"Wen!" panggil Bimo menangkap gadis itu keluar dari ruang karyawan usai shift berakhir.
Tanpa menoleh, Wendy mempercepat langkah kaki yang terbalut sepatu kets hitam dan mengabaikan suara Bimo yang masih meneriaki namanya. Dia terlalu malas berinteraksi dengan Bimo di saat kesialan hari ini mendera Wendy tanpa henti. Setelah mendapat teguran dari tamu, dia juga mendapat omelan dari Lucy yang mengatakan kalau seharusnya Wendy mengonfirmasi terlebih dahulu menu yang akan diubah bukannya memutuskan seenak jidat. Lagi-lagi gadis bermata bulat itu berkelakar kalau sajian yang dihidangkan tak beda jauh dari sandwich croissant, malah lebih cepat daripada pembuatan croissant. Sayangnya, Lucy tidak menerima alasan apa pun dari Wendy karena dianggap tidak melaksanakan pesanan tamu.
Sepertinya semesta sedang tidak berpihak kepada Wendy kala kakinya tidak berkoordinasi dengan baik sampai tersandung. Wendy mengaduh kesakitan saat kedua lututnya membentur keramik hotel membuat Bimo berlari menghampiri sang istri. Dia membantu gadis keras kepala itu berdiri seraya melingkarkan tangan kanan Wendy ke pundak lalu berkata,
"Kamu kenapa sih sensitif amat hari ini, Wen. Mbok yo sabar to dadi wong wedok, ojo grusa-grusu koyok ditagih utang kowe iki."
(Sabar jadi perempuan, jangan terburu-buru kayak ditagih hutang kamu ini.)
"Niat nolongin enggak sih, Mas!" cerocos Wendy ingin melepaskan diri dari Bimo. "Lepasin!"
Sontak saja lelaki itu menahan tangan Wendy agar tetap di pundaknya. "Maaf. Aku salah. Kamu jangan marah dong, enggak enak lihatnya."
"Aku enggak marah kok cuma kesel aja," ketus Wendy berjalan tertatih-tatih menuju lift sambil merintih menahan sakit.
"Apa bedanya coba? Apa karena masalah sama tamu tadi?" tanya Bimo menekan tombol nomor satu. Dia berjongkok dan menyentuh pelan kaki Wendy. "Kayaknya kakimu terkilir, nanti naik motorku aja, biar motormu diparkir di sini."
"Aku bisa jalan sendiri kok," elak Wendy merajuk. "Lagian jangan sok peduli deh kalau Mas Bimo masih main rahasia sama aku."
Ketika mereka sampai di lantai satu, Bimo berdiri dari posisinya dan kembali membantu Wendy berjalan. "Siapa yang main rahasia sih?"
"Iya, Mas Bimo," tandas Wendy sesekali menyapa karyawan hotel lain. "Masa setan!"
"Ecieee, manten baru lagi anget-anget tai ayam," celetuk salah seorang lelaki bagian resepsionis. "Sudah..." dia mengelus perutnya sendiri yang mendapat balasan tatapan tajam dari Wendy.
"Sembarangan! Ini aku habis kesandung di lantai atas," sembur Wendy kehabisan stok sabar.
Bimo mengedipkan mata menyiratkan agar lelaki itu pergi daripada kena omel Wendy yang sedang dalam mode senggol bacok. Jikalau seperti ini maka makanan atau minuman manis mungkin bisa meredam amarah seorang wanita seperti istrinya. Atau satu scoop es krim vanila dengan isian stroberi adalah pilihan terbaik untuk mendinginkan kepala. Manalagi ada restoran cepat saji dekat dengan apartemennya. Untuk hari ini, Bimo tidak akan memasak dan membeli makanan dari restoran itu demi menyenangkan Wendy. Bukankah perempuan akan luluh jika diberi makanan?
Sesampainya di parkiran, hati-hati Bimo memosisikan Wendy duduk terutama kakinya agar urat itu tak semakin terkilir. Lantas dia berkata, "Nanti ke apotik bentar beli perban elastis dan krim buat otot biar enggak bengkak kakimu."
"Enggak usah!" tolak Wendy seakan tak butuh bantuan yang diberikan Bimo secara tulus. Dia sudah berjanji dalam hati tidak akan luluh begitu mudah hanya karena mendapat simpati seperti ini. Tidak sampai Bimo mau membuka rahasia untuknya.
"Ck, dibilangin bandel banget. Nanti kalau bengkak kamu enggak bisa kerja, Wen." Bimo memasangkan helm ke kepala Wendy setelah menyisir untaian rambut gadis itu ke belakang. "Sekalian beli makanan di Mcdonald's ya, aku mager masak."
KAMU SEDANG MEMBACA
Impossible Marriage (END)
Romance(Marriage Life Series) Memilih menjadi single bahagia sepertinya menjadi sebuah aib bagi keluarga Wendy Aurelia. Di usia 31 tahun, Wendy dipaksa menikah demi membungkam cibiran keluarga besar sekaligus menuruti permintaan sang ibu. Sehingga dia meng...