Sequel Bifurkasi

1.4K 161 12
                                    

Hubungan mereka sudah membaik, setidaknya Naruto beranggapan bahwasanya Hinata sudah mengampuni dan memaafkan kesalahannya. Dia tahu menikahi Hinata dengan terburu-buru telah membuat banyak orang berspekulasi dan banyak berita miring bertebaran di media.

"Capt apakah benar, seminggu lalu kau sudah menikah?"

Naruto memberikan jawaban dengan menganggukan kepalanya. Satu minggu lalu dia memang melangsungkan pesta pernikahannya dengan Hinata secara intimate hanya ada keluarga besar, dan beberapa orang sahabat. Naruto punya keinginan untuk menjaga privasi keluarganya dengan baik, dia tidak ingin nama baik dan reputasi Hinata kembali digunjing banyak orang. Maka dari itu pesta pernikahannya diadakan secara rahasia.

"Apakah kau terpaksa menikahi istrimu?"

Pertanyaan ceplas ceplos dari bibir Sai membuat Naruto berhenti menyuapkan makan malamnya. "Memangnya ada orang yang menikah karena terpaksa?"

Sai memandang Naruto sebentar kemudian tersenyum. Senyuman palsu seperti biasanya. "Kau kan cinta mati dengan Shion."

Ino melirik Sai dan Naruto bergantian. Dia tidak ingin ada pertikaian antara pilot dan kopilotnya hanya karena hal sepele macam ini. "Oke cukup, kita harus makan dan istirahat. Besok kita harus take off pukul empat pagi." Kata Ino dengan lembut.

"Aku akui bahwa aku sangat bodoh dengan membiarkan diriku jatuh cinta kepada sosok iblis seperti dia, tetapi demi tuhan, jangan ucapkan kalimat seperti itu. Bila istriku dengar, dia akan terluka."

Naruto tidak tahu lagi harus bagaimana agar dia bisa membersihkan namanya dari sangkut-paut terhadap nama Miku Shion. Naruto muak. Naruto ingin mengeyahkan Shion dari dunia ini andai saja dia bisa.

....

"Apakah aku terpaksa menikahi Hinata?"

Malam ini Naruto tidak bisa tidur. Meskipun jam di nakas sudah menampakkan pukul sebelas malam di mana seharusnya Naruto sudah memejamkan mata karena besok pagi dia akan menerbangkan pesawat dari Bangkok ke Tokyo.

Akan tetapi hasratnya untuk beristirahat menghilang entah kemana. Ucapan Sai, rekan kerja sekaligus teman dekatnya menggema di telinga Naruto. Bagikan suara gendang yang bertalu-talu ucapan Sai menggetarkan benak Naruto.

Seharusnya narasi yang tercipta seperti ini. "Apakah Hinata terpaksa menikah dengan Naruto?" Setelah semua perbuatannya, rasanya Naruto tidak pantas untuk mendapatkan maaf dan kesempatan kedua.

Bagimana jika ternyata Hinata mau menikah dengan dirinya hanya karena kasihan? Atau hanya karena ingin menyelamatkan status sosial untuk Bolt, putra kebanggaan Naruto dan Hinata. Spekulasi-spekulasi yang bermain di dalam kepalanya membuat Naruto benar-benar tidak tenang.

Dengan cepat Naruto meraih smartphone kepunyaannya, dia ingin menghubungi Hinata sekarang meskipun tidak yakin Hinata menjawab panggilannya karena di Tokyo pasti sudah lewat tengah malam.

Naruto menarik napasnya dalam-dalam. Dia tidak meragukan Hinata, sepenuhnya Naruto percaya bahwa istrinya itu mencintainya. Tetapi rasa gelisah yang Naruto rasakan sekarang membuatnya ingin memvalidasi perasaan Hinata untuknya.

"Halo selamat malam..."

Itu dia, suara lembut khas Uzumaki Hinata, istrinya yang paling dia cintai.

"Sayang.... Di Tokyo pasti sudah lewat tengah malam, kenapa belum tidur?"

Dari seberang telepon terdengar suara Hinata yang menahan kantuk terdengar juga rintihan-rintahan pelan dari bayi lelaki yang Naruto yakini adalah Bolt. "Bolt terbangun, sekarang aku sedang menyusui dia. Dan kebetulan sekali ada telepon dari suamiku...."

Untuk beberapa saat Naruto larut dalam haru. Ternyata selain menghancurkan mimpi Hinata untuk berkarir sebagai crew cabin dia juga sudah membuat Hinata berkorban banyak hal. Hal sederhana seperti waktu untuk tidur saja sudah Hinata korbankan. Dedikasi Hinata sebagai seorang ibu dan istri bukan hal yang main-main.

Rasanya Naruto tidak pantas untuk mendapatkan semua ini. Amalan macam apakah yang Naruto lakukan di kehidupan sebelumnya, sampai dia berhasil mendapatkan istri seperti Hinata di kehidupan sekarang?

"Naruto... kau masih di sana?"

"Ya sayang, aku masih di sini. Hinata pasti tidak mudah menjalankan peran sebagai seorang Ibu tetapi sejauh ini kau berhasil melakukannya dengan baik. Rasanya ucapan terima kasih tidak cukup untuk menghargai semua hal yang sudah kau lakukan untukku, untuk Bolt, dan untuk keluarga kita." Naruto berusaha keras untuk menahan suaranya agar tidak bergetar. Lelaki itu sebentar lagi akan mengeluarkan air mata, dia jarang untuk merasakan perasaan seperti ini, dia tidak punya kepekaan yang baik.

"Oh berhenti mengatakan kalimat-kalimat manis seperti itu, aku jadi merindukan suamiku yang saat ini sedang dalam perjalanan bekerja."

"Aku ada di Bangkok sekarang. Di hotel yang sama, saat pertama kali aku mulai merayu istriku." Tangannya yang tidak menggenggam ponsel menyeka kasar butiran air mata yang ada di ujung matanya.

"Really? Aku ingat wisata kuliner yang kita lakukan diam-diam di pagi buta."

Naruto tersenyum. Hotel ini adalah saksi bisu perjalanan cintanya dengan Hinata dimulai. Di tempat ini dia pernah mencuri-curi pandang ke wajah istrinya, dan di tempat ini pula rasa penasarannya kepada Hinata tumbuh bersemi menjadi rasa posesif nan obsesif.

"Jatah cutiku tahun ini sudah habis. Bagaimana jika setelah tahun baru kita bulan madu? Hanya kau dan aku saja, Bolt bisa kita titipkan kepada Ayah dan Ibu."

"Oke sudah cukup bicaranya tuan perayu," Hinata tertawa pelan dari sambungan telepon. Naruto yakin wajah istrinya itu sudah merona hebat sekarang ini. "Boleh aku menjemputmu ke airport besok?"

"Kau yakin? Pasti tidak mudah untukmu."

"Aku akan berusaha, meskipun berat tapi aku harus berdamai dengan mimpiku kan?"

Ini dia. Bagian yang paling membuat Naruto bersalah adalah hal ini. Naruto adalah pelaku utama dari hancurnya mimpi Hinata. Seandainya Hinata tidak hamil perempuan itu pasti ada di sini, bersama dirinya. Melanjutkan karirnya dan menjadi crew cabin yanh kompeten.

"Maafkan aku, semua itu kesalahanku. Andai saja kau tidak hamil, karirmu pasti berjalan dengan baik." Ucap Naruto dengan nada penuh rasa penyesalan.

"Itu keputusan yang baik, dan itu adalah pilihanku."

Lagi dan lagi, Naruto merasa menjadi tokoh paling antagonis di kisah cintanya dengan Hinata. Harus dengan cara apakah dia membalas semua pengorbanan dan rasa sakit yang Hinata lalui?

"Naruto, Bolt sudah tidur. Aku akan membawanya ke kamar, kututup teleponnya ya?"

"Selamat tidur. Mimpikan aku." Naruto tersenyum kecut, masih ingin mendengar suara Hinata.

"Semoga saja, aku mencintaimu."

Dulu, setiap kali Hinata mengatakan kalimat seperti itu Naruto pasti akan menghindar. Diam, tidak menjawab, bahkan tidak segan untuk menolak pernyataan cinta dari Hinata. Tetapi sekarang tidak lagi. Dia ingin dunia dan seisinya tahu bahwa Hinata mencintai dirinya, dan dia juga mencintai Hinata sama besarnya.

"Aku lebih mencintaimu. Hatimu hanya milikku. Aku menunggumu di bandara besok siang."

"Aku tidak sabar untuk memelukmu, bye."

Sambungan telepon terputus dan Naruto merasa kesepian di suite hotel yang megah ini. Ah Hinata, aku merindukanmu.


TBC

BIFURKASITempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang