Chapter Eight

1.2K 196 41
                                    

Heyaaa, kangen aku tidak? Ehehehe

Chapter ini pendek tapi bisa ngasih insight sama hidup Prof Jung yang complicated. Ehehe



“I know all those words, but that sentence makes no sense to me.”
—Matt Groening—

Ini lebih mirip pengadilan resmi alih-alih acara makan malam keluarga. Siwon dan Yoona menjadi saksi, Jaemin pengacara, kedua orang tuanya adalah jaksa sekaligus hakim, sementara Jaehyun sebagai terdakwa. Sejak awal ia pun sudah tahu kalau semuanya akan jadi begini; tapi memutuskan tidak hadir sama sekali mungkin bakal jadi masalah yang lebih besar. Ia tak mau mendengar terlalu banyak kritik dan sindiran dari orang tuanya. Itu saja.

Oleh karena itu sekarang ia tetap duduk sambil mendengarkan setumpuk kalimat dengan beragam maksud yang membuat telinganya berdengung

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Oleh karena itu sekarang ia tetap duduk sambil mendengarkan setumpuk kalimat dengan beragam maksud yang membuat telinganya berdengung. Ekor matanya berputar ke kiri, berusaha menahan segaris senyum saat melihat Jaemin yang duduk di seberang mencibir ucapan neneknya sendiri. Pemuda itu baru pulang satu jam yang lalu, kena marah habis-habisan oleh kedua orang tua serta kakek-neneknya karena melengos pergi tanpa meminta izin. Air mukanya jadi semakin keruh saat potongan pertama makanan yang masuk ke dalam mulutnya justru dibarengi dengan kritik halus atas keputusan Jaehyun yang dianggap mengabaikan pendapat keluarga. Berulang kali pandangannya menyambangi mata Jaehyun, seolah menekan sang paman untuk bicara dan membela diri.

Namun perasaan tersinggung selalu tampak absen dalam diri Jaehyun. Pria itu hanya duduk dan menikmati makanan yang dihidangkan di depannya; membayangkan dirinya sedang membaca The Museum of Innocence dan mendengarkan Valse sentimentale oleh Tchaikovsky. Untuk beberapa alasan karya Orhan Pamuk itu justru mengingatkannya pada Rose—meskipun hanya ada sedikit sekali kemiripan antara perempuan itu dengan Füsun; dan tunangannya bahkan tak memiliki karakteristik yang bisa membuatnya menyimpulkan jika ia dan Sibel mirip (kecuali fakta bahwa keduanya sama-sama kaya). Lalu ia dan Kemal, ini yang paling tidak masuk akal, mereka benar-benar berbeda. Tidak ada yang istimewa dengan pertemuannya dan Rose; mega bintang itu sama sekali tak meninggalkan percikan rasa suka sebagaimana eksistensi Füsun memengaruhi Kemal hingga sedemikian rupa.

Kali ini suara Jaemin sukses memecah lamunannya—membuat Jaehyun menoleh pada pemuda tinggi yang sedang berada dalam fase memberontak tersebut. Sepasang mata bulatnya tampak berapi-api, secara terang-terangan menunjukkan ketidaksetujuan atas keputusan neneknya barusan. Jaemin selalu keras kepala—kecenderungan yang dimiliki hampir semua anak tunggal.

“Aku tidak setuju! Kenapa kalian harus mengintervensi kehidupan pribadiku sampai seperti itu? Apa kalian tahu bagaimana tanggapan teman-temanku? Mereka mencibir, pasti mereka berpikir kalau aku itu anak cengeng ingusan yang tidak bisa menjaga diri sendiri! Hentikan permainan ‘tuan muda dan penjaga’ ini, aku benar-benar sangat muak!” Nada suara Jaemin terdengar dipenuhi banyak goncangan emosi.

The Poem We Cannot ReadTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang