"Ciri-cirinya sesuai dengan kesaksian pertama Jiu hari itu, wanita ber-hoodie dengan rambut pirang... Lalu, kenapa sekarang dia berbohong, ya?"
Yoohyeon kini tengah berkutat dengan selembar kertas yang baru terisi 2 baris. 2 baris kalimat bertuliskan sisa-sisa ingatan yang tidak terlalu penting tentang dirinya 10 tahun yang lalu. Hari sudah malam dan Jiu sudah kembali ke rumahnya. Ia mempercayakan sisanya kepada Yoohyeon untuk ia pikirkan kembali. Besok, mereka berniat untuk mencoba kembali ke rumah Yoohyeon dan menemui ayahnya.
Ia sedang duduk menghadap pemandangan malam hutan, dengan selembar kertas dan pensil di atas meja yang ada di hadapannya. Ia tipe yang lebih lancar mengungkapkan kata-kata lewat tulisan sejak dulu. Namun kali ini, sesuatu mengganjal pikirannya. Kegelisahan yang ia rasakan dapat jelas terlihat pada gerak kakinya yang terus menggertak, terus mengetuk dengan tempo cepat tanpa sadar.
"Coba saja waktu itu kamu tidak memecahkannya," kalimat terakhir yang ia dengar dari Sua terngiang-ngiang di kepalanya. Tepat di meja yang sama ini, ia mengucapkannya dengan lirih. Untuk pertama kalinya sejak mereka terjebak, Sua melepaskan kalimat tersebut dan mengucapkannya pada Yoohyeon. Yoohyeon sendiri memakluminya, bahkan juga menyetujuinya. Makanya, kalimat itu tidak pernah lepas dari pikirannya sejak terucap.
"Jadi, aku dan Kak Sua terus tumbuh besar sementara dunia tetap"
Yoohyeon berhenti untuk beberapa saat sebelum mencoret kalimat tersebut. Ia ingat Jiu bilang, percuma saja menjelaskan hal itu pada orang-orang. Tapi, masa sih aku tidak boleh mengatakan hal yang sebenarnya? Kalau begitu, mereka juga tidak akan pernah tahu apa yang sebenarnya terjadi pada Sua.
Tentang bagaimana ia sekarang berada di bawah sana, begitu dingin seorang diri.
Yoohyeon melempar pulpennya frustasi dan bangkit dari sana. Ia tidak tahan lagi. Ia menghembuskan napas kasar untuk mengeluarkan rasa penat yang menumpuk di dahinya. Ia memutuskan melangkah keluar, mencari angin segar malam untuk menghempaskan setidaknya sedikit bagian dari isi kepalanya.
Namun, langkahnya terhenti di depan pintu rumah. Matanya tertuju pada sepasang sepatu dewasa kecil yang tertata rapi di bawah. Sepatu milik Sua. Saat itu, ia juga membawa sepatu tersebut ke rumah Sua bersama dengan pakaian yang ia kenakan saat kecil. Sepatu yang ia putuskan untuk simpan sendiri, egois memang. Sepatu untuknya mengenang momen terakhir Sua yang hanya ia seorang diri tahu.
Bahkan ia sendiri pun tidak benar-benar melihatnya secara langsung.
Sepasang sepatu sebagai penampar dirinya tentang apa yang terjadi pada Sua di saat-saat seperti ini. Ia yang sedang berusaha untuk kembali ke kehidupan lamanya.
Yoohyeon jatuh terduduk karena kakinya berubah lemas. Hampir semua hal di rumah ini menyisakan memori hari-hari yang ia habiskan bersama Sua. Tidak seharusnya aku begini
Egois sekali aku menginginkan kebahagiaan setelah menjadi penyebab semua ini terjadi.
Yoohyeon meremas baju yang menempel di dadanya. Jantungnya berdegup terlalu kencang, memompa darah ke seluruh tubuhnya dalam tempo yang semakin cepat. Ia bahkan merasa tidak pantas untuk menangis. Ia tidak pantas mengasihani dirinya sendiri di situasi seperti ini.
Benar. Jika bisa memilih dari ketiganya, memang seharusnya bukan dia yang selamat.
...
Mata Jiu yang sedang terlelap merespon sekelebat cahaya malam yang sekilas menembus ruangannya. Ia mengerang pelan dan berbalik. Perlahan, matanya terbuka dan menatap kosong plafon kamarnya yang memang masih gelap.
KAMU SEDANG MEMBACA
Yang Hilang dan Kembali | Jiyoo au
FantasyEmpat anak pergi menyusuri bukit, satu anak kembali tak sadarkan diri dan satu anak lagi kembali setelah melawan hukum ruang-waktu. Looselessly based on 2016 film "Vanishing Time: A Boy Who Returned" tags: minor character death. fantasy.