Bab 2.

9 2 0
                                    

Suasana rumah mewah keluarga Leroy hari ini terasa sedikit ceria. Semua pelayan atau penjaga bisa merasakan hal itu. Pandangan mereka juga bisa melihat bagaimana sosok Vina yang biasanya datar dan tenang tampak ceria sekalipun wajahnya tetap tak menunjukkan ekspresi apapun. Ini mungkin disebabkan oleh Tuan Muda yang akan pulang dari Jerman hari ini. Sudah sebulan Davian Achille berada di luar negeri karena tugas yang diberikan oleh ayah mereka. Kini saatnya untuk pulang ke Indonesia setelah sekian lama.

Benar saja, dari pintu utama masuk seorang pemuda bertubuh tegap dan atletis. Kaus abu-abu yang menonjolkan otot lengan dan dada bidangnya terlihat pas. Celana rampel hitam membuat penampilan Vian terkesan ganas dan liar. Senyuman terkembang di wajah sang tuan muda ketika mata kelabunya bertemu dengan wajah sang kakak yang sudah menyambutnya di ruang tamu rumah.

"Kakak!" Vian berlari dan langsung menubruk Vina dalam satu pelukan erat. Ia menyusupkan wajahnya di bahu sempit sang gadis yang hanya mampu tertawa pelan karena geli. "Aku merindukanmu! Sudah sangat lama kita tidak bertemu."

Sorot mata Vina melembut. Ia membalas pelukan adik kembarnya serta menepuk lembut bahu pemuda yang lebih tinggi 25 sentimeter itu darinya. "Hanya dua bulan, Vian," balas Vina geli. Ia mendorong bahu Vian menjauh sebelum menangkup wajah tampan adik kembarnya. Mata hitam bening Vina melembut dan ia mengecup dahi Vian sekalipun perbedaan tinggi badan membuatnya harus sedikit berjinjit.

"Kakak." Vian tertawa bahagia mendapat perlakuan itu. Mata kelabunya berkilau. "Aku benar-benar merindukanmu, Vina. Dua bulan di sana terasa menyiksa tanpamu."

Tawa pelan keluar dari bibir Vina.

"Kau bisa saja. Tapi aku juga merindukanmu, Vian."

Aura kebahagiaan keduanya membuat suasana rumah Keluarga Leroy yang suram sedikit menghangat. Memang, keberadaan Vina dan Vian bagaikan cahaya tersendiri di rumah salah satu keluarga paling berbahaya di Indonesia itu. Tanpa keduanya sadari, dari lantai dua, sepasang mata hitam menatap interaksi keduanya dengan pandangan datar. Enzio mengembuskan napas sekilas sebelum berbalik. Hanya Tuhan yang tahu apa yang dipikirkan oleh penguasa Ouroboros itu.

***

"Bagaimana kalau kita berjalan-jalan hari ini?" tanya Vian paada Vina yang sedang duduk di kursi panjang di sebelahnya. Di tangan kakak perempuannya itu tergenggam toples berisi kue nastar sementara ia bersila. "Aku ingin menghabiskan waktu cuti ini denganmu, Vina. sebelum ada misi lain yang diberikan oleh Papa."

"Hm, bisa," balas Vina singkat.

Menolehkan kepala, Vina bisa melihat raut berseri-seri Vian. Pemuda itu segera berdiri dari duduknya dan berseru, "Yes!" Vina tertawa sebelum mengulurkan tangannya, meminta untuk ditarik berdiri. Segera, Vian meraih tangan kakaknya dan menarik tubuh ramping yang lebih pendek darinya itu untuk berdiri. Saking kuatnya tarikan itu, keduanya terhuyung dan berakhir jatuh terduduk dengan Vina di pangkuan Vian.

Kedua saudara kembar itu saling bertatapan dan tawa keduanya mengudara. Dua penjaga yang berdiri dengan jarak cukup jauh memasang senyum lembut. Eratnya persaudaraan antara Devina Aleeya dan Davian Achille Leroy memang terkenal di antara para Ouroboros. Di tengah gelapnya dunia yang Keluarga Leroy tapaki, sepertinya Tuhan masih berbaik hati memberikan dua cahaya untuk menyinari jalan yang mereka tempuh.

"Ayo, Kakak!"

Vian menarik tangan Vina memasuki rumah sedikit tergesa.

"Baik-baik. Jangan tergesa-gesa, Vian. Masih ada banyak waktu."

"Ayolah, Vina.!"

"Cerewet!"

Vina memasuki kamarnya untuk berganti baju. Hanya butuh waktu sekitar lima belas menit bagi Vina untuk berganti baju. Ia yang semula hanya memakai kaus hitam dan celana pendek kini berganti mengenakan kemeja hitam polkadot putih dan celana jins hitam. Rambut hitam panjangnya dikucir half pony tail. Sementara itu, kakinya dibalut flat shoes putih.

"Vina, kau cantik!" seru Vian kagum.

Wajah Vina memerah. Ia berjalan ke arah Vian yang hanya mengenakan kemeja putih dengan celana pendek selutut berwarna hitam sebelum melepaskan pukulan pelan pada dada bidang adiknya itu. Entah karena ikatan batin mereka yang terlalu kuat atau selera mereka yang sama, pakaian yang mereka kenakan terlihat serasi. Ditambah dengan wajah cantik dan tampan warisan Enzio Shaveen dan Areta Brisia Leroy.

Rupanya bukan hanya Keluarga Leroy yang memiliki nama bermakna besar tetapi ada satu keluarga lagi. Keluarga Altair, keluarga yang dulunya merupakan sekutu dekat Keluarga Leroy juga menggunakannya. Sama seperti Leroy yang berarti raja, Altair memiliki arti bintang. Ibu dari Vina dan Vian berasal dari Keluarga Altair dan memiliki nama yang berarti putri bijak yang dicintai. Namun, kejayaan Keluarga Altair tak berlangsung lama. Keluarga ini dibantai oleh musuh dalam perebutan kekuasaan di dunia bawah.

"Kalian mau kemana?"

Suara datar Enzio menghentikan langkah Vina dan Vian. Keduanya sontak menoleh dan mendapati Enzio yang berdiri sembari bersedekap. Pandangan ayah mereka begitu membekukan. Vian segera menunduk, tak berani menatap.

"Kami akan keluar jalan-jalan, Papa," jawab Vina datar. Mata hitamnya dengan berani beradu tatap dengan mata Enzio yang ia warisi. "Kami meminta izin."

Enzio mengangguk kaku.

"Pergilah."

Dengan itu, Enzio berjalan meninggalkan kedua anaknya.

Vina mengembuskan napas keras. Tangannya mengeratkan genggaman ke tangan Vian.

"Ayo, kita pergi."

Mendongak, Vian mendapati tatapan lembut sang kakak. Sebuah senyuman kembali terbit di wajah pemuda yang berjuluk White Dragon itu. Ia balas menggenggam erat genggaman tangan Vina. Keduanya keluar dari pintu utama dan berjalan ke arah garasi. Seorang pelayan memberikan kunci mobil yang langsung diterima oleh Vian. Pemuda itu masuk ke dalam mobil, diikuti oleh Vina di kursi penumpang depan. Sedan hitam itu keluar dari gerbang Kediaman Leroy dan meluncur ke jalan raya yang ramai.

"Kakak mau kemana?" tanya Vian tanpa mengalihkan pandangannya dari jalanan.

Vina menggeleng. Senyuman tipis di wajah gadis itu.

"Terserahmu, Vian."

"Ugh, kenapa selalu begitu sih?!"

Mendengar seruan kesal itu membuat Vina menoleh. Mata hitamnya memperhatikan raut kesal yang dibuat oleh adik kembarnya. Tak bisa menutupi rasa gelinya, Vina tertawa pelan.

"Kakak, jangan tertawa!"

Tawa Vina semakin keras. "Kau ini kenapa, Vian? Tiba-tiba kesal sendiri," tanya Vina.

Ketika mobil yang mereka kendarai berhenti di lampu merah, Vian menolehkan kepala. Menggembungkan pipi, pemuda itu menatap sang kakak dengan tatapan kesal yang tak ditutupi. Sungguh, sikap manja Vian akan bertambah berkali-kali lipat di depan Vina. Bukannya membuat ilfeel karena merengek di usianya yang kedua puluh, wajah Vian malah bertambah imut.

"Bisakah Kakak sekali saja menyebutkan kita harus kemana? Kenapa harus terserah sih? Itu menyebalkan, kau tahu!" seru Vian kesal. "Aku bukan pembaca pikiran yang bisa tahu Kakak ingin ke mana!"

Vina menaikkan sebelah alisnya geli. Sorot matanya masib terlihat geli.

"Bukankah itu malah mempermudahmu? Dengan aku mengatakan terserah, berarti aku akan ikut kemana pun kau membawaku. Ada yang salah?"

Lampu lalu lintas berubah hijau dan Vian kembali melajukan mobilnya.

"Memang benar. Tapi, kadang Kakak malah protes padaku kalau tempat yang kita datangi tak sesuai dengan seleramu."

"Kan, itu memang salahmu. Harusnya kau tahu bagaimana seleraku, kan, Vian?"

"Argh! Baiklah-baik. Perempuan itu memang selalu benar!"

Suara tawa Vina lepas kembali mendengar gerutuan Vian. Mata hitamnya berkilau karena kebahagiaan murni. Hanya di depan adiknya ia bisa menjadi dirinya sendiri tanpa harus memasang topeng dingin yang ia pakai setiap hari. Hanya Vian-lah sumber kebahagiaan dari seorang Devina Aleeya Leroy. Tak akan ia biarkan sedikit pun bahaya menyentuh adik yang paling ia sayangi. Sekalipun nyawa Vina sendiri adalah bayarannya.

[]

Bersambung...

OuroborosTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang