9 - Eclot Tahu Sesuatu

153 18 5
                                    

Entah sejak kapan Lancer sudah ada di balkon bersamanya, padahal pendengaran Thyria cukup baik untuk menangkap suara langkah kecil. Tahu-tahu saja lelaki ini berembus di belakangnya. Memberikan kehangatan tanpa sentuhan. Mencairkan es kutub di raganya yang dingin.

Manik secerah mentarinya memaku tatapan merah Thyria. Kontras warna iris mereka. Nyaris tanpa jarak. Hingga embus napas Lancer menabrak wajahnya hangat. "Jangan pikirkan hal lain, kecuali tentangku," ucap Lancer, direspon otot dahi Thyria yang berkedut aneh.

"Emangnya kenapa aku harus memikirkan kakak?" Jujur dan lurus muka pucat ini bertanya polos.

"Karena kakak ada di dekatmu. Jadi semua pertanyaan di kepalamu akan mudah terjawab langsung." Persis seperti membaca isi pikiran Thyria.

"Kakak bisa baca pikiran orang?" tebak Thyria. Ini tidak adil bagi Thyria.

Lancer menggeleng. "Tidak. Tapi aku bisa membaca raut wajahmu," kata Lancer, telunjuknya mencolek hidung Thyria.

"Menurut buku yang aku baca, katanya, vampir bisa membaca pikiran manusia. Mengapa aku tidak?" Sedih suara Thyria memprotes keadaan diri. Termenung dibalik wajah yang tertunduk. Hingga cubitan lembut jemari Lancer, membawa tatapan mereka bertemu lagi.

"Tidak semua vampir bisa memiliki kemampuan seperti itu. Kau belum lama terbangun sebagai vampir, jadi kau masih memiliki banyak waktu untuk mempelajari kekuatanmu. Aku akan membantumu kapan pun kau butuhkan." Selesai mengatakan penghiburan yang menenangkan, Thyria dibuat terpaku membeku saat tekanan lembut  mendesak keningnya lama. Lancer mencium dahinya. Terpejam dalam kedamaian malam.

Begitu Lancer melepaskan, mata mereka saling bertukar sorot pandang. Thyria hanya diam membatu. Itu hanya sekadar ciuman di dahi biasa. Namun efeknya mendadak seperti direbus, hingga menghangatkan relung hati. Thyria tidak mengerti. Mengapa ia tiba-tiba merasakan energi aneh, atas sikap Lancer barusan.

"Kakak akan selalu di sisimu, Thyria. Jangan pernah merasa kau sendirian di dunia ini."

Ada haru yang terselip di dada.

Thyria pandangi netra mentari di permata kakaknya. Benar, lelaki ini adalah kakaknya. Keberadaannya di sisinya, menciptakan perasaan damai, menegaskan bahwa ia tidak sendirian di dunia ini. Ia masih memiliki Lancer dan ayah yang menyayanginya.

"Kau rembulan berharga milik kakak. Rembulan tidak pernah sendirian. Ia selalu diiringi langit yang mendekapnya sepanjang malam," bisik Lancer. Sapuan jemarinya merambat di sisi wajah, menyelipkan anak rambut ke belakang telinga seirama dengan lengan lainnya mengerat di pinggang, mengirim desiran asing dalam raga Thyria. Dibawah tatapan teduh Lancer, Thyria terdiam bungkam bagai terhipnotis.

Sebelum terjerumus, ia berpaling. Memutus kontak mata seraya tertunduk. Thyria bingung. Pikirannya berkecamuk sesaat yang lalu. Hingga kehadiran Lancer, meluruhkan segala keresahan hati. Akhirnya tangan memilih mendorong dada bidang, berniat hengkang, dan cekalan menahan pergelangan kurus Thyria.

"Kau mau kemana?" Seolah tahu ia akan pergi, Lancer enggan menyisakan jarak di antara mereka.

"Mau ke perpustakaan. Ada buku yang belum selesai aku baca." Thyria beralasan. Sejujurnya ia tak nyaman dengan posisinya saat ini, terpojokkan tubuh kekar Lancer. Perlahan, dekapan hangatnya merenggang, kekosongan pun Thyria rasakan untuk sesaat lebih tidak nyaman. Tetapi, ia meneruskan niatnya pergi. Derap langkah ini, baru ia alami terasa berat mengabaikan Lancer di belakang.

***

"Kenapa kau sejak tadi mengamati sapu tangan itu terus?"

Atensi Ashley beralih. Wakil ketuanya bertanya dengan penasaran. Ashley kembali menunduk, menatap sapu tangan putih di telapak tangannya. "Aku menemukan ini terjatuh dari seorang wanita. Saat ingin mengejarnya, dia sudah berlari jauh," ungkap Ashley sembari terkenang sore itu.

"Wah, kata orang jaman dulu, kalau menemukan benda dari lawan jenis yang harus dikembalikan, tandanya berjodoh loh!" Terkekeh kecil suara Oliver mencandai ketua timnya.

"Ngawur," sanggah Ashley.

"Pemiliknya mungkin mencari sapu tangan itu atau jika benda itu tidak berharga, kau tidak akan bertemu dengannya lagi," tandas Oliver seperti peramal yang tahu masa depan. Ashley menggeleng tak percaya bualan kuno.

"Daripada membahas mitos, lebih baik kau pulang saja." Ashley mengalihkan topik, dibalas seringai tinggi di sudut bibir Oliver. "Yang kukatakan bukan mitos loh. Nenekku seorang peramal," ungkap Oliver sambil meraih tasnya ke pundak. Pamit pulang.

Ashley masih tinggal di ruang kantor. Tersisa ia sendirian di gedung dua lantai ini. Temaramnya ruangan, tidak menyeret lelah di mata Ashley untuk terus mengamati sapu tangan putih. Pertemuan mereka sangat singkat. Terbayang wajah gadis itu yang pucat, bibir mungil yang gemetaran, tampak lemah. Membangkitkan rasa ingin melindungi muncul. Namun sayang sekali, nama gadis itu saja tidak tahu. Tapi sudah merasakan rindu.

Jika benar apa yang dikatakan Oliver mereka akan bertemu lagi, Ashley tidak akan menyiakan kesempatan untuk menahan gadis itu di sisinya. Mungkin sebagai perkenalan, mereka bisa menjadi teman dulu. Ashley terkekeh geli, belum apa-apa sudah merencakan hubungan mereka berdua.

***

Malam itu Eclot sedang dalam perjalanan pulang. Jalanan kota tampak lengang. Namun malam ini ia memilih pulang dengan jalan kaki, kereta kuda sulit didapat kala tengah malam begini.

Sekilas bayangan berkibar di sudut mata Eclot. Mengundang atensi mata elangnya, menyapu lingkungan sekitar yang sunyi. Persis di atas jendela lantai dua, seorang gadis duduk cantik sambil memangku buku.

Mata Eclot meregang. Tertegun. Sampai dibuat terpaku.

Membalik lembar halaman, netra merah Thyria fokus pada kalimat buku. Gelap ruang perpus, tidak memadamkan semangat baca Thyria. Ia begitu anteng membaca novel romantis, seraya bermandikan cahaya rembulan di kusen jendela. Membiarkan sepoi-sepoi angin membelainya manja.

Sosoknya di lantai atas, nampak begitu indah di pandangan sendu Eclot. Eclot mengamati dari bawah, jauh. Hanya bayang-bayang hitamnya tersembunyi tanpa tersentuh cahaya. Cukup lama ia berdiri di sana. Ada sesuatu yang ingin di katakan. Eclot ingin bertemu gadis itu, tetapi hal lain membentenginya dengan keras. Sehingga sejuta kata hanya tertanam di dalam tatapannya, tanpa bisa terangkai di bibir yang telah membeku dingin sejak tadi.

Naluri Thyria peka. Saat ia terhenyak janggal, dan melempar pandangan ke luar jendela, hanya angin kosong yang ia lihat di bawah sana, terlambat menangkap basah seseorang di bawah pohon rindang. Thyria angkat bahu acuh, lalu memfokuskan konsentrasinya pada buku lagi.

Lunglai langkah Eclot menjauhi kediaman itu. Kalau sore tadi tidak menegur gadis aneh di pinggir jalan, mungkin ia tidak akan menemukannya sampai kapan pun. Eclot merasa tak bisa mengurai kata-kata yang tersimpan. Kata-kata yang mendadak muncul saat bertemu dengan gadis itu hari ini.

"Aku perlu kunci ruangan dokumen." Perintah Eclot tiba-tiba, begitu datang di kantor. Eclot memilih putar balik ke kantor untuk mendapatkan sesuatu. Beberapa staf kepolisian masih ada di kantor untuk shif malam. Perlu diketahui bahwa kantor polisi kota London tidak pernah tidur.

Staff menyerahkan kunci tanpa ragu-ragu, lalu Eclot membawa langkah panjangnya ke sudut lorong temaram.

***

Thyria The Last Vampire [End]✔️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang