2. Restu

1.8K 346 80
                                    

Arda

Semua terjadi begitu saja, semulus itu gue dan Aisya mengalir menjadi dua orang yang perasaannya saling berbalaskan. Di satu sisi, gue merasa kalau hubungan ini gak tepat. Rasanya kayak ... lo macarin cewek yang lebih cocok jadi adik lo karena perbedaan umur yang nyaris sepuluh tahun jauhnya.

"Pantesan cewek-cewek kayak saya masih jomblo, yang seumuran demennya sama anak awal dua puluhan." Stafsus di bidang inovasi seusia sama gue. Sebelumnya kita gak pernah kenal, baru dipertemukan oleh Pak Dirga dan ternyata pribadinya lumayan asik sehingga gue dan Rinjani memiliki hubungan sebagai teman– bukan sekedar rekan.

"Udah berapa lama, Mas, pacaran sama anak Pak Panji?" Dia nggak begitu kaget mendengar cerita gue. Sejak pertama mendengarnya, perempuan itu masih santai mencocol siomay ke bumbu kacang di atas piring makannya.

"Ada kali empat bulanan, Rin." Sebetulnya wangi ikan tenggiri dari siomay yang dimakannya cukup menggoda. Tapi gue mager beli, mau minta juga malu.

"Oh, terus mau bilang ke Pak Panji gitu?" Tanyanya datar.

Gue mendelik, "Gila aja, saya belom punya keberanian buat bilang. Lagian ... ya udah lah, dijalani aja dulu. Saya macarin anak yang baru kemaren usianya 20, siapa tau emosinya masih labil terus one day sadar gitu kalo dia pacaran sama cowok yang udah jadi Om-Om kayak saya."

"Tapi, Mas, disembunyiin terus juga gak baik. Kata saya mah pasti bentar lagi ketauan sih. Katakan ada worst scenario seperti itu, nanti Mas Arda mau gimana? Merjuangin restunya, atau pasrah aja seandainya gak diizinin ayahnya?"

Gue tidak bisa menjawab, pertanyaan ini lebih sulit dari pertanyaan menohok wartawan Indonesia yang sukanya menyudutkan. Belum berencana ngasih tau Pak Panji aja, gue udah punya gambaran akan seperti apa responnya. Jantung gue dag-dig-dug duluan, kenapa dari sekian banyaknya perempuan, gue harus jatuh cinta sama anaknya Wakil Presiden Indonesia?

"Liat respon bapaknya dulu sih, Rin." Next step-nya biar dipikirin nanti aja. Yang penting siap dulu– siap dimaki-maki sama bokapnya maksud gue.

"Yaaaa

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

"Yaaaa ... good luck deh buat Mas Arda. Semoga dapet lampu hijau dari Pak Wapres." Di telinga gue, ucapannya barusan terdengar seperti ejekan. Dia pamit untuk menaruh piring bekas makannya ke pos security. Para pedagang di dekat kantor akan mengambilnya setiap sore, tepatnya setelah para pegawai di komplek pemerintahan ini bubaran.

Setelah istirahat jam makan siang, gue dijadwalkan mengisi webinar wawasan kebangsaan di Ciputra Artpreneur Theatre. Aktivitas tersebut adalah aktivitas terakhir yang harus gue lakukan di hari ini. Webinar yang juga dihadiri oleh pengamat itelijen dan keamanan dari sebuah universitas ternama itu berakhir pada pukul lima sore. Gue sempat duduk-duduk bentar sambil ngabarin seseorang. Kalau punya waktu senggang, gue bermaksud mengajaknya makan di luar karena sudah seminggu kita berdua tidak bertemu.

"Tempat biasa ya, Pak," begitu pesannya. Gue langsung bangkit berdiri, lantas segera pergi untuk mempersingkat waktu yang dihabiskan dalam perjalanan. Meski sudah empat bulan berpacaran, Aisya masih betah memanggil gue dengan sebutan 'Pak' dan tidak berniat mengubahnya walau beberapa kali gue melayangkan protes kepadanya.

Batas HentiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang