chapter 13

599 5 0
                                    

Kedua tangannya menyapu seluruh barang yang ada di meja makan itu. Membuat semua pelayan yang ada di sana memandangi wanita itu dengan tatapan prihatin. Tubuh mungil itu runtuh dan terduduk di lantai marmer yang dingin. Dia meraung kesakitan, menjambak rambut cokelatnya dengan keras berharap sakit yang ada di dadanya menghilang.

Setelah puas menyalurkan semua kesedihan yang ada di hatinya, tangan mungil itu mengusap air mata yang ada di kedua pipinya, dan kembali berdiri dengan tegak. Iris birunya menatap dengan tatapan datar ke semua pelayan yang ada di sana. Dia sudah tidak malu menjadi tontonan para pelayannya. Lagi pula mereka tidak boleh menyebar luaskan apa pun yang terjadi di dalam rumah ini. Itu sudah ada dalam kontrak kerja, jika mereka melanggar maka keluarga Poulter akan membuat mereka menderita.

Kedua kakinya melangkah dengan gontai menuju ruang tamu. Di meja sana terdapat ponselnya dan dia akan menghubungi kembali pria itu. Nama William terlihat di ponselnya akan tetapi ponsel pria itu mati, membuat sambungan telepon itu terputus otomatis.

Wanita itu memejamkan kedua matanya mencoba untuk mengatur emosinya yang akan kembali meledak. Dia tidak menyangka pria yang dia kira sangat mencintainya berubah drastis setelah menikah. Suara pecahan kaca pun terdengar membuat beberapa pelayan berlarian ke ruang tamu. Wanita itu membanting ponselnya sampai pecahan kaca itu mengenai pipi kanannya.

"Nyonya Renata, pipi kananmu berdarah," ujar salah satu pelayan yang lantas mendekati wanita itu.

Kedua tangannya segera membawa tisu untuk membersihkan darah yang mengalir di pipi nyonya besarnya. Hanya saja tubuhnya di dorong dengan kuat membuat dirinya bersentuhan langsung dengan pecahan kaca yang berserakan di lantai.

"Jangan mendekat! Biarkan aku mati!" teriaknya dengan kencang, lalu tak berselang lama tangisan wanita itu pecah. Mengsisi keheningan yang ada di sana.

Para pelayan yang ada di sana pun mundur secara perlahan untuk menghindar dari amukan Renata. Padahal mereka takut terjadi sesuatu kepada wanita itu, wanita itu bisa saja membunuh dirinya sendiria. Akan tetapi melihat respon dari nyonya besarnya membuat mereka semua tidak ingin kembali ikut campur.

Langit sudah berubah menjadi gelap, dan pria itu baru menginjakkan kedua kakinya di rumah ini setelah meninggalkan istri sahnya di malam pertama mereka. Tangan besarnya membuka pintu utama itu dengan pelan dan melangkah dengan tegas ke dalam rumahnya.

Iris birunya membulat dengan sempurna ketika melihat sosok wanita yang sedang duduk di ruang tamunya. Dia segera menyalakan lampu dan membisu ketika melihat sosok itu.

Renata menatapnya dengan tatapan sayu, pipi kanan wanita itu juga terdapat darah yang sudah mengering. Wajahnya pucat pasi dan beberapa jam kemudian wanita itu akan pingsan jika terus berdiam diri di sana.

"Apa yang sedang kau lakukan di sana. Ini sudah tengah malam," ujar William dengan kedua tangan yang dimasukkan ke dalam saku celana. Pria itu tetap memasang wajah datarnya meski pun tahu jika kondisi wanita itu sedang dalam keadaan tidak baik-baik saja.

Renata tidak bergerak sama sekali, dia memandang lurus ke depan tanpa melihat ke arah pria itu. "Kau tega sekali melakukan ini kepadaku William, kau pergi di saat malam pertama kita! Jangan-jangan kau mempunyai simpanan di belakangku?"

"Bukan urusanmu!" jawab pria tiu sambil melangkahkan kakinya menuju kamar tamu. Mulai malam  ini dia tidak ingin satu kamar dengan Renata.

Ketika pria itu akan membuka pintu kamarnya, sebuah tangan mungil menahan gerakannya. Membuat dirinya menatap tajam kepada wanita itu. "Mulai malam ini dan seterusnya kita akan tidur terpisah!"

Renata menggelengkan kepalanya. "Kau harus tidur bersama denganku!" teriaknya sambil menarik lengan kekar itu untuk berjalan ke kamar mereka yang ada di lantai dua.

William tidak menerima perintah dari wanita itu. Dia menyentakkan lengannya dengan keras membuat Renata tersungkur ke bawah. Kedua iris birunya melayangkan tatapan tajam kepada wanita itu, dan dia menghela napas panjang ketika Renata terus terbaring di bawah sana.

"Renata bangun!" ucapnya dengan suara keras.

Karena Renata tidak kunjung bangkit dari tidurnya, pria itu menurunkan tubuhnya dan kedua tangannya menyibakkan rambut cokelat yang menutupi wajah wanita itu.

Kedua mata wanita itu terpejam dengan erat dengan seluruh badannya yang berubah menjadi sedingin es. William panik, dia takut terjadi hal yang tidak baik kepada Renata. Maka dari itu, di menggendong wanita itu dan berlari ke luar.

"William, Renata kenapa?" tanya Mia yang baru saja keluar dari dalam taxi. Wanita itu terlihat sangat khawatir ketika melihat Renata dibawa oleh pria itu.

"Nanti aku jelaskan, sekarang aku harus membawa Renata ke rumah sakit," jelasnya sambil memasukkan wanita itu ke dalam mobil. Pria itu segera berlari ke arah pintu pengemudi dan menancapkan gas dengan kekuatan penuh.

Mia yang masih ada di sana membeku. Dia bisa melihat raut wajah khwatir pria itu. Apakah William sebenarnya menyukai Renata? Bisa jadi, pria itu tidak mengetahui perasaannya sendiri dan malah mengira cintanya itu untuknya.

Wanita itu mengigir kedua bibirnya dan membawa ponsel yang ada di dalam tasnya.

Keanu... Sepertinya aku tidak jadi untuk resign dari Wellmart. Jadi besok aku tidak akan mengirim surat pengunduran diri... Jangan bilang ke siapa pun bahwa aku ingin mengundurkan diri. Oke."

Sepertinya dia tidak akan keluar dari pekerjaannya di Wellmart. Jika benar William mencintai Renata maka dia bagaimana? Setidaknya jika dia mempunyai pekerjaan dia bisa pergi dari rumah ini jika semua itu terjadi.

Tak berselang lama, suara pesan masuk terdengar. Membuat dia terkejut karena ini sudah tengah malam dan Keanu masih hidup. Biasanya jam sepuluh pria itu sudah akan tenggelam ke dalam mimpinya.

Baiklah... Lagi pula kenapa kau ingin keluar? Besok kau harus datang bekerja, oke.

Mia menyungingkan senyuman tipisnya dan melangkahkan kedua kakinya ke dalam rumah itu. Langkahnya terhenti ketika melihat figura dengan ukuran besar terpasang di sana. Itu adalah foto pernikahan William dan Renata. Keduanya tersenyum dengan lebar sembari memeluk satu sama lain. Mereka sangat terlihat serasi. Seperti Cinderella dan Pangeran yang ada di dalam dunia dongeng.

Wanita itu pun memutuskan pandangannya ke arah foto besar itu dan melanjutkan langkahnya. Hanya saja dia terpekik dengan kencang ketika menginjak sesuatu yang ada di sana.

"Aku terlambat. Tadi aku akan memperingati kau agar tidak menginjaknya. Hanya saja semuanya terlambat," ujar seorang wanita yang terlihat seumuran dengannya..

Mia berjongkok dan melihat telapak kakinya yang berdarah. "Apa yang terjadi?" tanyanya kepada wanita itu.

Wanita itu menghela napas panjang. "Renata mengamuk. Dia membanting ponsel dan membuat serpihannya betebaran di mana-mana. Sebelum itu juga dia sudah menghancurkan banyak piring."

"Kau ke mana saja Mia. Aku mencari kau kemarin."

Mia menyungingkan senyuman tipisnya dan menatap wanita itu. "Aku menginap di rumah teman. Jennifer, bisakah kau membantuku?"

Jennifer menganggukkan kepalanya. Wanita berambut pirang itu tentu saja akan membantu Mia. "Tentu saja, aku juga akan membantu mengobati kedua kakimu."

SELINGKUHAN CEO [PINDAH KE KARYAKARSA]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang