2. Kenyataan.

15 7 0
                                    

Seperti hari suram biasanya. Jisung bangun dengan wajah datarnya. Perlahan lahan, cahaya dan keceriaan wajah miliknya mulai memudar. Wajah datar sulit diartikan itu muncul begitu saja.

Hari hari menyedihkan selalu Jisung alami. Cacian, makian, hinaan, semua sudah jadi hal lazim untuk dirinya. Seolah kebal, namun di lubuk hati paling dalam, Jisung lelah.

Sudah 10 bulan kejadian panti yang merenggut rumah Jisung kala itu. Selama itu pula Jisung telah menjalani berbagai cobaan yang berat. Diusia 10 tahunnya ini, semuanya terlalu berat untuk dirinya.

Pernah terbesit ide untuk menyerah, dan mengakhiri semuanya. Namun apa daya. Jisung tetaplah hanya seorang anak 10 tahun yang tak tahu menahu dan penakut. Ingin mengakhiri hidup namun takut melihat darah, terutama darahnya sendiri. Lagi pula, kalau ia mati siapa yang akan mengangkut bangkainya? Yang ada dia hanya menjadi arwah penasaran dan tetap sengsara seumur hidup.

Badan kurus itu melangkah. Tanpa disadari, pipi tembam lucunya perlahan menirus, pasokan makanan miliknya mulai menipis. Berjalan tanpa arah, bahkan Jisung tak tahu ini dimana. Yang ada diotaknya hanyalah melangkah, melangkah dan melangkah. Siapa tau disana ia bisa mendapat sepeser pundi uang.

Wajah manisnya kini muram. Senyum lucunya tak pernah lagi mengembang. Bahkan Jisung tak pernah menggambar impiannya lagi. Jangankan menggambar, memikirkan nya saja Jisung sudah tidak lagi. Baginya, impian tersebut tidak akan pernah terwujud. Dirinya tetaplah akan sebatang kara, selamanya. Mungkin.

Gedung gedung tinggi menjulang ia lewati. Alas kakinya kian menipis. Baju kaos dan celana bahannya mulai pudar warna. Rambutnya selalu berantakan. Kantung mata kian menghitam. Sungguh malang anak manis ini.

Memegang perutnya yang kelaparan. Dirinya menatap nanar sebuah toko roti di hadapannya. Mendekat kearah pembatas kaca toko itu. Mata bulat lucunya berbinar menatap berbagai jenis roti dan kue yang terlihat enak.

Jisung tersenyum. Setidaknya, walaupun tidak pernah merasakannya secara langsung, Jisung senang bisa menghirup aroma enak dari sana, dengan itu ia bisa membayangkan rasa jikalau makanan lezat itu melewati indra pengecapnya.

Perutnya kian berbunyi. Senyum kecil tadi mulai pudar lagi. Nyatanya hanya membayangkan memakan makanan itu tidaklah cukup untuk membuat perut kenyang. Jisung menunduk menatap sedih perutnya yang dulu buncit kini sangat kurus. Bahkan di balik kaos putih buluk itu, tulang rusuk miliknya mulai menampakkan diri.

Ktriingg!!!

Suara bel di pintu toko yang Jisung tatap tadi dibuka dengan kasar. Jisung menatap kaget seseorang yang barusan melakukan itu.

Bruggh

Seorang laki laki dewasa berumur 40an yang tadi membuka pintu dengan kasar adalah pemilik toko roti itu. Dia melempar sebungkus roti dengan kasar tepat ke wajah Jisung.

Jisung sampai mundur karena terkejut. Ia menangkap sebungkus roti yang berisi 3 roti yang di lempar padanya barusan.

"AMBIL ITU! PERGI DARI SINI SEKARANG JUGA! DASAR PEMBAWA SIAL!" maki orang tadi.

Karena suara lantang orang itu, kini Jisung menjadi pusat perhatian. Tatapan jijik dan benci orang orang membuat Jisung ingin menangis. Kenapa dirinya selalu di rendah kan?!

Jisung menggenggam bungkus roti itu semakin erat. Kepalanya sudah tertunduk dari tadi. Beberapa tetes air mata mengalir sampai terjatuh di beton yang tengah ia pijak kini.

"Terimakasih" ujar Jisung tulus pada pemilik roti tadi.

Setelahnya Jisung segera berlari menjauhi kerumunan orang orang yang menatapnya tak suka. Jisung bersembunyi di lorong balik gedung tinggi dengan gaya klasik khas itu.

Lumière •MinsungTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang