat balas menjabat tangan Vian. Vina meringis. Ia lupa betapa gilanya Risa jika menyangkut pemuda tampan. Bahkan Raka, kekasih Risa sendiri sudah menyerah dan pasrah karena kelakuannya itu. Jika hal itu membuat Risa bahagia maka Raka memilih untuk membiarkannya. Karena baginya, kebahagiaan Risa adalah yang utama.
"Senang bertemu denganmu, Tuan Muda Leroy. Aku Larisa Anjani, sahabat kakakmu. Kau bisa memanggilku Risa."
Sekalipun dilanda kebingungan, Vian berusaha membalas senyuman cerah—terlewat cerah—yang Risa tunjukkan padanya. Ia menjabat tangan Risa dengan pelan dan mengenalkan dirinya dengan sopan.
"Salam kenal, Risa. Namaku Davian Achille Leroy, adik kembar dari Vina."
Jabatan tangan keduanya terlepas. Risa menoleh pada Vina dengan penuh semangat.
"Vina, kenapa kau tidak memberitahuku kalau kau memiliki adik setampan ini?" tanyanya tak kalah antusias.
"Apa aku harus memberitahukan semuanya padamu?" balas Vina datar.
"Kau ini!"
Atensi Risa kembali pada Vian. Binar di matanya membuat Vian mundur dan menelan ludahnya gugup. Pemuda itu berdiri di belakang sang kakak dan memalingkan wajahnya ke arah lain, pokoknya selain wajah predator Risa.
"Astaga! Vian lucu sekali!" pekik Risa gemas. "Vian, bisa aku minta nomor ponselmu?"
"I-itu, aku ti-tidak—uh!"
Menyadari ketidaknyamanan Vian, Vina mendorong tubuh Risa menjauh dari mereka.
"Tidak! Vian tidak akan memberikan nomornya padamu!"
"Astaga, Vina. Kau kejam!"
"Masa bodoh! Menjauh dari adikku!"
Vian hanya bisa tersenyum kaku melihat perdebatan bodoh kakaknya dengan Risa. Sepertinya, suatu kesalahan ia datang menjemput Vina hari ini. Vian menyadari satu hal. Jika ia ingin menjemput kakak kembarnya, hal pertama yang harus ia lakukan adalah bertanya apakah Vina bersama dengan Risa atau tidak. Demi Tuhan, sahabat kakaknya itu menyeramkan. Vian bergidik ngeri.
[]
Bersambung...

KAMU SEDANG MEMBACA
Ouroboros
AksiSekalipun darah yang tertumpah membanjiri tanah yang ia pijak, Vina sama sekali tidak peduli. Jika demi kebahagiaan adiknya ia harus membunuh maka Vina tak masalah. Sebesar apapun harga yang harus ia bayar demi kehidupan damai Vian yang tak sepenuhn...