3. Batas Henti

2.4K 338 99
                                    

Arda

Terdapat atmosfer aneh yang saat ini menyelimuti sebuah ruangan di sebelah garasi rumah Pak Parka. Setelah hampir dua minggu tidak mengadakan pertemuan, ada suasana mencekam yang asalnya dari tatapan seorang lelaki di kursi paling belakang. Akhir-akhir ini, tim lagi fokus nanganin kasus penyalahgunaan kekuasaan yang menjamur di kursi dewan. Skalanya nggak sampe red notice alias mengancam keselamatan beberapa orang, bisa dihadapi cukup mudah dengan bantuan lembaga yang berkaitan.

"Padahal partai pengen majuin Arda sih seandainya usia dia cukup," celetuk Pak Parka. Mie goreng cup di depannya sudah habis, tersisa kunyahan terakhir yang membuat ucapannya terdengar kurang jelas. "Desember ini, gue mau ke KPU buat daftarin calon. Kita nanti gandeng Bambang Mahardika dari Partai Adil Sejahtera."

"Anjir, serius Bambang Mahardika mau jadi Cawapres?" Yang pertama kali kaget adalah Pak Nas. Yang lain juga kaget, tapi nge-lag dulu bentar.

"Serius, soalnya ya mau gimana, Arda bener. Menurut konstitusi, umur dia gak cukup walau nilai surveynya bagus. Siap-siap jadi perwakilan partai buat posisi Mensesneg aja, Ar."

Pengen deh nyeletuk, jabatan terooooos! Tapi takut dihantam pake botol kola dua liter.

"Pak Panji udah tau disandingin sama Bambang Mahardika?"

"Udah, udah ketemu juga," jawab Pak Parka. "Ji, lo gak fokus deh dari tadi. Ada apa?" Ternyata bukan cuma gue yang menyadari keanehan di diri Pak Panji, tapi juga Pak Parka.

"Arda bikin dosa?" Dari tadi Pak Dirga nggak bersuara, sedikit gelisah gara-gara istrinya menghadiri penutupan Diklat TNI-Polri di Jawa Timur tanpa dampingan dirinya. Maklum, sampai detik ini, Anavia Edelweisa masih aktif sebagai tentara nasional indonesia meski dia merupakan Ibu Negara.

"Ngerasa gak?" Tidak ada keramahan dalam suaranya. Gue meneguk ludah susah payah, sadar dosa gue di mana. Namun sebelum itu, gue masih mencoba pura-pura bodoh sebagai persiapan sebelum kena bantai.

"Eummhh ... sendal yang di kantor Wapres ya, Pak? Yang pas ujan-ujan saya pinjem? Besok deh, besok saya bawain ke kantor, hehehe."

"Dosa yang lebih besar?" Mampus. Beneran mampus lo, Ar.

Pak Parka cekikikan, "Ar, lo miara tuyul apa gimana? Nyembah berhala? Menyekutukan Tuhan? Lo juga ada-ada aja, dosa besar apaan deh, Ji?"

"Lo diem dulu, Ka," cengiran Pak Parka seketika pudar, pun dengan dua orang lain yang fokus menyimak ketegangan yang dipertontonkan. "Udah berapa lama pacaran sama anak saya, Aisya?" Lalu saat kalimat tersebut meluncur, tiga pasang mata yang melihat membelalak lebar seolah tak percaya dengan apa yang mereka dengar.

"Aduh, pusing saya," Pak Panji memegangi keningnya. "Mau ngaku dulu, apa saya telanjangi kamu sekarang?" Konotasi kata 'telanjangi' di sini bukan buka baju, bukan. Melainkan mengupas seluruh hal yang gue tutupi darinya soal hubungan gue dengan salah satu putrinya.

"Jalan lima bulan, Pak, sama Aisya."

Yang merespon justru malah Pak Parka, "Anjing, itu kalo hamil baru beres pengajian empat bulanan. Si bayi udah ada rohnya," katanya.

"Saya nggak bermaksud, Pak, tapi karena sering ketemu di kampus dan kita berdua cocok dalam banyak hal, saya dan Aisya memutuskan untuk menjalin sebuah hubungan. Maaf kalau saya nggak bilang dari awal, saya gak berani, takut disiksa."

Suara tawa Pak Dirga dan Pak Nas saling bersahutan. Entah lucunya sebelah mana, padahal barusan gue lagi ngomong jujur kalo gue setakut itu buat disiksa sama Pak Panji.

"Plan kamu ke depan gimana?" Ternyata Pak Panji masih tenang, gue kira dia mau angkat kursi terus ngejar gue ngelilingin garasi rumah Pak Parka. "Ada niat untuk serius yang benar-benar serius dengan putri saya?" Rasanya kayak lagi diinterogasi sama Wakil Presiden, bukan bokap pacar sendiri.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Jan 31 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Batas HentiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang